Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku Intan, Jangan Panggil Aku Pelacur!

18 September 2011   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 14734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="304" caption="gambar from google"][/caption]

Masalah yang berkaitan dengan kehidupan remaja sekarang ini tidak hanya seputar tawuran dan minum-minuman keras saja, melainkan sudah mengarah pada hubungan seks bebas. Hamil di luar nikah, pengguguran kandungan (aborsi), dan penyakit kelamin merupakan masalah lain yang mewarnai petualangan cinta dan seks bebas di kalangan remaja. Munculnya fenomena perek (perempuan eksperimen) merupakan salah satu bentuk dari perilaku seks bebas di kalangan remaja. Di kala saya masih menjadi mahasiswa (sekitar tahun 1997), istilah perek sangat akrab di telinga. Selain itu juga ada istilah pekcun dan ciblek (cilik-cilik betah melek). Kalau sekarang ternyata ada istilahnya lain lagi seperti yang ditulis Uli Pardede tentang Ayam Kampus ini.

Munculnya perek ini memang tidak bisa dihindarkan, khususnya di kota-kota besar. Derasnya arus informasi terutama media elektronik yang masuk ke kota-kota besar dapat dianggap sebagai penyebab perubahan perilaku seks di kalangan remaja. Hal ini diperkuat oleh pendapat (alm) Prof. Masri Singarimbun dalam salah satu artikelnya yang berjudul "Perilaku Seks Remaja", beliau menyatakan bahwa adanya perubahan-perubahan mengenai perilaku seks dan norma-norma seks, baik di negara maju maupun di negara berkembang dapat dikaitkan dengan adanya rangsangan-rangsangan seks melalui berbagai hiburan dan media massa. Oleh karena itu lengkap sudah berbagai rangsangan dan dorongan bagi para remaja untuk melakukan aktivitas seksual, entah sekedar berkhayal atau malah terlibat langsung dalam perilaku seks bebas.

Perek sebenarnya merupakan istilah yang digunakan oleh remaja jalanan untuk menyebut seorang remaja wanita yang akrab dengan kehidupan malam. Mereka memutuskan untuk menjalani kehidupan seks jalanan secara bebas bersama remaja jalanan lain dan kadang-kadang juga menjalin hubungan seks komersial dengan laki-laki dewasa. Menurut sisi “pengguna” perek, kata eksperimen dapat diartikan coba-coba mengingat tidak semua perek mau diajak kencan begitu saja oleh mereka. Perek ini sering menampakkan diri di pusat-pusat perbelanjaan modern atau mal. Tempat-tempat tersebut memang memungkinkan mereka untuk “menjaring” atau “dijaring” oleh laki-laki iseng.

Pada sekitar tahun 1997-an kala saya harus menyesaikan skripsi, saya lumayan akrab dengan beberapa orang perek. Memang tidak mudah untuk mendekati dan bahkan menggali informasi tentang kehidupan mereka. Tapi berkat bantuan seorang "teman", akhirnya saya pun mampu berinteraksi dengan mereka dalam waktu yang lumayan lama. Setelah cukup akrab dengan mereka, akhirnya muncullah "cerita-cerita seru" seputar perek ini. Ada yang memang masih malu-malu, tapi ada juga yang secara fulgar menceritakan tentang suka dukanya menggeluti "profesi" sebagai perek. Berikut ini adalah salah satu contoh cerita seru seputar perek seperti yang pernah mereka ungkapkan kepada saya waktu itu. Untuk menjaga privasi yang bersangkutan, nama sengaja saya samarkan.

Sebut saja namanya Intan. Seorang cewek cantik, berambut panjang sebahu. Di Yogyakarta Intan tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan dua orang saudara laki-lakinya di sebuah kampung dekat Taman Hiburan Rakyat (THR), tepatnya di sebelah barat daya Sungai Code. Remaja yang kala itu berumur 19 tahun dan duduk dibangku SMA ini mengaku bahwa pada waktu kecil sebenarnya ia cukup alim, tetapi ketika menginjak bangku SmP ia menjadi berubah. Apalagi dengan masuknya ia pada salah satu SMP swasta yang menurutnya mayoritas muridnya bandel-bandel, maka sedikit banyak telah mengubah perilakunya.  Sejak SMP itu pula Intan mulai berani mencoba rokok dan minuman keras.

Intan mengaku bahwa ada beberapa teman wanita di sekolahnya yang juga suka pergi dengan laki-laki hidung belang. Sepengetahuannya ada adik kelasnya juga yang sering beroperasi pada salah satu diskotik di kota gudeg itu. Oleh karena itu ia tidak merasa malu apabila teman sekolahnya mengetahui bahwa ia seorang perek. Ia justru merasa sungkan dan malu dengan guru atau tetangganya.

Mengenai hubungan seks dengan laki-laki, Intan mengaku tidak suka dengan laki-laki yang jauh lebih tua darinya. Rata-rata laki-laki yang sering “mengajaknya” adalah mahasiswa atau anak-anak yang sebaya dengannya. Intan juga mengaku tidak tahu kenapa ia bisa hidup seperti itu. Ia juga tidak tahu kapan tepatnya ia memulai kebiasaan buruknya tersebut. Seingatnya peristiwa itu terjadi kira-kira ketika ia masih SMP.

“Seingatku aku kenal seks ya sejak aku SMP dulu. Kalau nggak digituin duluan sama pacarku dulu, mungkin aku nggak akan begini. Seingatku ya udah nolak-nolak, tapi ya namanya aja anak muda. Akhirnya kebobolan juga. Mungkin orang ngomong aku ini orang yang sukanya ngejar laki-laki. Tapi batinku sendiri mengatakan laki-laki itu apalah ! Makanya mbak aku nggak mau mengingat yang dulu-dulu. Kenapa aku sampai mau digituin sama pacarku. Lagi mabok mungkin aku dulu. Aku sendiri nggak tahu lagi di mana ia sekarang. Sudah kawin mungkin.”

Menurutnya dengan teman sesama sekolahnya pula ia mulai melakukan hubungan seks pertama kali hingga akhirnya keterusan. Namun demikian, Intan tidak mau berhubungan dengan sembarang orang karena ia tidak mau dianggap seperti pelacur.

“Ya milih-milih mbak, edan apa langsung main sikat ! Lagian kalau nggak milih nanti ternyata orang yang ngajak kita kencan sukanya model prasmanan, satu cewek dikeroyok beberapa orang, bisa-bisa mampus aku ! Kalau mau sembarang orang, ya mending aku di Sarkem sana. Sekalian tho ? Tapi kalau aku disuruh begitu, ya mikir-mikir ding mbak. Gini aja aku sudah merasa salah sama ibuku. Pernah ibuku ngomong sama aku begini : kalau mau rusak mbok sekalian, nggak usah tanggung-tanggung ! Waktu itu aku cuman bisa diam nggak ngomong apa-apa. Nanti kalau aku ngomong malah tambah nggak karu-karuan jadinya.”

Selain mempertimbangkan orang yang akan mengajak berkencan, persoalan tempat berhubungan seks pun menjadi permasalahan bagi Intan.

“Aku ini paling rewel tentang tempat ‘main’ mbak. Pertama, aku nggak mau diajak ‘main’ di tempat kos, meskipun yang ngajak aku itu orangnya kos. Masalahnya bukan karena takut digrebeg atau takut konangan (ketahuan) ibu kosnya, tapi justru aku merasa sungkan dengan teman-temannya yang juga kos di situ. Nah, selama ini yang aku rasa aman ya hanya di losmen. Di losmen kita lebih merasa bebas dan nggak sungkan-sungkan lagi.”

Intan sendiri merasa bahwa ia berada pada satu dilema. Di satu sisi kadang-kadang ia memikirkan juga bahwa dirinya adalah anak wanita satu-satunya di dalam keluarga, tentunya orang tuanya sangat mengharapkan agar ia menjadi “orang” sehingga dapat dibanggakan oleh keluarga. Di sisi yang lain Intan merasa bahwa ia ingin seperti teman-teman yang lain, menikmati hidup ini dengan penuh kesenangan. Kalau ingin apa-apa mereka tinggal minta sama orang tuanya. Sedangkan dirinya butuh waktu untuk memenuhi keinginannya.

“Uang aku memang butuh, tapi jangan mbak kira aku terus memanfaatkan kesempatan. Mentang-mentang katanya aku cantik terus aku sengaja menawarkan diri sama orang-orang. Nggak-nggak pernah aku gitu mbak ! Paling-paling satu-dua kali aja. Kalau nggak percaya mbak tanya sendiri, pernah apa aku minta duit sama orang yang ngajak aku. Tapi kalau misalnya dikasih itu baru lain ceritanya dan itu yang sering terjadi.”

Namun demikian, Intan juga merasa kebiasaan berganti-ganti laki-laki seperti yang telah dijalaninya itu menurutnya tidaklah menyenangkan. Selain menjadi gunjingan banyak orang, ia juga sering dimarahi oleh ibunya karena pulang larut malam. Apalagi kalau ia pulang dalam keadaan mabuk, tak jarang ibunya marah dan menamparnya.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya hamil ataupun tertular penyakit seks, Intan senantiasa mengkonsumsi pil anti hamil atau jamu-jamuan tertentu.

“Agar tidak hamil aku rutin minum jamu atau pil anti hamil. Sekarang ini pil-pil semacam itu sudah banyak dijual di warung-warung dekat rumah. Contohnya ya kayak pil tuntas itu.”

Sebenarnya Intan mempunyai keinginan untuk menghentikan kebiasaan buruknya ini, tetapi ia tidak tahu kapan itu akan dilakukannya.

“Menurutku enggak ada orang yang bangga dirinya dikatain perek, lonthe atau apalah. Wong maling aja nggak ada yang mau dikatain maling, apalagi aku ! Cuman kalau untuk saat ini mungkin aku masih bisa merasakan senang hidup begini. Ya setidak-tidaknya aku masih bisa makan dan nonton gratis. Tapi resikonya ya itu tadi, jadi omongan banyak orang. Mending kalau diomongin yang bagus-bagus. Lha ini yang jelek-jelek semua. Nggak senangnya ya di sini ini. ”

Untuk urusan uang, Intan mengaku hanya sesekali saja ia minta pada orang yang mengajaknya berkencan. Itupun kalau ia benar-benar merasa “kepepet” karena kehabisan uang jajan. Jumlah yang diminta pun menurutnya juga tidak terlalu banyak.

Dari apa yang Intan ceritakan tadi dapat saya ambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tidak ada wanita yang mau dikatakan sebagai pelacur atau apalah istilahnya. Melacurkan diri di kalangan remaja pada saat itu semata-mata tidak hanya berdasarkan faktor pemenuhan kebutuhan ekonomi saja, tapi bisa jadi karena tuntutan pemenuhan gaya hidup bahkan kadang juga hanya sekedar iseng belaka. Maka dari itu, ketika bertransaksi seks pun, kadang kala mereka tidak terlalu mempertimbangkan berapa nominal yang seharusnya mereka terima. Yang penting bisa buat nonton ataupun jajan gratis sudah cukup. Tidak seperti pelacur jaman sekarang, semuanya benar-benar didasarkan atas nilai nominal tertentu.

NB : tulisan ini terinpirasi berdasarkan obrolan yang dilakukan di Grup Cengengesan tadi malam. Untuk menyimak tulisan senada lainnya bisa juga dilihat di Profesi Ganda Mahasiswi, Waitress dan Pemandu Esek-Esek dan juga Bibir Senyum, Hati Merintih. Atau juga Deal-Deal Si Ayam Kampus. Ada lagi nih Masih SMP Sudah Gaul Bebas, Salah Siapa? dan juga ini Striptis dan Uang atau yang ini Apakah Mendidik Anak Perempuan Lebih Susah Dari Anak Laki-Laki. Tulisan lain akan segera menyusul hehehe.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun