[caption id="attachment_176521" align="aligncenter" width="490" caption="Danny anak saya ikut masuk daftar sekolah SMP"][/caption]
Orang tua mana sih yang tidak menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang baik? Selagi mampu, pasti semua orang tua ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, bahkan bila perlu yang terbaik. Setidaknya lebih baik daripada yang diperoleh orang tuanya dahulu. Kalau dulu orang tuanya hanya tamatan SMP, setidaknya mereka ingin agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang lebih dari orang tuanya. Ya minimal tamat SMA-lah. Bila memungkinkan malah ke jenjang perguruan tinggi.
Mencari sekolah di jaman sekarang bisa dibilang gampang-gampang susah. Gampang dalam artian bisa dimudahkan dengan adanya kemajuan teknologi. Jaman sekarang sudah tidak asing lagi mendaftar sekolah dengan cara online. Beda sekali dengan jaman dulu, kalau mau daftar ya harus datang langsung ke sekolah yang bersangkutan. Mengisi formulir pendaftaran dan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan. Kalau sekarang, ibarat kata tinggal "klik" saja kita sudah bisa terdaftar di sekolah yang kita inginkan. Masalah diterima atau tidak itu urusan nanti. Gampang juga dalam artian "pembiayaan". Asal kita punya biaya, mau milih sekolah yang seperti apa pun bisa. Ini jaman modern, apa sih yang tidak bisa "dibeli" dengan uang? Bahkan dalam urusan pendidikan pun, uang juga terkadang sangat berperan terhadap diterima atau tidaknya calon murid. Maka sudah tak asing lagi istilah "uang bangku" dalam dunia pendidikan kita. Itu dalam hal kemudahan mencari sekolah. Terus bagian mana yang dibilang susah dalam mencari sekolah?
Kebetulan tahun ini saya termasuk bagian dari orang tua yang anaknya hendak masuk ke sekolah yang jenjangnya lebih tinggi. Tahun ini anak sulung saya hendak masuk ke SMP. Sebagai orang tua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan yang baik, jauh-jauh hari anak saya sudah saya daftarkan di salah satu SMP swasta yang kebetulan masih satu yayasan dengan sekolah SD-nya dulu. Di SMP itu, anak saya sudah dijamin masuk jika hendak melanjutkan ke sekolah itu. Gampang dong? Iya gampang dalam pendaftaran, tapi susah dalam pembiayaan. Kenapa, karena untuk masuk sekolah ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit (yang pasti jutaan rupiah). Belum lagi SPP-nya tergolong mahal menurut saya.
Sebenarnya saya mendaftar di SMP itu juga "hanya" sekedar "mencari kursi". Hal ini saya lakukan karena di SMP itu ternyata memberlakukan dua kali gelombang pendaftaran. Gelombang pertama khusus bagi SD dari yayasan yang sama, dalam hal ini anak saya sudah pasti masuk jika mendaftar di sekolah itu. Sementara gelombang kedua, khusus dari SD lain di luar yayasan dengan catatan kuota pada gelombang pertama belum terpenuhi. Kalau kuota pertama sudah terpenuhi, ya artinya gelombang kedua tidak perlu diberlakukan.
Terus terang anak saya sudah ingin ganti suasana di sekolah lain, tapi karena saya masih belum yakin dengan hasil UN-nya nanti, makanya saya setidaknya sudah punya cadangan sekolah seandainya nanti anak saya tidak diterima di sekolah yang dia inginkan. Memang di sekolah lain yang diinginkan anak saya itu pembiayaannya boleh dibilang gratis, tetapi susah untuk menembus ke sekolah itu jika modalnya hanya nilai NEM yang pas-pasan. Itulah alasannya saya sudah mencarikan sekolah "cadangan" buat dia.
Memang di kota saya tinggal, semua sekolah negeri dari tingkat TK hingga SMA digratiskan oleh pemerintah setempat, terkecuali sekolah negeri yang menyandang "titel" RSBI. Saya tidak tahu pasti berapa biaya yang dibebankan kepada orang tua murid jika anaknya diterima di sekolah RSBI, tapi kata beberapa teman yang anaknya sudah sempat mengenyam pendidikan di sekolah itu, biayanya pun lumayan mahal. Selain itu jika hendak masuk ke sekolah RSBI itu ternyata harus melalui prosedur yang lumayan "rumit" menurut saya.
Nah berbicara tentang sekolah RSBI ini, beberapa waktu lalu anak saya membawa lembaran informasi tentang penerimaan salah satu SMP negeri RSBI di kota saya tinggal. Lembaran informasi itu tenyata sengaja dibagikan pihak sekolah RSBI itu ke beberapa SD yang ada. Sekilas saya baca informasi pendaftaran masuk ke SMP itu. Saya lihat syarat-syarat pendaftaran tidak terlalu rumit, hanya menyerahkan fotocopy raport dengan nilai rata-rata minimal 7,5 yang telah dilegalisir sejak kelas 4 hingga kelas 6, beberapa lembar pas foto, surat keterangan sebagai murid kelas 6 SD, surat keterangan pendidikan agama. Selain itu juga harus ada surat keterangan kesehatan dari RS setempat. Agak aneh menurut saya, jadi kalau dalam kondisi sakit kira-kira bisa tidak ikut mendaftar?
Meskipun ada persyaratan yang menurut saya agak aneh, toh saya pun berusaha mendaftarkan anak saya ke sekolah itu. Bukan karena sok gaya-gayaan ikut trend yang sekarang, tapi lebih pada sekedar keinginan agar anak saya mempunyai pengalaman mengikuti test/ujian masuk SMP itu saja. Kebetulan setelah lolos berkas dilanjutkan dengan test/ujian dengan materi yang kurang lebih sama dengan apa yang akan di-UN-kan nanti. Jadi sekalian buat uji mental menjelang UN saja maksud saya. Makanya ketika mengisi blanko pernyataan akan memberikan ganti rugi berupa apa, seandainya diterima dan mengundurkan diri, saya hanya mengisi ala kadarnya saja.
Sejak awal mendaftar tujuan saya hanya ingin melatih mental anak saya dalam menghadapi ujian. Saya lihat anak saya ini masih kurang percaya diri dalam mengikuti UN, padahal sekolahnya selalu mengadakan bimbingan belajar dan try out. Saya kurang tahu pasti penyebabnya, yang pasti setiap kali saya tanya "gimana dengan bimbel dan try out-nya", anak saya selalu menjawab "susah!" Tapi anehnya ketika saya ulang lagi pelajaran yang di sekolah, dia bisa mengikuti. Karena itulah saya pikir, anak saya itu cuma kurang percaya diri dan tidak ada salahnya untuk menumbuhkan percaya dirinya saya ikutsertakan test masuk SMP RSBI itu.
Setelah melengkapi berkas pendaftaran SMP itu, ujian pun dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Alhamdulillaah tiga hari kemudian hasilnya sudah diumumkan dan anak saya dinyatakan lolos untuk mengikuti tahap selanjutnya, yaitu tahap psikotest. Agak kaget juga saya, anak SD dilakukan psikotest. Selama ini yang saya ketahui, psikotest hanya dilakukan bagi orang-orang yang hendak melamar kerja. Sementara anak saya ini hendak masuk sekolah, bukan hendak melamar kerja. Mendingan kalau psikotestnya gratis, ini bayar pula dan jumlahnya tidak sedikit (nominalnya diatas seratus ribu). Saya pun akhirnya berandai-andai, seandainya semua calon murid yang lolos test tertulis itu yang jumlahnya lebih dari 300 orang sementara daya tampung SMP itu hanya 150 orang, mendaftarkan diri untuk mengikuti psikotest, apa tidak banyak uang yang berhasil dikumpulkan pada tahap psikotest saja? Terus kira-kira bentuk psikotest yang seperti apa yang akan diberikan pada anak seusia SD, apakah akan seperti psikotest untuk pencari kerja?
Ingatan saya pun kembali melayang ke masa dimana saya pernah mengikuti psikotest untuk salah satu lembaga perbankan. Saya waktu itu harus mengerjakan beberapa lembar soal dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap satu soal, panitia selalu memencet timer dengan cara berkeliling sepanjang ruang ujian. Ini yang banyak membuat down para peserta psikotest. Bunyi timer yang terus berbunyi "tik...tik...tik" itu mampu membuat konsentrasi para peserta buyar. Sehingga tak heran jika dari ribuan peserta tinggal tersisa ratusan, dan akhirnya puluhan di tahap wawancara. Dan saya termasuk salah seorang yang gagal pada tahap wawancara yang sebenarnya kegagalan saya sudah bisa saya prediksi sebelumnya. Di tahap wawancara inilah saya waktu itu diharuskan mengenakan pakaian rok dan blazer plus 'berhias". Persyaratan inilah yang menurut saya sangat memberatkan. Saya yang tak terbiasa berdandan ala "wanita", maklum saya ini termasuk tomboy, sudah pasti merasa tidak akan sanggup memenuhi persyaratan itu. Walaupun saya tetap berangkat pada saat test wawancara, tapi sudah pasti penampilan saya kala itu tidak memenuhi "kriteria". Akhirnya saya pasrah dengan kegagalan saya itu dan menurut saya jika saya bisa memenuhi persyaratan "penampilan" pada saat wawancara, maka tahap psikotestlah yang saya anggap tahapan paling sulit. Dan karena psikotest saya anggap sulit, makanya saya tidak bisa membayangkan apakah anak saya akan mampu mengingat kemampuan anak saya setiap harinya seperti itu. Kalau dibilang pesimis, ya saya memang pesimis dengan anak saya. Meskipun saya tahu dia lolos test tertulis kemarin, tapi jika saya lihat hasilnya pun tidak terlalu memuaskan. Makanya saya jadi tidak yakin anak saya bisa menembus kuota yang hanya 150 orang itu. Karena itulah saya pun tidak mendaftarkan anak saya untuk mengikuti psikotest di SMP itu.
Selain berandai-andai, saya juga membayangkan kira-kira dimana mulai terjadinya "transaksi jual beli kursi" saat test masuk SMP, apakah mungkin pada saat psikotest ini atau nanti saat tahap wawancara orang tua? Saya tak bisa menjawabnya. Yang pasti kemarin saya baca salah satu postingan milik mbak Neny yang menyebutkan ada semacam uang "sogokan" agar bisa diterima di salah satu sekolah favorit. Dan yang pasti "politik uang" ternyata juga tetap berlaku di dunia pendidikan, setidaknya di tahap psikotest seperti yang dilakukan di tempat anak saya mendaftar SMP kemarin. Ternyata memang benar mencari sekolah itu sulit, sama sulitnya mencari kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H