[caption id="attachment_120485" align="alignleft" width="300" caption="padamu negeri"][/caption]
Di balik carut marutnya pemberitaan yang ada di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, masih ada secercah harapan. Ketika banyak rakyat pesimis akan keberpihakan pemerintah yang dimenangkan oleh rakyat melalui pemilu, ternyata masih tertinggal modal dasar bagi rakyat untuk mempertahankan negeri ini yaitu persatuan dan moral yang baik.
Hanya ini yang masih kita punya, sementara tanah subur yang katanya akan membawa kita ke gerbang kemakmuran justru tergadaikan dengan kian beratnya beban yang harus ditanggung masyarakat. Kita memiliki minyak dan bahan tambang besar, namun kita kelaparan di sumur dan lobang menganga. Dan diam-diam lubang-lubang itu akan menelan. Apakah layak kisah anak durhaka yang ditelan bumi ditimpakan pada pemilik negeri ini?
Rakyat berjibaku menahan marah, atas nama konstitusi rakyat menolak bersikap anarki sementara bersama itu, di jalur konstitusi pemimpin-pemimpin pilihan rakyat berlomba-lomba menabrak lalu membangun konstitusi pikirannya. Bagaimana kita tak tertawa ketika Presiden mempunyai 34 Kementrian dan bersama itu pula ada 88 lembaga nonstruktural. Lembaga nonstruktural ini menghabiskan biaya 38 Trilyun rupiah tiap tahunnya. Lembaga yang tumpah tindih seperti geliat di ranjang yang menghantarkan birahi sesaat. Rakyat dipaksa untuk puas ber-onani harapan.
Lembaga ini hadir sebagai jawaban untuk membuat sirna ketidak percayaan masyarakat pada kinerja pemerintah pada setiap kasus-kasus yang terjadi. Seperti hadirnya lembaga terbaru bernama Satgas TKI. Rakyat terbodohi, sang pemimpin tersenyum kecut pada ketidakmampuannya memecut mentri-mentrinya. Bandingkan dengan jaman Soeharto, bersama pembangunan yang besar-besaran dihadirkan, bersama itu pula korupsi menggurita. Soeharto sanggup memecut mentri-mentrinya, sehingga jelas siapa yang sebenarnya memegang kendali. Maka kejatuhan Soeharto adalah kejatuhan dirinya dan kita melupakan kroni-kroninya yang masih memiliki kendali pada mata rantai sistem yang lupa untuk dibenahi.
Pemimpin kita saat ini adalah produk sistem yang kita hasilkan. Pemilu yang termahal di dunia dan setiap bulan pesta demokrasi hadir di daerah-daerah. Kita menari dalam berhala demokrasi, kita dikenyangkan oleh musik yang terasa merdeka. Semua bebas menyanyi semua bebas menari, Otonomi menjadi santapan, namun justru membuat sakit gigi. Rapor-rapor merah tertoreh dalam setiap kali undangan pertanggung jawaban raja-raja kecil itu.
Perhatian rakyat mulai terpecah-pecah pada permasalahan-permasalahan kedaerahan. Dan seperti mengisi TTS, jawaban menurun akan membuat kening berkerut, sementara jawaban mendatar kita sudah hapal. Kita menemukan kegagalan daerah yang ditimpakan pada pemerintah pusat dan kegagalan pemerintah pusat yang ditindihkan pada ketidak becusannya dalam mengatur pemerintahanya.
Rumah rakyat itu sudah seharusnya tak sekedar menjadi ruang berteduh wajah-wajah sendu yang mengadu. Menatap para wakil rakyat yang asyik bermain catur politik. Rakyat yang menghadirkan mereka untuk bersuara di ruangan itu, namun kebijakan mereka berkata lain. Mereka mengaku hadir oleh biaya yang mereka taburkan saat di arena pemilu. Mereka merasa bahwa mereka tak punya hutang yang harus dibayarkan. Untuk itulah kita selalu mengelus dada untuk memaklumi anak-anak durhaka. Dan tak mencoba bersikap sebagai ibu yang mengutuk anaknya walau sebenarnya mereka sudah menjadi patung-patung bersafari.
Kembali pada tulisan diawal, modal dasar tersisa bagi rakyat untuk mempertahankan negeri ini adalah persatuan dan moral yang baik. Hanya ini yang masih kita punya. Persatuan untuk melawan ketidak benaran. Persatuan untuk meluruskan arah negeri ini berjalan. Persatuan untuk merebut Daulat Rakyat. Mengembalikan ruh UUD'45 yang telah dinodai kepentingan segelintir penguasa.
Senam-senam revolusi itu sudah dimulai. Bapak-bapak membawa ketapel untuk menolak kedatangan pemimpin. Pemuda mengantungi lembaran sejarah kumal dan menumpahkan buah pikirnya di jalanan, sambil berteriak "Hic et nunc!" "Di sini dan sekarang (juga)!" Ibu-ibu mempergunjingkan uban dan kantong mata yang kini menjadi hiasan wajah sang pemimpin. Anak-anak menolak mencontek ketidakjujuran. Rakyat meninggalkan pidato sang pemimpin yang tak peka, di saat waktu sudah menunjukkan saatnya makan siang.
Ketika musim kian menghantarkan kemarahan, rumput-rumput yang mengering menjadi naungan agar akar-akar pohon tak kian kering. Rumput-rumput ditumpuk, agar nyala kekalahan tak menguapkan jernihnya pemikiran. Namun bila saatnya tiba, sepercik api mampu membakar tumpukan ilalang yang mengelilingi pohon angkuh yang tak berbuah. Kokoh nan angker. Di atas sana kelak, siluman-siluman itu akan tak lagi bergelantungan.
...................
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
.....................
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.
Penggalan "Puisi Negeri Para Bedebah," karya Adhie Massardi.
Sumber gambar : klik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H