Selain itu, Partai Gerindra yang sudah menjadi bagian dari koalisi pemerintah telah membuat militansi para kader terhadap Anies luntur. Mereka tentu berputar haluan ke mana angin cenderung bertiup.
Pernyataan Ali Lubis dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPC Gerindra Jakarta Timur bukan lagi sebagai isyarat tetapi bisa diterjemahkan sebagai bagian dari penolakan atas kepemimpinan Anies sebagai gubernur.
Seorang pentolan partai pendukung membuat pernyataan vulgar tersebut adalah suatu kudeta langsung. Ia tidak lagi berbahasa dalam batas isyarat tetapi suatu ultimatum alias peringatan. Gaung dari pernyataan itu terlalu nyaring untuk tidak disimpulkan sebagai lonceng kematian politik Anies.
Pilkada 2022 sudah di depan mata. Hitung-hitungan mati-matika tinggal satu tahun lebih sedikit. Waktu yang singkat untuk melakukan konsilidasi partai. Sekaligus meminang calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusung.
Sebagai partai terbesar kedua di DPRD DKI Jakarta setelah PDIP, Gerindra yang memiliki 19 kursi legislatif di Kebun Sirih, akan mudah bermanuver. Apalagi Anies bukan kader Gerindra sehingga keterikatan emosional relatif kurang. Pada 2017, mereka diikatkan oleh perlawanan yang sama menendang Ahok dari Balaikota.
Kini di tengah kemesraan dengan PDIP, Gerindra semakin banyak pilihan dalam menentukan strategi politik 2022 mendatang. Tentu Gerindra berkeinginan kuat menjaga Ariza tetap di Balaikota karena baru masuk pada April 2020 lalu.
Cuitan Ali Lubis adalah pemanasan menuju 2020 sekaligus peringatan kepada Anies untuk tidak sebelah mata terhadap Ariza dan Partai Gerindra. Bisa jadi sebagai salam perpisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H