"Tiba Meka (Penerimaan Tamu)"
Meka (Bahasa Manggarai: Tamu) merupakan terminologi yang dimiliki oleh Masyarakat Manggarai untuk menunjuk pada pendatang atau tamu. Meka adalah orang yang datang atau melintasi perkampungan (Kanisius Teobaldus Deki 2011: 109).
Terminologi "meka" memang tidak hanya menunjuk kepada mereka yang kebetulan lewat. Ada juga Meka yang datang ke suatu kampung atau desa karena diundang (tamu undangan).
Akan tetapi dalam konteks pembahasan ini, Meka yang dibahas hanya berkaitan dengan mereka yang kebetulan melewati atau melintasi sebuah kampung.
Di Manggarai Raya, kebiasaan untuk Tiba Meka (menerima tamu) merupakan sebuah warisan leluhur yang tetap terjaga hingga saat ini. Bagi Deki (2011: 110), kebiasaan untuk menerima Meka Lako Salang (tamu yang sedang dalam perjalanan) dalam masyarakat Manggarai merupakan sebuah kebiasaan yang berlaku secara umum di Manggarai.
Sikap dan kebiasaan yang mendahului dalam Adak (tradisi) tiba meka ialah Reis (menyapa). Menyapa dalam konteks ini tidak dimaksudkan untuk mengucapkan selamat pagi, siang, sore, atau malam.
Reis juga bukan soal menanyakan nama, asal, atau kabar. Reis lebih mengungkapkan sikap penerimaan. Dengan Reis, Meka Lako Salang dianggap sebagai saudara atau saudari.
Reis itu menjadi tanda awal persahabatan dan sikap terbuka untuk menerima meka meskipun nama, asal, dan juga tujuan perjalanannya tidak diketahui.
Tiba Meka tidak hanya berhenti pada Reis. Halnya akan berlanjut pada Bantang (ajakan) untuk Lejong One Mbaru (singgah di dalam rumah). Lejong One Mbaru menjadi ungkapan nyata dari sebuah penerimaan dan juga tanda keterbukaan orang Manggarai dalam menerima orang lain atau orang asing. Di dalam rumah, meka bisa mengalami perlindungan dari sengatan panas dan dinginnya udara siang dan malam atau bahkan dari hujan.
Tidak hanya itu. Rumah juga menjadi wujud adanya harapan bagi meka untuk dapat memulihkan kembali rasa dahaga dan rasa laparnya setelah melakukan perjalan panjang nan melelahkan.
Meka sebagai Liyan
Meka secara filosofis bertalian langusung denga cara orang Manggarai memandang 'yang lain' (Liyan). Mengikuti uraian Pius Pandor (2014: 23-26), Yang Lain sering didefnisikan dalam tiga (3) kategori berikut.
Pertama, Yang Lain dimengerti sebagai 'Yang Ekstrem Lain'. Artinya, 'kita' berada di kutub sini dan 'mereka' berada di kutub sana.
Kedua, Yang Lain dimengerti sebagai alter ego, aku yang lain. Dengan pandangan ini, kita cenderung menguasai dan menyerap segala sesuatu yang lain di luar kita. Kita ingin agar hal-hal yang asing tunduk pada usaha penguasaan kita dan menjadi identik atau sama dengan diri kita.
Ketiga, Yang Lain dimengerti yang bukan Aku. Menurut arti ini, untuk mengenal 'yang lain' adalah mulai dengan keberlainannya.
Ketiga definisi yang disodorkan di atas membantu saya untuk mengerti makna, arti, serta konsep meka dalam masyarakat Manggarai. Tiba Meka rupanya mengatakan bahwa meka (Yang Lain) tidak hanya berarti yang bukan Aku.
Lebih dari itu. Meka menjadi ungkapan kehadiran konkrit dari yang lain. Yang Lain kini hadir secara nyata di hadapan saya. Kehadirannya menantang dan menggugat Aku, sebab 'yang lain' hadir dalam perjumpaan denganku (Pius Pandor 2014: 25).
Pengertian di atas menunjuk secara langsung pada cara orang Manggarai memahami apa arti dan makna di balik sikap terbukanya bagi meka. Keterbukaan itu tidak hanya menunjuk pada perkara etis semata.
Kehadiran meka tidak hanya menjadi tanggungjawab bagiku untuk menerimanya. Lebih dari itu. Kesadaran tentang peziarahan hidup yang mengakui bahwa saya pun adalah meka bagi yang lain menjadi dasar mengapa orang Manggarai bersikap terbuka dan ramah kepada meka.
Yang menarik dari kebiasaan Tiba Meka ialah keakraban yang ditunjukkan oleh tuan rumah. Tuan rumah menjadi sekaligus keluarga baru dan pelindung bagi Meka (tamu).
Menjadi keluarga oleh karena tuan rumah menjadikan meka sebagai bagian dari anggora rumahnya. Buktinya ialah dengan memberikan lipa (kain sarung) dan tange (bantal). Bagi orang Manggarai, lipa dan tange menjadi simbol penerimaan sebagai keluarga bagi setiap meka yang datang ke rumah.
Selain menjadi keluarga, tuan rumah juga berperan sebagai pelindung bagi tamu. Bukti yang paling nyata dan kuat perihal kehadiran tuan rumah sebagai pelindung ialah dengan diterimanya meka di rumah. Rumah mengungkapkan segalanya tentang arti dan makna sebagi pelindung itu.
Liyan yang hadir dalam diri meka, bagi orang Manggarai bukanlah orang asing. Ia bukanlah orang yang tidak dikenal. Ia juga tidak pantas untuk dijauhi. Sebaliknya. Ia adalah saudaraku.
Meskipun ia adalah Yang Lain namun sudah menjadi tanggungjawabku (baca: tuan rumah) yang menerimanya untuk melindungi dan menjaganya. Perlindungan dan penjagaan itu mencakup segala rasa aman yang wajib dan pantas dialami oleh meka.
Meka, ketika mengikuti uraian di atas mengingatkan saya akan apa yang dikatakan oleh Levinas tentang Yang Lain.
Bagi Levinas, Yang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan di masa lampau, bukan aku yang lain. Saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari "aku". Dia lain sama sekali. Orang Lain adalah si pendatang, Orang Asing (Bertens 2001: 321).
Pertanyaannya ialah bagaimana caranya agar Yang Lain itu dapat dikenal?
Bagi Levinas, Yang Lain itu dikenal melalui "wajah". Wajah dalam hal ini tidak hendak menunjuk pada hal fisis atau empiris. Artinya ialah sebuah keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, mata, pipi, dagu, dan seterusnya. Tetapi "wajah" yang dimaksudkan oleh Levinas ialah "orang lain sebagai lain, orang lain menurut keberlainannya (Bertens 2001: 320).
Cinta: Dasar dalam Tiba Meka
Tiba meka (menerima tamu) sebagaimana yang dilakukan oleh orang Manggarai ketika didatangi oleh meka (orang asing) tidak mungkin terjadi tanpa cinta.
Cinta itulah yang menjadi motor penggerak serta dasar mengapa orang Manggarai begitu ramah dan penuh semangat ketika didatangi oleh meka lako (orang asing yang sedang dalam perjalanan).
Dalam konsep cinta yang menjadi dasar penerimaan meka itu, maka amatlah penting untuk mencermati apa yang diartikulasikan oleh Armada Riyanto berikut:
"Di dalam cinta, liyan bukanlah eksistensi lain yang kehadirannya mengganggu. Liyan menjadi pengenalan dan pengetahuan baru. Liyan tidak berada di luar ruang hidup-ku, melainkan di dalamnya. Atau, liyan adalah ruang itu sendiri, dimana aku menyeberangkan diri terus menerus (Armada Riyanto 2011: 181)."
Cinta yang menjadi spirit dalam menerima Yang Lain sebagaimana yang diutarakan oleh Armada Riyanto di atas, menjadi nilai yang saya temukan dalam kebiasaan tiba meka orang Manggarai.
Cinta itulah yang menjadi kekuatan mengapa masyarakat Manggarai tidak pernah mengabaikan apalagi menolak setiap orang asing yang datang berkunjung ke rumah. Sebab, mereka adalah wajah yang menuntut tanggungjawab dari kami untuk dilindugi dan dijaga.
Meka sebagai wajah liyan tidak pernah menjadi permasalahan bagi orang Manggarai. Kehadiran meka justru menjadi saat bagi orang Manggarai untuk menunjukkan kapasitas keterbukaan dan kesanggupan untuk menerima setiap orang yang datang. Tidak ada perbedaan atau klasifikasi dalam kebiasaan menerima meka. Yang ada hanyalah keterbukaan untuk memberikan segala yang terbaik bagi meka.
Kepustakaan:
B. A, Petrus Janggur, 2011. Butir-Butir Adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Bertens, K, 2006. Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jilid II). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pandor, Pius, 2014. Seni Merawat Jiwa. Tinjauan filosofis. Jakarta: Obor.
Riyanto, Armada (ed), 2011. Aku & Liyan. Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication.
Teobaldus Deki, Kanisius, 2011.Tradisi Lisan Orang Manggarai. Membidik Persaudaraan dalam Bingkai Sastra, Jakarta: Parrhesia Institute.