Ingatan saya pun kembali melayang ke masa dimana saya pernah mengikuti psikotest untuk salah satu lembaga perbankan. Saya waktu itu harus mengerjakan beberapa lembar soal dengan waktu yang telah ditentukan. Setiap satu soal, panitia selalu memencet timer dengan cara berkeliling sepanjang ruang ujian. Ini yang banyak membuat down para peserta psikotest. Bunyi timer yang terus berbunyi "tik...tik...tik" itu mampu membuat konsentrasi para peserta buyar. Sehingga tak heran jika dari ribuan peserta tinggal tersisa ratusan, dan akhirnya puluhan di tahap wawancara. Dan saya termasuk salah seorang yang gagal pada tahap wawancara yang sebenarnya kegagalan saya sudah bisa saya prediksi sebelumnya. Di tahap wawancara inilah saya waktu itu diharuskan mengenakan pakaian rok dan blazer plus 'berhias". Persyaratan inilah yang menurut saya sangat memberatkan. Saya yang tak terbiasa berdandan ala "wanita", maklum saya ini termasuk tomboy, sudah pasti merasa tidak akan sanggup memenuhi persyaratan itu. Walaupun saya tetap berangkat pada saat test wawancara, tapi sudah pasti penampilan saya kala itu tidak memenuhi "kriteria". Akhirnya saya pasrah dengan kegagalan saya itu dan menurut saya jika saya bisa memenuhi persyaratan "penampilan" pada saat wawancara, maka tahap psikotestlah yang saya anggap tahapan paling sulit. Dan karena psikotest saya anggap sulit, makanya saya tidak bisa membayangkan apakah anak saya akan mampu mengingat kemampuan anak saya setiap harinya seperti itu. Kalau dibilang pesimis, ya saya memang pesimis dengan anak saya. Meskipun saya tahu dia lolos test tertulis kemarin, tapi jika saya lihat hasilnya pun tidak terlalu memuaskan. Makanya saya jadi tidak yakin anak saya bisa menembus kuota yang hanya 150 orang itu. Karena itulah saya pun tidak mendaftarkan anak saya untuk mengikuti psikotest di SMP itu.
Selain berandai-andai, saya juga membayangkan kira-kira dimana mulai terjadinya "transaksi jual beli kursi" saat test masuk SMP, apakah mungkin pada saat psikotest ini atau nanti saat tahap wawancara orang tua? Saya tak bisa menjawabnya. Yang pasti kemarin saya baca salah satu postingan milik mbak Neny yang menyebutkan ada semacam uang "sogokan" agar bisa diterima di salah satu sekolah favorit. Dan yang pasti "politik uang" ternyata juga tetap berlaku di dunia pendidikan, setidaknya di tahap psikotest seperti yang dilakukan di tempat anak saya mendaftar SMP kemarin. Ternyata memang benar mencari sekolah itu sulit, sama sulitnya mencari kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H