Dunia sedang dihebohkan dengan kasus baru Covid-19. Meluasnya kasus pandemik Covid-19 telah menimbulkan kepanikan bagi masyarakat luas. Bahkan kepanikan yang dialami oleh masyakarat saat ini melebihi batas kewajaran. Munculnya berbagai informasi di media masa dengan berbagai ragam penyajian kerap kali menimbulkan kekalutan bagi pembaca.
Tidaklah heran, kasus pandemik Covid-19 yang baru ini bisa menyebabkan kematian. Pertama kali muncul di Wuhan, China kemudian menyebar ke seluruh dunia. Indonesia sekalipun tidak luput dari kasus baru Covid-19 tersebut.
Per tanggal 28 Maret sudah ada 1.046 kasus positif yang tersebar di 28 provinsi, 46 kasus sembuh dan 87 kasus meninggal (link). Tingginya kasus Covid-19 di Indonesia ingin mengatakan bahwa tidak ada yang luput dari pendemi baru Covid-19 tersebut. Siapa saja bisa kena. Tetapi, dalam tulisan kali ini saya tidak begitu jauh membahas tentang kasus baru Covid-19 tersebut.
Mengingat saya sendiri juga kadang panik jika membaca informasi terkait Covid-19. Bahkan saya sendiri pernah demam, batuk hingga bersin. Setelah di cek up oleh dokter ternyata semua terjadi karena imajinasi telah dikuasai oleh informasi tentang Covid-19 dan berbagai gejala.
Padahal suhu tubuh saya masih normal-normal amat. Hadew, lemah banget kan. Ehhehehe. Tetapi bukan berarti kita tidak boleh waspada. Teruslah waspada sembari mengikuti protokol pemerintah. Hadeh, jadi sok bijak.
Seperti bencana-bencana alam lainnya, banyak orang termasuk pemerintah selalu berusaha mencari solusi. Menghadapi kasus baru Covid-19 misalnya, pemerintah Indonesia melalu instruksi presiden Joko Widodo pada Minggu, 15 Maret 2020.
Isi singkat instruksi presiden tersebut kurang lebih " dengan keadaan sekarang, saatnya kerja dari rumah, belajar dari rumah dan ibadah di rumah.
Mengikuti instruksi tersebut, presiden Joko Widodo mengajak masyarakat Indonesia untuk di rumah saja dan melaksanakan social distancing.
Hal tersebut dilakukan mengingat pola penyebaran virus jenis Covid-19 sangat cepat jika kita tidak menciptakan interaksi sosial melalui jaga jarak. Tujuan dari intruksi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus jenis Covid-19.
Instruksi di rumah saja atau lebih popular "stay at home" kini telah menjadi tagar popular dikalangan masyarakat bahkan media sosial. Senagai mahluk yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, seruan stay at home tentu menjadi salah satu masalah. Sebab, banyak kebutuhan diperoleh dai hasi usaha di laur rumah. Atau mungkin agak berlebihan jika saya mengatakan bahwa, rumah adalah tempat menikmati hasil perjuangan tersebut. Oleh karena itu, meski pemerintah menganjurkan untuk tetap di rumah masyakarakat akan tetap produktif untuk bekerja. Pekerjaan apa yang bisa kita lakukan?
Sebagai salah satu mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, kebijakan stay at home pada awalnya menjadi kabar gembira. Sebab, sudah tidak lagi bertemu dosen yang stay cool dengan tugas yang beraneka raga jumlahnya. Tidak lagi bangun pagi jika kuliah jam 07.00. Sudah dua minggu berlalu.
Di rumah saja semakin ke sini semakin membosankan. Tidak ada yang istimewa selain rebahan. Skill rebahan pun malah mencapai puncak penyelesaian ketika seharian dalam dua minggu diisi full. Bukan tidak mungkin situasi seperti ini akan menimbulkan frustasi tersendiri bagi beberapa orang.
Khususnya yang terbiasa bekerja di luar rumah. Ketika menelusuri berbagai media sosial, ada beberapa teman yang sudah menunjukan ekspresi bosan dengan situasi saat ini. Saya pun tidak mengambil pusing dengan realitas tersebut. Setidaknya, saya tidak sendiri mengalami situasi "bosan" di rumah saja.
Nah, bagaimana saya mencoba melawan bosan di rumah saja?
Bumi mungkin butuh istirahat dari hiruk pikuk aktivitas manusia selama ini. Asap pabrik yang mengepul mencemari udara, bunyi gesekan aspal dan ban mobil di jalan kadang memikkan telinga.
Ada juga yang kadang kita lupakan untuk di sapa. Barangkali karena terlau serius dengan pekerjaan, kita kerap kali lupa dengan prang terdekat, sahabat, anak ataupun orang tua. Diabaikan hanya karena takut ketinggalan dari target pekerjaan di kantor.
Beberapa contoh tersebut menggambarkan tindakan manusia yang terjadi tanpa pernah disadari untuk diperbaiki. Ada etika baru yang sepatutnya kita coba perbaharui dengan situasi sekarang.
Di rumah saja, sapa kembali yang pernah terabaikan. Dunia yang serba terkoneksi sekarang kerap kali menawarkan kemudahan bagi manusia. Tidak ada jarak yang jauh.
Berbekal media sosial semuanya akan terkoneksi dalam tempo sesingkat-singkatnya. Namun, dunia yang serba terkoneksi kerap kali menjadi persoalan bagi sebagian orang. Mondar-mandir di atas media sosial tidak menjamin seorang baik-baik saja. Respons yang singkat, menyindir, bahkan mengabaikan kadang memicu perasaan jengkel dan rasa dongkol.
Alhasil, seseorang perlu merasa bersalah, meminta maaf. Tidak ada manusia yang ingin menjadi jahat. Bahkan, saya dan anda tentu tidak menginginkan ada yang merasa jengkel dan rasa dongkol dengan kita.
Dalam menjalankan hidup salah satunya menjalin hubungan persabahatan dengan orang lain, semua kita tentu ingin memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Lalu, bagaimana dengan mereka yang secara tidak sadar dan sadar kita abaikan?
Tagar di rumah saja dalam situasi pandemic Covid-19 tentu muncul tanpa sebuah tujuan. Memutuskan mata rantai penyebaran virus jenis baru, salah satunya. Lalu, apakah kita tidak menciptakan kemungkinan baru?
Menyapa kembali mereka yang pernah terbaikan menjadi pilihan pertama dalam situasi begini. Perihal siapa yang menjadi inisiatif meminta maaf pertama, saya pikir itulah menjadi kewajiabn kita bersama. Tagar di rumah saja, menjadi awal kita kembali menelisik siapa-siapa saja yang pernah kita perlakukan seperti itu. Bahkan tanpa kita sadari mereka telah mencap tanda jengkel bagi kita.
Elie Weisel, penerima nobel perdamian pernah mengatakan “lawannya cinta bukanlah benci, tetapi perasaan diabaikan”. Pada dasarnya perasaan diabaikan akan menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit berlebihan tersebut akan menimbulkan kekecewaan bagi sebagian orang.
Agar semua itu tidak terlampau jauh terjadi, tidaklah salah dalam situasi di rumah saja sekarang kta mencoba menyapa kembali mereka dengan tidak melupakan kata “mohon maaf” dalam sapaan tersebut. Tentu saja, menyapa kembali mereka yang pernah terbaikan tidak dengan pergi mengunjungi ke rumah.
Ingat social distancing, penting! Pulihkan situasi tersebut dengan memanfaatkan koneksi yang semakin mempermudah manusia. Bertukar kontak lalu menyapa via Whatsapp. Jika Whatsapp terhalang coba sapa kembali via facebook dan akun media sosial lainnya. Dengan demikian, tindakan di rumah sajamu kali ini akan semakin bermanfaat. Selain mampu memulihkan situasi Negara yang sedang berusaha melawan Covid-19 seklaigus juga memulihkan hubungan diantara kita yang pernah terabaikan. Dengan demikian, Negara pulih, kita pun pulih.
Salam!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI