Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Ulat, Kupu-Kupu dan Laba-Laba

31 Maret 2011   03:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari yang lalu saya melihat berita di televisi tentang "serangan" ulat bulu di suatu desa di daerah Probolinggo, Jawa Timur. Dalam tayangan televisi itu ditunjukkan ada begitu banyak ulat bulu yang merayap sampai ke dinding suatu masjid, di halaman sekolah dan rumah-rumah penduduk. Selain itu tampak pula suatu pohon yang habis daunnya karena "digunduli" oleh ratusan atau bahkan ribuan ulat bulu. Akhirnya penduduk desa itu disibukkan dengan kegiatan membersihkan halaman rumah mereka dari serangan ulat bulu. Disebutkan dalam berita itu pula bahwa ulat bulu berkembang biak dengan pesatnya dimungkinkan karena adanya faktor peralihan cuaca dari musim hujan ke musim kemarau. Dalam keadaan yang demikian dimungkinkan pula terjadi satu induk betina akan mampu menghasilkan 200-300 butir telur. Akibatnya bisa dibayangkan betapa cepatnya populasi ulat bulu di desa itu. Untuk mengatasinya meluasnya penyebaran "hama" ulat bulu itu, maka Dinas Pertanian setempat telah melakukan upaya penyemprotan terhadap ribuan ulat bulu tersebut.

Saya sendiri membayangkan seandainya ribuan ulat bulu tersebut tidak perlu sampai merayap ke halaman rumah warga, cukup di pohon-pohon saja! Ah pastilah dalam waktu sebentar, sekitar 10 hari saja, desa itu akan tampak indah karena dihiasi oleh ribuan kupu-kupu. Kenapa kupu-kupu? Ya, karena ulat kan pada akhirnya akan berubah menjadi kepompong dan selanjutnya bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Siapa coba yang tidak suka dengan kupu-kupu? Bentuknya indah, lucu, warna-warni pula. Tapi coba bandingkan dengan ulat, wah orang juga akan cepat-cepat menyingkir jika didekati ulat. Apalagi kalau sampai terkena bulunya, bisa gatal-gatal deh seluruh tubuh!

Bicara tentang kupu-kupu dan ulat bulu ini, saya jadi tergelitik ketika membaca status teman SMA saya di facebook. Widya Heni nama teman saya itu. Lagi-lagi teman saya ini mampu memunculkan ide untuk saya merangkai kata-kata ini. Begini bunyi statusnya pagi kemarin : "Jika ada kupu-kupu cantik terperangkap di sarang laba-laba, orang cenderung akan membebaskan kupu-kupu walaupun mungkin laba-laba sudah 3 hari belum makan, tapi bagaimana kalau ulat jelek yang terperangkap? Akankah orang akan peduli juga? Hhhmm mungkin memang harus cantik agar ditolong, betapa tidak adilnya dunia ini...".

Teman saya itu menuliskan demikian bukan karena sedang melihat adegan kupu-kupu yang terperangkap di sarang laba-laba, tetapi justru melihat atau tepatnya mengamati kejadian selama di perjalanannya tentang kepada siapa para pengendara memprioritaskan, memberi kesempatan pada penyeberang jalan?

Sebenarnya teman saya itu hanya ingin menunjukkan betapa saat ini rasa empati atau kepedulian kita terhadap sesama sudah jauh berkurang. Sebagai contoh ya apa yang dilihat oleh teman saya itu, betapa tidak adilnya perlakuan terhadap sesama di jalan. Orang yang nyata-nyata serba kekurangan  (kurang cantik, kurang kaya, kurang sehat, kurang bersih, kurang pintar, kurang cakap dan berbagai kekurangan lain) cenderung dinomorduakan dibandingkan dengan orang yang serba lebih (lebih cantik, lebih kaya, lebih sehat, lebih pintar, lebih cakap dan seabrek kelebihan lain). Padahal mereka sama-sama makhluk Tuhan, butuh dihargai dan dihormati. Tapi itulah kenyataan yang sering kita jumpai.

Itu baru satu contoh. Contoh lain di dalam kendaraan umum, bus misalnya. Ketika kendaraan umum itu penuh sesak dan ada seorang wanita cantik yang naik, maka rata-rata orang (lawan jenis biasanya) akan dengan senang hati memberikan tempat duduknya untuk wanita cantik tadi. Tetapi seandainya orang yang naik tadi adalah orang tua yang dekil, jelek pula, apakah ada orang yang rela untuk memberikan tempat duduknya? Boro-boro melihat, melirik saja rasanya ogah! Bahkan orang seringkali pura-pura tidak melihat malahan. Betul apa kata teman saya Heni, apakah harus berubah menjadi cantik dahulu agar orang mau menolong? Benar-benar tidak adil bukan?

Saya jadi ingat dengan salah satu iklan rokok. Begitu ada seorang wanita cantik berdiri di pinggir sungai, maka para lelaki pada berebut mau menggendong gadis itu agar saat menyeberang tidak basah. Sebenarnya gadis itu tidak bermaksud untuk menyeberang sungai, melainkan kambing miliknya yang ingin dia seberangkan ke sungai. Karena ada yang mau membantunya, maka giranglah gadis itu dan para lelaki itu hanya tersenyum kecut karena terpaksa harus menggendong kambing-kambing ke seberang sungai. Dalam iklan itu saja tampak jelas, betapa orang akan begitu mudahnya memberikan pertolongan kepada orang yang dinilai cantik! Mereka mau menolong karena ada pamrih dan bukan karena niat yang tulus. Padahal kalau kita mau jujur, tidak semua yang cantik itu berhati baik. Banyak orang cantik yang justru memanfaatkan kecantikannya untuk berbuat kejahatan. Salah satu contoh yang sekarang sedang hangat-hangatnya adalah kasus Selly, seorang wanita cantik yang berhasil menipu banyak korbannya dengan iming-iming bisnis jual beli pulsa. Ada lagi Melinda, seorang teller bank yang mampu memindahkan saldo nasabah ke dalam rekening pribadinya.

Prihatin! Ya, itulah yang semestinya kita rasakan sekarang. Bagaimana tidak, orang rata-rata memang hanya melihat dari bentuk luarnya saja. Banyak orang yang lebih mementingkan "sampul" daripada isi. Padahal pepatah jelas mengatakan "Don't judge the book by its cover!". Jangan menilai buku dari sampulnya saja! Pepatah itu jelas menyatakan agar kita jangan pernah menilai seseorang dari tampak luarnya saja. Tapi memang kenyataannya demikian mau apa lagi. Orang toh kalau mau membeli buku juga karena tertarik akan gambar sampulnya, bukan? Bagaimana tidak kalau bukunya saja disegel plastik, dan kita bisa melihat isi dari buku itu kalau kita sudah membelinya bukan? Ini sih sebenarnya hanya guyonan Heni teman saya itu lho! (Tentang sampul buku ini, saya dan Heni pernah sama-sama menjumpai buku (judulnya sih beda!) dengan sampul yang sama sekali tidak menarik, berwarna hitam tanpa hiasan kecuali judul buku dan nama pengarang, tetapi isinya menurut saya sangat bagus).

Hidup di dunia ini memang menjadi tidak adil rasanya bagi orang yang tidak mampu, orang miskin, orang jelek, dan juga orang bodoh. Kebanyakan orang peduli kepada mereka hanya karena ada pamrihnya, kasarnya ada imbalannya. Imbalannya sih bisa berupa materi atau non materi. Mungkin ini pula kali ya yang mengilhami sebuah televisi swasta membuat program reality show. Program ini dikemas sedemikian rupa untuk menggugah rasa empati kita terhadap sesama. Tapi kenyataannya koq justru orang yang tidak mampu ya yang benar-benar ikhlas mau memberikan pertolongan kepada orang yang juga kurang mampu? Terus apanya yang salah? Tidak salah sih, cuma aneh saja menurut saya!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun