[caption id="" align="aligncenter" width="491" caption="Mas Afandi Sido dan saya dengan latar belakang lesehan Puro Pakualaman (dok. Pak Ramli Hasibuan)"][/caption]
Kurang lebih 3 mingguan saya mudik ke Jogja, terhitung sejak hari Lebaran pertama atau tanggal 19 Agustus hingga 7 September 2012. Dan selama itu pula saya juga hanya ngintip Kompasiana sesekali saja. Maklumlah koneksi internet terbatas, jadi ya ngintipnya kalau ada tempat-tempat yang menyediakan internet gratisan hehehe. Ada beberapa kejadian seru yang saya temui selama saya mudik, khususnya yang berhubungan dengan kompasianer. Untuk itu saya akan mencoba berbagi sedikit cerita yang tentunya semampu saya dengan teman-teman semua dalam curhatan alakadarnya ini.
Sejak saya merencanakan pulang kampung kemarin, saya memang berangan-angan ingin sekali bertemu langsung dengan para kompasianer yang bermukim di Jogja. Alhamdulillah angan-angan saya kesampaian. Walaupun tak terlalu banyak kompasianer yang berhasil saya jumpai, tapi tetap saja tak membuat saya kecewa. Bahkan saya sangat bersyukur dan berbangga hati bisa bertatap langsung dengan mereka. Pertemuan dengan mereka tidak hanya meninggalkan kesan yang mendalam, tetapi sekaligus menjadi tempat buat saya  "berguru" atau ngangsu kawruh dengan para kompasianer senior. Senior dalam arti bukan hanya umurnya, tapi juga ilmunya dan juga keanggotaan mereka sebagai kompasianer yang jauh lebih dulu dibandindingkan saya.
Pertemuan awal saya dengan kompasianer yang mukim di Jogja terjadi pertama kali pada tanggal 25 Agustus 2012, tepatnya pada malam minggu. Dalam pertemuan itu saya mengundang siapa saja anggota Kampret (Kompasianer Hobbi Jepret) yang punya sedikit waktu luang untuk menemani saya ngobrol ngalor ngidul sambil lesehan di Alkid (Alun-Alun Kidul) sembari menikmati suasana malam itu. Dalam kesempatan itu beberapa anggota Kampret bersedia memenuhi undangan saya, diantaranya Mo Wit (Mo Yustinus), Mas Ajie Nugroho dan juga Mas Bowo Bagus. Ketiganya adalah dedengkot di Kampret. Semua anggota Kampret pasti mengenal mereka bertiga karena mereka semua adalah para "suhu"nya di bidang potret-memotret. Untuk itu saya sangat berterimakasih pada mereka semua. Mo Wit yang datang lumayan jauh dari lereng Merapi, tepatnya dari Jalan Kaliurang Km 17. Dalam dingin malam Mo Wit masih mau "turun gunung" menemui saya. Kemudian Mas Bowo Bagus, yang walaupun jauh-jauh datang dari Klaten, tetap sumringah menyambut saya. Bahkan saking sayang dan cintanya dengan anak semata wayangnya, Mas Bowo yang sehari-hari nglaju dari Klaten ke Jogja tempat kerjanya, rela menjemput dulu Ikel Bagus ke Klaten untuk diajak menemani kedua anak saya melihat aneka becak dan sepeda warna-warni yang ramai disewakan di sepanjang jalan Alun-Alun Kidul. Tak lupa kepada Mas Ajie Nugroho, yang mungkin harusnya malam mingguan dengan "obengnya" (hanya kampretos yang tahu istilah ini hehehe) malah ikutan menemani saya. Juga untuk Mbak Dwi Purwanti yang nun jauh di Hongkong sana, mau menyempatkan diri menelpon kami semua malam itu. Itu semua membuktikan betapa mereka semua menyayangi saya hehehe. Kalau tidak mana mungkin mereka mau mengorbankan waktu yang seharusnya untuk berkumpul dengan keluarga malah menemani saya. Matur nuwun untuk semuanya. Saya tak akan pernah melupakan pertemuan malam itu.
Namanya juga "tukang potret", begitu berjabat tangan saling memperkenalkan diri (meskipun tanpa memperkenalkan diripun saya sudah bisa menebak dengan benar siapa mereka), mereka bertiga langsung mengeluarkan "senjatanya" masing-masing. Dan terus terang karena selama saya bergabung dengan Kampret, bisanya cuma aspret (asal jepret) dengan modal kamera ecek-ecek jadi minder dengan mereka bertiga. Saya malah tidak banyak bertanya tentang teknik memotret, melainkan justru asyik memperhatikan gaya mereka bertiga. Dengan begitu saya tidak perlu teori yang njlimet ala anak sekolahan, tetapi sudah langsung melihat praktek para suhunya Kampret dilapangan. Sambil menyelam, minum air sampai tenggelam malahan hehehe. Melihat gaya mereka memotret, saya pun langsung tergelitik untuk motret mereka. Beberapa diantaranya akan saya share dibawah ini.
[caption id="attachment_204906" align="aligncenter" width="512" caption="Mo Wit dengan "][/caption] [caption id="attachment_204907" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Ajie dan "]
Selain melihat gaya mereka memotret, yang tak kalah penting adalah terkabulnya keinginan saya memiliki kaos kebanggaan para kampretos yang satu ini.
[caption id="attachment_204910" align="aligncenter" width="299" caption="Kaos ini saya idam-idamkan sejak bergabung dengan grup Kampretos (dok.pribadi)"]
Yang membuat saya heran sekaligus senang malam itu, kami merasa sudah sangat akrab walaupun baru pertama kali dipertemukan. Tidak ada rasa canggung sama sekali. Bahkan anak saya Darryl juga langsung lengket dengan Mas Ajie yang baru dikenalnya. Ini bukti bahwa "ikatan" itu ada walaupun dimulai dari dunia maya. Pertemuan itu sekaligus membuktikan bahwa kami "benar-benar ada", bukan kompasianer bodong, kloningan ataupun makhluk jadi-jadian. Kami benar-benar nyata dan kopdar semacam ini bisa jadi pembuktiannya.
[caption id="attachment_204911" align="aligncenter" width="512" caption="Darryl anak saya langsung akrab sama Mas Ajie (dok.pribadi)"]
Pertemuan malam itu ternyata membuat saya ingin kopdar lagi dengan mereka, bila perlu dengan yang lainnya. Akhirnya iseng saya kirim sms ajakan lagi kepada mereka, tapi kali ini saya mengajak berkumpul di Pelataran Puro Pakualaman yang bila malam hari disulap menjadi tempat lesehan. Gayung pun bersambut, Mas Bowo, Mas Afandi Sido, Pak Ramli Hasibuan beserta anaknya (yang ternyata kompasianer juga) menyanggupi untuk hadir pada malam Kamis tanggal 5 September, tepatnya dua hari sebelum saya kembali ke Bontang.
Saya ingat pagi harinya saya sempat ditelpon Mas Valentino (dedengkotnya Cengengesan Family) untuk njawil Pak Joko Martono, siapa tahu beliau berkenan hadir di acara kopdar malam itu. Sementara karena kesibukannya di Jakarta, Mas Valentino absen di acara itu. Tadinya saya sungkan untuk mengundang Pak JM mengingat beliau ini orang yang sibuk. Apa mungkin bisa menyempatkan diri bertemu saya yang sama sekali bukan orang penting ini. Saya juga ragu karena Pak JM selalu menyebut dirinya "wong anteng". Apa jadinya jika bertemu saya yang bawel dan cerewet ini. Kasihan beliau nantinya. Tapi entah mengapa jelang Maghrib saya nekad mengirim pesan ke hape Pak JM dan pesan saya langsung dibalasnya bahwa sebenarnya beliau malam itu harus segera kembali ke lapangan di Banjarnegara sana. Ya sudah, harapan untuk bertemu "wong anteng" itu musnah. Tapi tak berapa lama sms Pak JM datang lagi ke hape saya yang intinya jika timnya mengijinkannya "bolos", maka beliau akan menyusul ke lokasi kopdar. Saya pun membalas sms Pak JM dengan kelakar yang intinya saya senang ada orang bisa "bolos" demi bisa memenuhi ajakan saya.
Sekitar pukul 8 malam, saya sudah tiba ditempat kopdar. Celingak-celinguk belum ada orang yang saya kenal berada disitu. Saya coba telpon Mas Afandi Sido, ternyata Mas Fandi beserta Pak Ramli dan puteranya sudah berada di lokasi hanya saja saya belum melihat kehadiran mereka karena mereka "bersembunyi" dibawah pohon beringin hihihi. Begitu ketemu kami langsung saja akrab, tertawa lepas seperti orang yang pernah bertemu muka sebelumnya. Mas Fandi dan Pak Ramli langsung mulai menganalisis diri saya. Katanya saya ternyata memang sama seperti tulisan saya. Ceplas-ceplos sak karepe dewe. Apapun penilaian mereka, ya seperti itulah saya. Saya memang cerewet, bawel, dan apa adanya. Lha mau bagaimana lagi, sudah gawan bayi je hahaha.
Disela-sela kami bercanda tawa, tiba-tiba ada pesan masuk ke hape saya. Ternyata dari Pak JM yang mengabarkan akan datang dengan motor butut dan celana jeans karena baru pulang dari tempat kerja. Bukan main senangnya hati saya, niat untuk bertemu "wong anteng" di Kompasiana itu bakalan kesampaian. Benar saja sekitar pukul setengah 9, Pak JM benar-benar hadir ditengah-tengah kami. Langsung larut dalam obrolan kami. Kemudian di susul kedatangan Mas Bowo yang langsung mengeluarkan "senjatanya". Ampun deh Mas Bowo mulai memotret kami yang sedang ngakak, ngowoh dan ndlongop. Saya sempat protes, tapi kamera Mas Bowo tetap saja cuek menjepret kami. Ya sudah nasib jadi seleb jadi harus puas dicandid oleh Mas Bowo hehehe. Saya sendiri hanya sempat motret Pak JM sekali akibat "larut" dalam obrolan yang terus saja mengalir sepanjang malam itu. Jadi paling tidak yang penasaran dengan wajah "wong anteng" di Kompasiana itu, inilah wajah beliau.
[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Bowo, Mas Fandi, saya, Pak Ramli, Andi (anak pak Ramli) dan Pak Joko Martono (foto dok. Bowo Bagus)"][/caption]
Dan perlu dicatat, Pak JM bukanlah anteng seperti yang sering beliau bilang. Justru Pak JM-lah yang omongannya paling banyak malam itu. Sesuai dengan lingkup kerjanya di Kominfo sekaligus peneliti LIPI, beliau ini benar-benar bisa membaur dengan kami-kami yang mungkin "buta" tentang etika berkomunikasi, khususnya di dunia maya. Beliau bercerita banyak tentang pentingnya bersosialisasi semacam kami saat itu. Mungkin bukan saat itu hasil yang kami petik, tapi kelak dikemudian hari siapa tahu diantara kami bisa menjalin kerja sama entah dalam bidang apa, yang pasti pertemuan itu bisa jadi modal awal untuk itu semua. Misalnya saja siapa tahu kelak Pak JM akan melebarkan sayap proyek internet masuk desanya di pedalaman Kalimantan Timur dan saya bisa kebagian "sampur" untuk diajak kerja sama, who knows? Atau mungkin Mas Fandi yang siapa tahu tertarik bisnis kelapa sawit di Kalimantan dan mengajak kerja sama saya, bisa jadi bukan? Atau malah Pak Ramli yang membangun jaringan internet sampai ke kota saya. Semua mungkin saja terjadi dan pertemuan kami malam itu sebagai modal awalnya. Sepanjang malam itu Pak JM benar-benar anteng kitiran, bercerita terus tiada henti. Mungkin baterainya habis dicharge kali ya hehehe.
[caption id="attachment_204944" align="aligncenter" width="512" caption="Lesehan Puro Pakualaman, saksi bisu kopdar kami hehehe (dok.pribadi)"]
Selain itu ada hal yang perlu saya catat sesuai ucapan Pak JM malam itu, bahwa refreshing dengan kopdar seperti yang kami lakukan itu perlu. Kalau hanya mengejar materi terus tidak akan ada habisnya, untuk itu sesekali waktu kita perlu meninggalkan rutinitas yang tiada habisnya dengan cara yang sederhana semacam kopdar yang kami lakukan. Tidak perlu mewah-mewah apalagi formal. Cukup di tempat santai sambil lesehan dan menikmati makanan ala kadarnya sudah cukup. Nasi gandul, nasi goreng, roti bakar, teh anget, kopi susu, dan toya pethak sudah cukup menghangatkan obrolan kami malam itu. Yang penting kualitas pembicaraan kita yang meskipun dilakukan secara santai tapi benar-benar bermanfaat. Benar-benar saya salut dengan Pak JM ini, orangnya sibuk tapi tetap mau meluangkan waktu untuk kami semua bahkan membagikan ilmu-ilmu yang sangat berguna. Matur nuwun Pak JM, mudah-mudahan tidak kapok ya bertemu dengan kami semua. Yang lucu pada pertemuan malam itu, Pak Ramli dan Mas Afandi sampai kepuyuh-puyuh dan bolak-balik ke toilet (toilet beneran atau bawah pohon beringin ya hehehe) saking antusiasnya mendengarkan Pak JM bercerita. Tambah semangat lagi karena anak yang punya lesehan di tempat kami nongkrong lumayan cantik, tak kalah cantiknya dengan mbak-mbak SPG rokok yang malam itu sempat menawarkan produknya pada kami. Bahkan si Mbak inilah yang saya jadikan "senjata" agar teman-teman kompasianer mau datang di lesehan Puro Pakualaman ini. Saya bilang aja saya punya langganan di lesehan Pakualaman yang pelayannya cantik lho hehehe.
[caption id="attachment_204946" align="aligncenter" width="512" caption="Mbaknya anak yang punya lesehan, cantik khan? (dok.pribadi)"]
[caption id="attachment_204945" align="aligncenter" width="410" caption="Nasi gandul, menu andalan di lesehan Puro Pakualaman (dok.pribadi)"]
Kami tidak hanya ngobrol seputar pentingnya relasi sosial, tapi juga membahas tentang keberadaan kompasianer yang lalu lalang di Kompasiana. Tentang si A, si B, dan juga si C. Tentang keberadaan Kompasiana yang tak kalah pentingnya dengan blog atau situs-situs online lainnya, bahkan juga tentang dunia pertelevisian. Semua satu persatu di kupas-tuntas oleh Pak JM. Maklum orang komunikasi hehehe. Kami juga saling bertukar pendapat, tapi tetap dengan suasana santai dan gayeng, tanpa adanya adu argumen dan silang pendapat seperti yang selama ini sering terjadi di Kompasiana.
Sebenarnya masih banyak yang ingin kami obrolkan malam itu, tapi berhubung malam telah larut, apalagi saya membawa si kecil Darryl yang mulai tampak mengantuk, akhirnya saya pamit undur diri duluan. Sementara yang lain masih melanjutkan obrolan hingga kurang lebih sekitar pukul 11 malam. Informasi ini saya dapatkan dari Mas Fandi yang malam itu sempat sms saya dan juga Mas Bowo yang ternyata masih sempat telpon saya di tempat yang berbeda (Jembatan baru Malioboro).
Dan perlu teman-teman ketahui, selepas acara malam itu, saya jadi merasa tambah akrab dengan mereka semua. Bahkan ketika saya pamit dan sedang di perjalanan pulang dari Yogya ke Bontang, sms dan telpon terus saya terima di hape saya. Ya dari Pak JM, Pak Ramli, Mas Bowo, Mas Fandi, dan Mo Wit (yang terpaksa absen pada kopdar kedua dikarenakan "tugas negara"). Juga dari teman sesama kompasianer lain yang meskipun tak bisa hadir terus memantau kegiatan kopdar saya. Terima kasih teman-teman semua. Insya Allah dalam waktu dekat saya akan mudik lagi ke Jogja. Semoga kita bisa kembali bertemu seperti malam itu agar tali silaturahmi kita tetap terjalin. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H