Mohon tunggu...
Edil Wijaya Nur
Edil Wijaya Nur Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis, Desainer Grafis, Traveler, dan Peneliti

Lahir di Rappang, 11 April 1992 menyelesaikan pendidikan Sarjana di UNM Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Keluar dari Zona Nyaman, Cukup Lebarkan Zonanya

14 Agustus 2021   07:30 Diperbarui: 14 Agustus 2021   07:39 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentu pernah mendengar kalimat "keluarlah dari zona nyaman" yang lebih sering ditafsirkan dalam istilah "out of the box". Keluar dari Zona nyaman adalah melakukan sesuatu yang berbeda dari biasanya yang dilakukan orang banyak. Definisi ini terlihat dapat disematkan pada program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T). Program yang digalakkan pemerintah sejak tahun 2011 hingga 2016 ini telah menjangkau pelbagai beranda terdepan dari negeri ini. 

Disebut sebagai progam yang "keluar dari zona nyaman" karena membawa para guru muda Indonesia dari nyamannya perkotaan menuju area yang listriknya susah, sinyal handphone sulit dijangkau serta terkadang ketersediaan air bersih masih menjadi masalah harian di tempat tugas. Disebut sebagai aksi "out of the box" karena tidak semua orang mau ke tempat yang terbilang ekstrim untuk ditempati selama setahun penuh. Hal ini benar-benar berbeda dari biasanya. Kebanyak sarjana dengan status fresh graduate akan lebih memilih untuk mengabdi di perkotaan atau paling tidak di kampung halamannya sendiri.

Namun bagi saya, SM-3T ini adalah 'zona nyaman' yang saya perlebar definisinya. Zona yang nyaman untuk berkreasi, berinteraksi, dan berkolaborasi dengan realitas pendidikan di daerah terpencil Indonesia. Kita dirancang untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam hidup kita. Menghindari masalah adalah salah satu mekanisme kita menangani masalah. Tapi bukan pilihan yang bijak untuk mendewasakan mental kita sebagai generasi muda. Saya tidak akan menyebutkan permasalahan pendidikan di Indonesia satu persatu. Karena berbicara mengenai permasalahan pendidikan, maka kita punya banyak 'PR' di situ. Yang ditunggu oleh negara hari ini adalah tentang 'apa yang telah kita lakukan untuk Pendidikan'. 

Usia muda yang ada pada generasi baru guru millenial pada dekade terakhir adalah konfirmasi atas masa depan pendidikan kita. Namun, energi ini bisa juga mentransformasikan gelar 'millenial' menjadi kembali 'kolonial' jika zona nyamannya terlalu kecil. Sepertinya halnya sekian persen guru 'senior' saat ini. Kita tidak perlu seperti Jepang yang harus dijatuhi bom atom dulu baru mereformasi Pendidiknya dengan kebijakan pembaharuan mereka pasca perang dunia II. Kita hanya perlu menggeliatkan ekspektasi kita terhadap pendidikan dengan aksi nyata yang tidak sekedar mengajar di kelas, atau tidak hanya menggugurkan tugas. Sebagai generasi muda, penting untuk sadar mengenai pentingnya menjadi bagian dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun