"Segelintir elite di Jakarta seenak-enaknya saja merusak negara ini. Mereka itu bajingan-bajingan. Nanti pasti ada yang bertanya, 'Eh Prabowo sebut siapa yang dimaksud itu'. Nanti gue sebut nama lengkap dan alamatnya ya," kata Prabowo berapi-api.
Prabowo dalam kampanye di Sport Hall Kridosono pada 9 April 2019 itu, mengatakan telah muak dibohongi oleh pemerintah. Ia menuding ribuan aset milik rakyat dirampok. Prabowo pun kecewa dengan TNI dan Polri tidak netral dan justri membela antek-antek asing.
Amien Rais yang saat itu menjadi sekutu utama Prabowo sempat bangkit dari duduk. Ketua Dewan Pengarah Kemenangan Pilpres 02 itu, terlihat antara ingin meredam kemarahan Prabowo dan bangga melihat Prabowo melontarkan amunisi terhadap penguasa. Amien yang memakai blangkon dan baju surjan tampak bangga dengan ketegasan sang calon presiden.
Itulah kemarahan yang Prabowo pertontonkan kepada umum. Di balik itu, Prabowo sedang menunjukkan diri sebagai orator yang membangkitkan emosi massa dan para pendukungnya. Prabowo berhasil menyulut api kebencian sekaligus perlawanan terhadap rival.
Tapi, itu politik. Orang bilang politik jauh panggang dari api. Orang-orang bijak menasihati jangan percaya sepenuhnya kepada politikus. Terkadang apa yang tampak tidak seperti yang terlihat. Orang harus menerjemahkannya melalui kedalaman hati.
Buktinya, apa yang dipertontonkan Prabowo hanyalah heroik di panggung. Mungkin, ia melakukan karena tuntutan kondisi. Drama panggung tersebut dibutuhkan sebagai bumbu-bumbu propaganda untuk mencapai tujuan yaitu kemenangan kampanye.
Itu masa lalu. Bagi pendukung 02 yang kecewa dengan Prabowo adegan itu masih kerap diungkit. Bahkan  menjadi penilaian kepada sang kandidat kini yang telah beralih ke kubu 01. Mereka kecewa ketika Prabowo balik badan tidak lagi sejalan dengan semangat dan cita-cita mereka. Mereka pun menuduh Prabowo hanyalah akting dalam gebrakan podium itu.
Kini, saat menghadapi kasus Edhy Prabowo. Mantan Pangkostrad itu nyata dalam marahnya. Kekecewaannya memuncak. Toleransinya sudah pada titik nadir. Kemarahannya nyata, bukan pura-pura. Mungkin, dalam duka ia bergumam bocah yang diselamatkan dari selokan memilih kembali ke got.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H