Menunggu Seraya Merindu itu Bberat, tetapi nikmat
Adalah penduduk Madinah, ketika menunggu kedatangan kekasihnya, manusia Agung yang dirindukannya. Mereka sedari pagi sudah menunggu di perbatasan, ada yang naik pohon, ada yang naik atap rumahnya, ada yang berdiri dari tanah yang lebih tinggi, padahal mereka tahu yang dirindu belum saatnya tiba.
Lambat laun, ketika diperkirakan saat kedatangan manusia agung yang dirindukan, penduduk Madinah semakin banyak yang berdatangan, berduyun-duyun ke perbatasan. Tua muda, laki-laki perempuan.
Dan begitu dari jauh tampak bayangan manusia agung yang dirindukan, yakni Rasulullah SAW, mereka menangis, berlarian menyambutnya. Mereka bergembira, dan menyambutnya, "thala'al badru alaina... ".
Begitulah keharuan Masyarakat Madinah menyambut kekasihnya, manusia agung yang telah lama mereka rindukan, Rasulullah SAW.
Kerinduan yang mengharukan juga dirasakan oleh jamaah Haji, khususnya jamaah yang sudah di Mekkah, termasuk yang sudah melaksanakan Umrah dan sedang menunggu proses ibadah hajian. Ibadah haji yang sudah tahunan bahkan puluhan tahun dirindukan.
Tidak sedikit jamaah menangis, bercucuran air mata, bersyukur dan terharu, karena bisa hadir di tanah Haram, bisa sholat di Masjidil Haram, bisa Umrah, bisa thawaf, bisa Sai.
Bisa merasakan perjuangan Ibunda Siti Hajar mencari air untuk buah hatinya. Bisa merasakan panasnya suhu tanah haram, tempat Rasulullah SAW berdakwah.
Begitu juga ketika di Arafah, jamaah terharu dan menangis. Bisa menunaikan ibadah haji, menyempurnakan rukun Islam. Yang tidak semua orang berkesempatan.
Air mata yang tertumpah adalah air mata kerinduan. Â Dan menunggu dengan penuh kerinduan itu berat. Namun nikmat dan membahagiakan.
Pertanyaannya, bagaimana jika yang kita rindukan adalah kekasih kita, tetapi pada saat berjumpa, kita sakit, kita belepotan, kotor, bau atau lainnya?
Otomatis kita tidak mau, kita tidak rela. Semua kita ingin tampil prima, dan menyambutnya dengan suka cita.
Saat menunggu, adalah saat yang tepat untuk menyiapkan diri, tampil prima, sehat dan kuat, sehat jasmani dan rohani, sehingga kita pun puas untuk menemui yang kita rindu dan kita pun layak dipanggil, menjadi tamu-Nya.
Dan perlahan, yang dirindu akan tiba. Kesadaran akan diri, kesadaran akan kesejatian diri, kesadaran akan dari mana asalnya dan akan kembali kemana sesuai makna haji, kesadaran akan kelemahan diri, tidak ada kuasa pada dirinya, kesadaran akan ketergantungan pada sang Khaliq. Manisnya iman, kedewasaan iman, kerinduan iman, akan masuk ke relung hati.
Pertanyaanya, Sudahkah pintu hati kita buka? Sudahkah ruang hati kita siapkan? sudahkah ruang hati kita bersihkan? Sehingga kelak ia betah, nyaman, dan bertahan tidak pergi.
Semoga Alloh SWT mudahkan.
Wallahu a'lam bi shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H