Aturan pencalonan yang mensyaratkan 20 persen kursi DPRD juga membuat terbatasnya calon yang bisa maju dalam Pilkada. Akibatnya, faktor penentuan mutlak di tangan parpol. Tawar-menawar merupakan suatu keniscayaan.
Hasil bergaining itu, bisa jadi tercermin dari sosok yang akhirnya diusung parpol. Tak heran jika masyarakat kaget dengan kandidat parpol yang di luar dugaan. Termasuk, mendadak istri muncul dinominasikan.
Para istri yang menjabat bupati/walikota tentu tidak akan terlepas dari bayang-bayang suami. Bahkan, program kerja kerap hanya meneruskan apa yang sudah dirintis sebelumnya. Bersyukur jika pejabat sebelumnya berhasil kalau tidak tentu hanya akan membuat beban rakyat makin berat.
Munculnya, pemimpin daerah yang berasal dari trah ini menunjukkan minimnya sirkulasi kepemimpinan daerah. Sungguh ironis jika dalam 20 tahun bupati atau walikota adalah suami dan istri. Bagiamana tidak akan kembali muncul dinasti selanjutnya, seperti diteruskan kepada anak atau menantu, dan kerabat.
Kemunculan para istri memenangkan Pilkada ini bisakah sebagai cermin sebagai emansipasi? Bila emansipasi hanya dibatasi sekadar gender tentu bisa dibenarkan. Tetapi jika emansipasi dikaitkan dan karya dan prestasi masih perlu diuji.
Semoga saja di hari Ibu ini, meski mereka berstatus bupati/walikota dari istri mantan bupati/walikota tetapi berhasil dalam berkiprah membawa kemajuan kepada rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H