Konstitusi kita menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 28 H dan Pasal 28 I UUD 1945 jo Pasal 4 dan 14 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Oleh karena itu, pada saat munculnya berita pengenaan PPN atas jasa kesehatan, menjadi isu yang panas, menimbulkan pro dan kontra. Kesehatan adalah hak setiap warga, dan merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah, mengapa dikenai PPN ?
Defisit APBN Melebar
Pemerintah, dalam hal ini Drektorat Jenderal Pajak berargumen bahwa defisit APBN melebar dan fiskal menjadi tidak sehat, sebagai akibat pandemi covid-19. Perkembangan Covid-19 dan dampak ekonominya secara global dan nasional belum pulih. Fiscal mengalami sustainabilty (defisit dan utang) , dan memunculkan kesenjangan serta pengangguran baru.
Defisit APBN yang melebar, dan adanya program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dan program vaksinasi menuju herd immunity serta penanganan covid-19 yang belum selesai, membutuhkan pendanaan yang banyak, sumber pendapatan baru, salah satunya adalah optimalisasi pendapatan sektor perpajakan, dengan cara memperluas basis perpajakan. Kontek saat ini adalah pengenaan PPN atas jasa kesehatan.
PPN atas Jasa Kesehatan VVIPÂ
Menurut penjelasan dari Direktur P2humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP), bahwa peraturan PPN saat ini banyak mengakibatkan ketidakadailan bagi masayarakat. Masih menguntungkan masyarkat berpenghasilan tinggi dibanding dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, ke depan, Jasa kesehatan selain kebutuhan dasar kesehatan, seperti estetik dikenai PPN dengan tarif final yang lebih rendah dari tarif umum.
Jasa kesehatan di rumah sakit umumnya terdapat kelas perawatan, seperti kelas III sampai VVIP. Kelas VVIP, cenderung kelas perawatan dengan aneka fasilitas, sedangkan kelas III fasilitasnya standar. Berdasarkan website Alodokter.com, salah satu rumah sakit di Jabodetabek, tarif kelas rawat inap tertinggi adalah Suite (VVIP) sebesar Rp2.730.000 / hari, dan terendah adalah kelas III, dengan tarif Rp220.000 / hari, Tampak bahwa tarif rawat inap tertinggi mencapai sepuluh kali lipat bahkan lebih dari tarif terendah.
Fasilitas kesehatan VVIP dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya. Mereka yang tidak pada pemenuhan kebutuhan primer yakni selamatnya jiwa, melainkan menghendaki terpenuhinya kebutuhan tersier dalam pemeliharaan kesehatan.
Adapun masyarakat umum, memerlukan jasa kesahatan yang standar, barangkali antara kelas III sampai I. Dalam perspektif maqashid syariah khususnya dimensi hifdzun nafs (memelihara jiwa) adalah unsur kebutuhan dharuriyah (primer) atau hajiyah (sekunder), dimensi harapan hidup (life expenctancy) dalam perspektif Human Development menurut UNDP. Dengan demikian, jasa kesehatan yang menjadi kebutuhan masyarakat umum merupakan kesehatan standar, yakni jasa kesehatan primer atau maksimal sekunder, bukan tersier (tahsiniyah).
VVIP Layakkah mendapat Fasilitas Bebas PPN?
Mengingat jasa kesehatan, sesuai Pasal 4A ayat (3) UU KUP baik yang kelas III maupun VVIP dikecualikan dari pengenaan PPN, maka sama-sama mendapat fasilitas bebas PPN. Hal ini berakibat, berapapaun tarif jasa kesehatan, tidak dikenakan PPN.
Gambar di atas, merupakan ilustrasi perbandingan faslilitas PPN, antara kelas perawatan VVIP (termahal) dan Kelas III (termurah). Penulis yakin, akan semakin jauh perbedaannya, jika yang termurah memakai tarif RSUD. Berdasarkan perhitungan tersebut, tampak bahwa, fasilitas pembebasan PPN sebagian besar dinikmati oleh mereka yang kaya, yakni sebesar Rp273.000, adapun masyarakat umum tidak mencapai sepersepuluhnya, hanya sebesar Rp22.000.
Apabila gagasan pengenaan PPN atas jasa kesehatan, misalnya diberi tarif 5% untuk jasa kesehatan kelas II ke atas, maka konsumen Kelas VVIP menanggung PPN-nya sebesar Rp136.000, lebih besar dari kelas di bawahnya. Apabila kelas III tidak dikenakan PPN, maka tidak ada PPN yang ditanggungnya.
Kesimpulan
Pengenaan PPN atas jasa kesehatan VVIP dilakukan demi keadilan. Pengenaan PPN atas jasa kesehatan yang bersifat mewah, dan tidak dikenakannya PPN atas jasa kesehatan standar bagi masyarakat umum yang berpenghasilan rendah merupakan kebijakan yang lebih adil dan tepat. Mereka yang menikmati fasilitas lebih baik, menanggung PPN lebi besar. Kebijakan PPN menjadi lebih tepat sasaran. Namun demikian, diharapkan tarif yang digunakan dalam pengenaan PPN atas jasa kesehatan adalah tarif yang rendah, agar tidak memberatkan masyarakat.
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H