Mohon tunggu...
Edi Miswar Mustafa
Edi Miswar Mustafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Unggul Pidie Jaya. Jama'ah Komunitas Kanot Bu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nurhayati

22 September 2013   02:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:34 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Kau hanya pasrah melihatnya Ramadhan ini. Entah lelaki jahanam mana yang telah menyemprotkan spermanya di ceruk pembenihan anakmu. Kau sudah lelah membujuk, menghajarnya berkali-kali, tapi, ia tetap bersikukuh untuk tak bicara. Muka itu pun telah penuh dengan lebam oleh amukanmu. Terang sekali, anakmu, dari balik rambutnya yang membelukar, mengendap padat selaksa bahasa.

“Apakah Haji Lukman? Jawab Nurhayati?” kata-kata itu meluncur seperti ayam yang baru saja disembelih. Segenap sendi di badanmu telah terlepas semua. Gerakmu hanya bayang yang terpantulkan di dinding putih yang catnya telah terkelupas habis. Bayang itu bergerak menyedihkan ke sudut lain dari gubukmu. Sementara itu, sebentar lagi hari akan mengucapkan selamat datang pada tuan malam. Lewat jendela kecilmu kau bisa membayangkan sesuatu yang menyengat hati dari deru kendaraan di jalan sana. Pada jam-jam begini, orang-orang saling bersicepat, seakan berlomba menyediakan penganan berbuka sebaik dan seindah mungkin mungkin di atas meja.

“Kalau kau tak mau bicara, lebih baik, mulai detik ini, jangan panggil Mak lagi kepadaku. Kau boleh keluar dari rumah ini.” Kau tak menoleh ke belakang meski kau tahu benar ia semakin mengguguk. Dan isakan itu, yang mendesis, membuat aroma ikan asin yang kau goreng menjerit.

“Nurhayati, Anakku. Kau tak boleh takut. Bicaralah. Apakah Pak Yusuf guru SMA?” tanyamu kembali setelah sesaat tadi mengambil kesimpulan; kau harus pelan-pelan membujuknya dan jangan cepat panik serta membuatnya tambah kalut (usai kilasan pikiran ini kau langsung ingat pada sore dua hari yang lalu ketika kau melihat laki-laki itu mencari sesuatu arah belakang rumahmu. Dan, matamu mungkin membelalak, tatkala bertubrukan dengan pandangnya. Lalu, seakan suatu cahaya yang menusuk nurani, kegelisahannya memucat sekejap. Hanya sekejap saja. Berpendar risau… seperti …. ah … Namun, pandang mencurigakan itu segera dilarikan ke tumpukan tikar pandan di bawah ranjangmu.

Apakah Pak Yusuf yang ‘alim itu? Tidak mungkin. Tidak mungkin laki-laki itu melakukannya. . Dia seorang yang sangat menjaga martabat. Dia, tentu saja, orang yang sangat paham ajaran agama. Lagi pula, Nurhayati cuma seorang anak yang telah diketahui umum siapa ia; lahir tanpa ayah, hidup luntang-lantung berdua denganmu di tepian kampung di tengah-tengah hutan nipah ini; tempat jin buang anak. Nurhayati yang kumal, berkulit hitam, sangat jarang mandi, apalagi soal membersihkan gigi minimal sehari dua kali. Sedangkan Pak Yusuf, kiranya tak ada laki-laki di kampung ini yang senecis Pak Yusuf.

Kau menyendok kuah air berisi buah melinjo muda dan dedaun melinjo yang masih kekanak-kanakkan. Hanya ada nasi di bangku dari bambu itu. Dalam beberapa langkahmu, mangkuk dari tanah liat itu kau dudukkan dekat nasi. Lalu kau kembali ke dapur mengambil ikan asin yang baru saja kau goreng. Segera saja perutmu seumpama pahlawan-pahlawan ’45.

Dan derit bangku bambu karna berat tubuhmu mengingatkanmu akan pemberitahuan waktunya berbuka dari pengeras suara di meunasah. Biasanya, kau amat hapal laku bilal tua itu, pengumuman itu akan terdengar ketika deru dan klakson saling berseteru di jalan sana. Biasanya pengumuman itu terdengar sayup-sayup sampai. Kau membujuk Nurhayati untuk duduk di dekatmu, di bangku dan berbuka bersamamu. Lalu kau ingatkan bahwa ia sangat lelah pastinya. Bukankah kalian berdua dari tadi pagi hingga menjelang petang, mencari kerang-kerang untuk dijual ke pasar dengan mengandalkan arit tumpul yang tak mungkin lagi digunakan untuk memotong padi.

“Mak minta maaf karna memukulmu tadi,” katamu seraya merengkuh pundaknya ke dalam rengkuhanmu, mencoba merasakan hangat tubuh itu.

“Mukaku sakit, Mak. Kena sapu itu,” ujar Nurhayati tiba-tiba. Suara itu adalah suara keterbujukan. Suara yang lupa atau sama sekali tak menyadari dengan strategimu. Sapu lidi dekat dua karung gabah itu memang bulat lagi besar, pikirmu. Sentakan tanganmu yang keliru, pikirmu lagi menambahkan. Seharusnya jangan memukulnya di wajah. Seharusnya cuma di kaki atau di tangan saja. Ya, kau khilaf.

“Mak salah. Maafkan Mak ya, Nurhayati,” ucapmu seperti suasana pagi yang mendung. “Nurhayati,” panggilmu. Hening sejenak. Nurhayati menunggu kelanjutan dari kata-katamu, “Kalau kau mau bicara, barangkali, Pak Yusuf  mau membelikanmu baju baru buat hari raya.”

Gadis remaja itu tercekat. Ia seperti percaya dan tidak mendengar perkataan itu. Dan wajah laki-laki itu, yang menghancurkan malam bersamanya, kembali melongok di pelupuk matanya. Melenguh dan mengupat istrinya dan ia yang tak akan membiarkan mulut Nurhayati terbuka dengan uang sejuta rupiah.

Homhai, 27 Agustus 2009

Edi Miswar Mustafa: Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Unggul Pidie Jaya. Jama’ah

Komunitas Kanöt Bu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun