Mohon tunggu...
Edi Miswar Mustafa
Edi Miswar Mustafa Mohon Tunggu... lainnya -

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Unggul Pidie Jaya. Jama'ah Komunitas Kanot Bu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Kakekku, dan Perempuan Tua Itu

24 September 2013   10:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:28 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Edi Miswar Mustafa

Hujan sangat deras. Jarak pandang hanya beberapa meter saja ke depan. Kuparkirkan mobil di tempat biasa. Aku turun. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat satu spanduk film yang diangkat dari novel karya kakekku. Perlahan kutelusuri dinding yang penuh dengan sticker film, juga dari novel kakekku. Nama beliau tertulis pada bagian bawahnya; film ini Diangkat dari Novel Tuanku Luqman. Salah satu dari poster tersebut mepampang wajahku karena di film itu aku yang memerankan tokoh Mira. Sosok mahasiswi alim yang dulu dikagumi kakek. Tapi, si mahasiswi membuat kakek patah hati. Meninggalkan bangku kuliahnya. Menghancurkan harapan kedua orangtuanya padanya menjadi seorang guru. Lalu sepenuhnya hidup dari menulis.

Sebenarnya, keinginan untuk menulis hanya karena kakek ingin mengatakan segenap impiannya pada dambaan hatinya.

Sesampainya di ruangan luas tersebut aku disambut oleh ketua panitia sendiri. Dibawa ke depan ruangan dan dipersilakan duduk di dekat seorang wanita yang penuh dengan uban di balik selendang hijau gelap yang menutupi sebagian kepalanya. Ia tersenyum kepadaku, tapi tidak mengatakan apa-apa. Nampak olehku sejenak giginya yang masih terawat baik. Ia datang bersama seorang gadis indo yang beberapa menit kemudian kuketahui sebagai cucunya.

Ruang penuh mereka yang menyenangi film-film yang diangkat dari novel kakek. Aku mengenal beberapa orang yang selalu hadir dalam acara premiere film seperti ini. Mereka ikut memberikan pendapat bahkan kritik kepada tim film, misalnya; menurut mereka film tersebut telah banyak berubah dari novel aslinya. Sebentar kurekatkan syalku. Penyejuk ruangan seharusnya dikecilkan lagi. Kulambaikan tangan kepada seseorang yang mengalungi badge kepanitiaan dan memintanya mengecilkannya sampai angka sepuluh saja. Sementara itu MC di podium, sebelah kiri meja kami, mulai membuka acara. Ia memperkenalkan siapa-siapa saja yang duduk di depan. Yang tidak kuketahui adalah nenek tua itu maka aku menyimak baik-baik. Produser film, sutradara, aku, Ibu Mira Keumala, cucunya; Stefani Ramlah Montalban, dua pemeran utama, dan penulis skenario.

Aku tercekat. Tak sadar aku menoleh ke arah perempuan tua itu. Aku benar-benar mematung demi mengetahui siapa sebenarnya nenek tua di sampingku. Beliaulah mahasiswi alim yang dulu dicintai kakek. Cinta yang membuat kakek rela ditinggalkan istrinya, nenekku —karena tidak tahan dianggap hanya sebagai pabrik anak. Bayangkan bagaimana kakek mencintai nenek tua ini sehingga membuat nenekku tak sanggup lagi hidup bersama. Ibuku, anak pertama diberi nama Mira Keumala. Anak kedua Amir Keumala. Anak ketiga perempuan dan bernama Armi Keumala. Keempat perempuan juga, nama makcekku itu Irma Keumala. Mira, Amir, Armi, dan Irma; hanya empat huruf itu. Keumala nama belakang orang yang dicintai kakek sekaligus nama tanah kelahirannya di Kabupaten Pidie.

Cahaya berkeredepan dari kamera fotografer yang menumpuk-merunduk antara kami dan peserta yang memenuhi ruangan. Sekali lagi aku menoleh ke arah perempuan tua yang berseri itu. Pendengaranku tak lagi perhatian dengan pemaparan produser yang mengemukakan sisi sosio-politik yang diangkat dalam film ini. Tsunami, MoU Helsinki, pemilu yang diikuti partai-partai lokal, dan terbentuknya lembaga Wali Nanggroe. Di film ini, menurut produser, kita dapat melihat Aceh dalam masa transisi yang disorientatif. Ironisnya, golongan penguasa Aceh saat itu malah menginginkan Aceh kembali ke sistem feodalistik sebelum diserbu Belanda pada tahun 1873. Terutama setelah pilkadasung pertama yang diikuti oleh 39 partai nasional dan 6 partai lokal. Ternyata perdamaian dan harapan untuk berdemokrasi yang sesungguhnya masih belum beranjak jauh dari pola-pola menggiring sapi ke kandang zaman partai beringin menguasai Indonesia selama 32 tahun. Budaya kekuasaan hanya berganti subjek, tetapi objek tetap sama; rakyat kebanyakan. Pemerintah pusat kembali tidak memercayai provinsi ini dan mengirimkan alat negara lebih banyak. Nyaris menyamai masa darurat militer I dan II yang pernah diberlakukan.

Aku tidak tahu lagi apa yang produser katakan setelah itu. Aku larut dalam pikiranku. Menatapi pipi yang sudah kempot itu. Dan, aku ingat salah satu sajak dalam novel Keumala. Mira saat itu bertugas mengurus KHS dan KRS semester genap. Kakek mencoba menyapanya saat mereka di lobi fakultas, ketika mahasiswa sejurusan tak seorang pun di tempat itu. Tetapi Mira tak memedulikan kakek. Kakek terduduk seorang diri di kursi lobi dan menulis puisi berjudul;

“Platonius I

Hari sehabis hujan
“Adakah yang lebih menyenangkan dari memandangnya?”
Aku menoleh ke lain arah. “Tidak. Mengapa kau selalu ingin tahu apa yang kupikirkan?”
Kurasa ia marah. Ia menjauh dariku dengan cepat.

Kurasakan seseorang menyadari kericuhan kami,
yang kupandangi dari tadi itu pun sekilas melihatku.
Aku coba tersenyum. Tapi ia tak mau tersenyum.
Ia menjauh dariku. Gerakannya perlahan
kumaki ia dalam hati, “Gadis tolol.”

Jerawat itu tak ada lagi kini. Hanya kulit penuh keriput yang tampak di mataku. Ia sudah tua sekali. Kuperkirakan mengenai umurnya pastilah 87 tahun. Karena bila kakek kiranya masih hidup umurnya sekitar 93 tahun. Mereka satu angkatan memang. Tapi kakek sempat menganggur selama tiga tahun karena lari ke Jawa. Saat itu kakek diminta lari orangtuanya ke tempat abang sulung kakek agar beliau tidak lagi terlibat dengan orang-orang gunung selepas Darurat Operasi Militer I. Kemudian kakek kembali ke Aceh dan kuliah sebagai calon guru sekolah dasar selama tiga tahun. Entah bagaimana, kakek tiba-tiba ingin jadi seorang penulis sehingga ia memasuki FKIP yang tertera kata ‘sastra’-nya. Di sanalah kakek berjumpa Mira Keumala yang berselisih umur sekitar enam tahun.

Aku merasa kepala nenek di dekatku bergerak perlahan ke arahku. Rupanya benar. Ia menoleh ke wajahku. Kali ini sutradara sedang mengupas pengadeganan-pengadeganan mengapa tak sepenuhnya selaras dengan yang di novel. Sutradara menjelaskan bahwa bahasa visual itu berbeda dengan bahasa tulis. Perbedaannya barangkali sama dengan keindahan bahasa lisan seorang mubaliq dibandingkan keindahan bahasa tulisan seorang kolumnis di surat-surat kabar. Tentu saja keindahan-keindahannya berbeda.

“Siapa namamu?” Seperti berbisik kudengar ia bertanya. Aku menatap kedalaman matanya dan mencoba tersenyum. Kudekatkan wajahku ke arahnya, “Deca. Deca Rahayu,” jawabku.

“O ...” Bola matanya perlahan menghilang. Tapi tak lama liang itu kembali membuka. Aku melihat isyarat matanya untuk mendekat. Katanya lirih, “Deca adalah nama kakak angkatan kami. Satu tahun di atas kami, kakekmu. Tapi kakekmu jauh lebih tua darinya. Dia seorang wanita cantik yang juga sangat perhatian pada kakekmu.”

Benarkah demikian yang sebenarnya? Tak pernah kumendengarnya dari siapa pun tentang ini.

“Apakah di keluargamu ada yang bernama seperti Louisa, Carmen, Maryam, Vika, dan ... hm, Eva?” Selekas mungkin aku memindahkan pandangku lagi kepadanya yang masih saja tersenyum. Memang, nama-nama itu adalah nama-nama sepupuku dan seorang kakakku. Perlahan aku mengangguk kepadanya.

“Louisa, kuliah di Akademi Keperawatan Unsyiah. Dia mencintai kakekmu. Carmen, mahasiswi Pendidikan Kimia, berasal dari Sabang. Dia juga menggandrungi kakekmu. Maryam, juga di Pendidikan Kimia. Sementara Vika, di Kedokteran.”

Pembicaraan terputus sampai pada pertanyaanku, dari mana nenek tahu? Belum sempat ia menjawab, MC menyebut namaku sebagai keluarga penulis novel yang akan difilmkan, juga seorang feminis dan juga redaktur pelaksana di sebuah majalah perempuan. Sebenarnya aku dihadirkan dalam komperensi pers ini sebagai pemateri diskusi yang akan mengemukakan bahwa kekalahan seorang laki-laki dalam kehidupannya bukan karena dirinya semata, tapi bisa jadi karena wanita. Pendapatku ini selalu demikian dalam setiap acara pemutaran perdana film dari novel kakek. Sebab, aku beranggapan bahwa kakekku yang selalu menulis novel-novel bertema cinta patah hati merupakan contoh yang harus dilihat ulang oleh para feminis, terutama mereka yang radikal yang mengklaimku sebagai perempuan-perempuan yang ingin mengembalikan hegemoni laki-laki atas perempuan; perempuan sebagai manusia kelas dua.

Lalu nenek tua di sebelahku yang bicara. Selama ini ia tinggal di Munchen, Jerman. Suaminya telah meninggal 23 tahun lalu. Dahulunya mereka sepasang suami istri yang diterima mengajar Mata Kuliah Bahasa Indonesia di salah satu perguruan tinggi di Jerman. Akhirnya mereka pindah kewarganegaraan dan setelah suaminya tiada, bersama anak-anaknya, dia membuka restoran masakan khas Aceh di Munchen.

Dia tahu dari televisi dan juga dari internet bahwa beberapa novel yang menceritakan dirinya telah difilmkan. Tapi berhubung usia ia urung ke Aceh. Sampai kemudian produser film mengajaknya pulang ke tanah kelahiran bersama seorang cucunya.

***

Saat duduk di bangku bioskop di gedung yang lain ia berbisik padaku, “Deca tahu mengapa seakan-akan saya sangat membenci kakekmu dalam novel-novelnya. Sebabnya, kakekmu berwatak cabul. Tapi, itu di awal karya-karyanya. Mungkin, sekarang bagi kalian tidak masalah. Tapi, pada waktu saya masih muda dulu. Itu sangat memalukan. Saya mengingatnya, kakekmu menulis tentang saya dalam cerpen-cerpennya; Malam Tahun Baru, Gadis Idaman, Mantan Suamiku, Sesal 1, Sesal 2, Surat yang Tak Jadi Dikirim, Liburan ke Pantai, Perang pun Kembali Berkecamuk, Nurul Hayati, Surat Cinta dan lain-lainnya.”

“Nenek Mira masih menghafal semuanya,” potongku takjub.

“Tentu. Tentu saja, Deca,” timpalnya, sumringah.

Film itu diangkat dari novel pertama kakek yang berjudul; Keumala.

Rongga dadaku memerih merasakan ketersiksaan jiwa kakek dalam film itu. Aku merasakan  desakan air yang panas di mataku.

Tiba-tiba aku ingin mengetahui keadaan perempuan tua di sampingku. Nenek Mira ternyata hanya tersenyum-senyum. Matanya berbinar. Ia tidak tersedu seperti kebanyakan perempuan yang lain. Ini membuatku bingung. Heran. Mengapa demikian?

Belakangan, setelah ia kembali ke Jerman, ia menelponku dan kutanyakan hal itu. Kudengar ia menjawab seraya tertawa kecil, “Deca, kakekmu itu berimajinasi. Kakekmu tidak sehebat laki-laki muda di film itu. Kakekmu melebih-lebihkan perasaan cintanya pada saya dalam novel-novelnya. Sebenarnya kakekmu tidak pernah sejujur itu pada saya. Maaf, ya, Deca kalau saya harus mengatakan ini. Assalamu’alaikum.

Tanjong Selamat, 27 Februari 2009

Riwayat Publikasi:

Cerpen “Aku, Kakekku, dan Nenek Tua itu” pernah dimuat di Harian Aceh, 16 Januari 2011

Kartu Hasil Studi

Kartu Rencana Studi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun