Kejenuhan manusia akibat pandemi covid 19 sudah mencapai titik puncaknya. Lock down, karantina massal, pembatasan sosial, pembatasan fisik, dan aneka pembatasan lainnya ternyata tidak cukup untuk memutus rantai penyebaran covid 19.
Semua pembatasan yang mewajibkan setiap orang untuk melakukan segala sesuatu dari dalam rumah ternyata kehilangan daya magisnya untuk memberhentikan laju penyebaran pandemi itu.
Yang ada malah sebaliknya. Grafik penularan meningkat. Angka kematian terus bertambah setiap hari meskipun dibarengi menigginya angka pasien yang sembuh. Dalam situasi ketidakpastian perihal kapan virus ini akan berakhir, muncul slogan baru yang sangat radikal yaitu 'berdamai dengan covid 19'.
Perdamaian itu diimbangi dengan semboyan untuk memulai hidup yang dijuluki dengan 'new normal (normal baru)". Tulisan ini hendak menggali paradigma berpikir di balik narasi agung 'berdamai dengan covid 19'.
Disiplin Masyarakat yang Rendah
Narasi agung 'berdamai atau hidup berdampingan dengan covid 19' sesungguhnya lahir dari rasa putus asa setelah semua usaha untuk memutus rantai penyebaran covid 19 di anggap 'gagal'. Orang tidak lagi disiplin untuk tinggal dalam rumah selama masa karantina.
Ide tentang pembatasan sosial dan fisik tampak bertepuk sebelah tangan. Larangan untuk mudik juga tidak diindahkan. Padahal semua upaya itu berkaitan dengan hidup-matinya manusia.
Mengapa semua usaha untuk memutus rantai penyebaran covid 19 tampak gagal? Ada variasi jawaban yang dikemukan. Banyak orang akan menjawab bahwa inkonsitensi pemerintah beserta jajarannya dalam membuat peraturan menjadi penyebab kegagalan semua usaha itu.Â
Pemerintah baik pusat dan daerah tidak sejalan dalam membuat peraturan. Kalau dilihat lebih dalam jawaban itu sesungguhnya sangatlah naif. Logikanya sangat sederhana. Perkara covid 19 sesungguhnya menyentuh persoalan tentang hidup dan mati. Itu berarti setiap orang mesti bertanggungjawab dengan hidupnya masing.
Semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah sifatnya tawaran. Jika ingin hidup dan terhindar dari penularan covid 19 maka harus menaati protokol dan peraturan yang dibuat dan ditetapkan pemerintah berupa pembatasan sosial dan fisik serta melakukan segala sesuatu dari dalam rumah.
Sebaliknya. Jika menolak dan melanggar tawaran yang diberikan oleh pihak pemerintah berarti memilih untuk tertular covid 19 yang mematikan.
Logika di atas membantu saya untuk mengerti bahwa tingkat disiplin masyarakat yang rendah menjadi sumber gagalnya segala usaha di atas. Hal itu memungkinkan grafik penularan covid 19 terus menanjak naik setiap harinya. Masyarakat tidak mengindahkan segala tawaran yang diberikan oleh pemerintah.
Dalam budaya masyarakat Manggarai-Flores-Nusa Tenggara Timur, ada istilah yang sangat tepat untuk menggambarkan semangat masyarakat yang rendah dalam mengindahkan peraturan pemerintah. Istilah itu ialah tingul.
Tingul menunjuk pada sikap masa bodoh dan keras kepala meskipun sesungguhnya tahu apa yang harus dibuat, melihat apa yang sedang terjadi dan harus dilakukan, serta mendengar segala macam himbauan yang terbaik untuk ditaati.
Tingul menjadi gambaran untuk orang-orang yang mendengar tetapi pura-pura tidak mendengar. Istilah itu kiranya menjadi sangat representatif dalam mengerti dan memahami tingkat kedisiplinan yang rendah dalam masyarakat untuk mengindahkan dan menaati segala solusi terbaik yang ditawarkan oleh pemerintah dalam memutus rantai penyebaran dan penularan covid 19.
Mangun Wijaya (1975: 22) pernah menulis demikian, "Orang Belanda punya suatu ungkapan yang biar pedas bagi telinga Indonesia, tetapi untuk mereka yang tidak minder jenaka juga, yakni "oost-indisch doof". Harafiah itu berarti "tuli gaya Hindia-Timur".
Maksudnya menunjuk ke seseorang (biasanya pelayan/jongos) yang sungguh-sungguh sadar, bahwa ia dipanggil, tetapi karena segan tak senang ditambahi pekerjaan atau soal, pura-pura tidak mendengar". Oost-indisch doof yang ditulis itu mendaptkan afirmasi positif dalam masa pagebluk covid 19.
Hal itu tidak hanya berlaku dalam diri pelayan/jongos saja melainkan bagi seluruh warga masyarakat Hindia-Timur. Ungkapan dalam Bahasa Belanda itu sama dengan makna yang ada di balik kata tingul dalam masyarakat Manggarai. Hal itu yang menjustifikasi kebenaran rendahnya tingkat kedisplinan masyarakat berhadapan dengan segala peraturan pemerintah dalam mencegah meningginya angka penularan covid 19.
Hidup di Zaman Normal Baru
Normal baru menjadi solusi mutakhir untuk mengatasi kejenuhan yang ditimbulkan oleh covid 19. Ketidakpastian tentang berakhirnya wabah ini serta ketidakyakinan akan ditemukan vaksin dalam waktu dekat, mendesak semua orang untuk berdamai dengan covid 19. Segala aktivitas yang biasa dikerjakan sebelum masa pagebluk covid 19 dibuka dan diperbolehkan kembali.
Namun situasi dan sistem pekerjaan tidak lagi seperti sediakala. Ada protokol kesehatan yang harus dilewati dan dijalani. Pengecekan suhu badan, surat keterangan bebas covid 19, dan seterusnya.
Semua protokol ituh yang memberikan nuansa baru akan segala pekerjaan yang sebelumnya sangat normal untuk dilakukakan. Alasan yang ada di balik hal itu sangat jelas yakni adanya jaminan kesehatan dalam segala yang dilakukan.
Zaman normal baru mengandaikan adanya kerjasama yang serius dari masyarakat dengan segala protokol yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang, baik pemerintah maupun tim medis. Bagaimanapun juga, kesemalatan manusia menjadi ultimum bonum yang harus dijaga dan diprioritaskan.
Selain untuk memajukan roda ekonomi, ide tentang normal baru juga bertujuan untuk membantu setiap orang agar dapat bertahan hidup di masa pandemi ini.
Tuntutan pokok bagi pihak pemerintah dan masyarakat di era normal baru ini adanya kesadaran dan kerjasama yang baik. Orang Manggarai menyebutnya dengan istilah jintot. Jintot menunjuk pada semangat kesiap-siagaan dan kesiap-sediaan dalam segala waktu. Orang harus tetap 'awas' dan 'berjaga-jaga' agar kesehatan dan keselamatan tetap menjadi yang utama.
Jintot menjadi semangat hidup yang perlu di era normal baru ini. Jika kegagalan segala tawaran dan solusi pemerintah dalam uraian sebelumnya terletak pada 'tingul-nya' masyarakat maka kesuksesan normal baru terletak pada 'jintot' atau tidaknya pemerintah dan masyarakat dalam mengindahkan segala protokol yang ditawarkan guna memutus rantai covid 19.
Dengan demikian, masyarakat tetap dengan sukacita menjalani kehidupannya di satu sisi dan grafik penularan covid 19 terus melandai dan turun di sisi lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H