Anak SD masih bisa dibilang usia "bemain", sementara kalau berpatokan pada kurikulum sekarang bisa-bisa anak SD sudah jadi "pemikir" kelas berat. Sungguh ironis jika senyum ceria anak SD berganti menjadi "wajah-wajah profesor" yang terkesan serius. Saya tidak bisa membayangkan para kuli bangunan atau mbok-mbokpedagang di pasar tradisional yang saat ini mempunyai anak di bangku SD kelas 6, apa tidak pusing mereka mengajari anaknya. Bukan berarti meremehkan para orang tua yang berprofesi seperti itu, tapi saya hanya ingin menunjukkan betapa kesulitannya orang tua yang tidak berlatar belakang pendidikan yang tinggi tetapi harus menjelaskan kepada anak-anak mereka bagaimana memecahkan "kasus" seperti dalam soal cerita Matematika diatas. Boro-boro suruh menghitung uang Parto, Nunung dan Andre, wong menghitung uang saku mereka sendiri saja sulit karena memang tidak pernah diberikan uang saku oleh orang tuanya. Ya kalau begitu bertanya ke guru di sekolahnya dong! Ah apa dikira semua guru di sekolah itu mampu untuk menjelaskan materi yang demikian dengan mengikuti logika berpikir anak SD. Susah lho! Masih mending kalau guru-gurunya rajin mengikuti pelatihan seperti yang biasa dilakukan di sekolahan anak saya, coba bayangkan guru-guru yang berada di pelosok sana. Jangankan untuk mengikuti pelatihan, di pelosok sana kekurangan guru sudah menjadi hal yang lumrah.Â
Seorang guru di pelosok atau di pedalaman sudah biasa menangani murid-murid dari 2 atau bahkan 3 kelas sekaligus. Lha kalau gurunya dikirim untuk mengikuti pelatihan misalnya, apa tidak murid-muridnya "kehilangan" guru. Bisa libur massal mungkin ya, sementara gurunya pelatihan. Ya jalan satu-satunya guru-guru itu hanya bisa mengikuti apa yang ada pada kurikulum itu. Mau muridnya kesulitan, ya tetap saja kurikulum itu dijalankan. Apalagi ini sifatnya nasional. Mau murid di pelosok atau di perkotaan, tetap saja kurikulumnya sama. Sama-sama kurikulum yang "menyusahkan"!
Haduh koq saya malah berkeluh-kesah ya kesannya. Ya tidak masalah, wong saya biasanya juga hanya curhat koq di blog kroyokan ini. Syukur curhatan saya ini ada yang menanggapi, tapi kalau tidak ya tidak jadi masalah. Yang penting saya sudah menyampaikan uneg-uneg saya atau bahkan uneg-uneg dari para orang tua yang saat ini sedang galau karena anak-anaknya sedang menghadapi UAN. Orang tua saja stress apalagi anak-anak itu ya. Semua ini karena kuikulum yang menurut saya kurang pas diberikan untuk anak didik sesuai jenjang pendidikannya. Anak SD ya seharusnya diberikan kurikulum sesuai jenjang anak SD, bukan seperti kurikulum anak SMP atau SMA. Kalau orang Jawa bilang "uteke durung nyandak" atau otaknya belum sampai untuk mencerna materi yang seperti itu.Jadi bagaimana nih Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, bisa dong kurikulum SD yang sekarang direvisi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H