Salah satu indikator penting dalam mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu (AKI). AKI merupakan jumlah kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan, dan nifas per 100.000 kelahiran hidup. Di Indonesia, upaya penurunan AKI terus dilakukan, salah satunya melalui implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.
Sejak diluncurkan pada tahun 2014, BPJS Kesehatan telah membuka akses yang lebih luas bagi ibu hamil untuk mendapatkan layanan kesehatan berkualitas. Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam cakupan pemeriksaan kehamilan dan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. Namun, penurunan AKI belum mencapai target yang diharapkan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2020 mencatat AKI masih berada di angka 189 per 100.000 kelahiran hidup, target  AKI di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 183 per 100.00 kelahiran hidup, masih jauh dari target SDGs sebesar 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030.
Implementasi JKN-BPJS Kesehatan telah menunjukkan dampak positif terhadap upaya penurunan AKI. Program ini berhasil meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan berkualitas dan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan yang memadai. Sistem rujukan yang terstruktur juga memungkinkan penanganan lebih cepat untuk kasus-kasus kegawatdaruratan maternal.
Meski demikian, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pemangku kepentingan. Beberapa faktor krusial yang perlu mendapat perhatian antara lain distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan yang belum merata, terutama di daerah terpencil. Hal ini menciptakan kesenjangan akses yang signifikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Selain itu, masih terdapat kendala dalam koordinasi antara berbagai level fasilitas kesehatan yang berdampak pada efektivitas sistem rujukan.
Kompleksitas administratif dalam sistem rujukan berjenjang sering menimbulkan kebingungan, baik bagi pasien maupun tenaga kesehatan. Prosedur yang panjang, mulai dari pengurusan surat rujukan, verifikasi BPJS, hingga penerimaan di fasilitas rujukan, dapat memperlambat penanganan yang seharusnya bersifat segera. Beberapa daerah telah mencoba mengatasi masalah ini dengan mengembangkan sistem rujukan terintegrasi berbasis teknologi informasi. Namun, implementasinya masih terkendala infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia. Di daerah terpencil dengan keterbatasan akses internet dan tenaga terlatih, sistem rujukan elektronik belum dapat berjalan optimal.
Sistem rujukan berjenjang yang diterapkan dalam program JKN-BPJS Kesehatan terkadang menjadi dilema dalam upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Di satu sisi, sistem ini bertujuan mengoptimalkan pelayanan kesehatan sesuai kompetensi dan fasilitas. Namun di sisi lain, dalam kasus kegawatdaruratan maternal, sistem ini berpotensi menghambat akses cepat ke pelayanan yang dibutuhkan. Implementasi rujukan berjenjang mengharuskan ibu hamil memulai pemeriksaan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Ketika ditemukan komplikasi atau kondisi yang membutuhkan penanganan lebih lanjut, pasien harus melalui proses rujukan ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Proses ini seringkali memakan waktu yang dapat membahayakan keselamatan ibu dan janin, terutama dalam kasus kegawatdaruratan maternal. Kasus Perdarahan, gangguan hipertensi, Infeksi, keterlambatan menegakkan diagnosa dan keterlambatan rujukan merupakan penyebab utama kematian ibu. Keterlambatan rujukan mencakup proses administrasi rujukan, transportasi, dan ketersediaan fasilitas di rumah sakit rujukan.
Untuk mengoptimalkan sistem rujukan dalam konteks penurunan AKI, beberapa langkah strategis perlu dilakukan diantaranya penyederhanaan prosedur rujukan untuk kasus kegawatdaruratan maternal, penguatan sistem rujukan terencana untuk ibu hamil risiko tinggi, peningkatan kapasitas FKTP dalam deteksi dini risiko kehamilan, pengembangan sistem komunikasi efektif antar level fasilitas kesehatan dan penguatan sistem transportasi rujukan. Keterlambatan penanganan akibat sistem rujukan berjenjang yang kaku dapat diatasi melalui kebijakan yang lebih fleksibel untuk kasus kegawatdaruratan maternal. Diperlukan mekanisme fast track yang memungkinkan akses langsung ke FKRTL dalam kondisi tertentu, tanpa mengorbankan prinsip kendali mutu dan kendali biaya BPJS Kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.16 tahun 2024 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, rujukan medis dapat dilakukan secara vertikal (rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan) dan horizontal (rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan). Namun, aturan BPJS Kesehatan yang mewajibkan rujukan berjenjang dimulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) pada kasus non Kegawatdaruratan ini, masih banyak di salah artikan dengan kasus Kegawatdaruratan, terutama pada kasus Kegawatdaruratan Maternal. Kesalahan ini sering bertentangan dengan prinsip  pelayanan Kegawatdaruratan Maternal yang mengutamakan prinsip "time saving is life saving". Keterlambatan penanganan kegawatdaruratan maternal terjadi akibat proses rujukan berjenjang yang salah atau rujukan estafet. Keterlambatan ini mencakup waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan surat rujukan dari FKTP, proses administrasi di fasilitas rujukan, komunikasi antar fasilitas kesehatan sebelum rujukan yang kurang efektif, penolakan rumah sakit rujukan karena ketidaklengkapan dokumen dan adanya keterbatasan fasilitas di rumah sakit yang dituju.
Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan didapatkan pula beberapa perbedaan antara pedoman pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berlaku dengan penjaminan PBJS Kesehatan. Perbedaan ini menciptakan kesenjangan antara standar pelayanan yang diharapkan dengan realisasi di lapangan, terutama dalam aspek pembiayaan dan mekanisme pelayanan. Salah satu perbedaan mendasar terletak pada frekuensi pemeriksaan kehamilan. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, Dan Masa Sesudah Melahirkan, Pelayanan Kontrasepsi, Dan Pelayanan Kesehatan Seksual (selanjutnya di sebut PMK No.21 tahun 2021), menetapkan bahwa pelayanan kesehatan masa hamil dilakukan paling sedikit 6 (enam) kali selama masa kehamilan meliputi: 1 (satu) kali pada trimester pertama, 2 (dua) kali pada trimester kedua; dan 3 (tiga) kali pada trimester ketiga. Namun di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, jaminan pembiayaan untuk pemeriksaan kehamilan. hanya 4 kali selama masa kehamilan. Kesenjangan ini berpotensi mengurangi intensitas pemantauan kehamilan dan meningkatkan risiko keterlambatan deteksi komplikasi.
Pembatasan pemeriksaan penunjang dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan juga menciptakan kendala dalam implementasi standar pelayanan antenatal terpadu. Di dalam PMK No.21 tahun 2021 menggariskan serangkaian pemeriksaan penunjang sesuai indikasi medis (termasuk pemeriksaan USG), namun jaminan BPJS membatasi jenis dan frekuensi pemeriksaan yang dapat dibiayai. Pembatasan ini berdampak pada kualitas deteksi dini faktor risiko kehamilan.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial, menyebutkan bahwa pelayanan neonatal esensial dilakukan paling sedikit 3 (tiga) kali kunjungan, yang meliputi: 1 (satu) kali pada umur 6-48 jam; 1 (satu) kali pada umur 3-7 hari; dan 1 (satu) kali pada umur 8-28 hari. Terdapat kesenjangan antara standar kunjungan neonatal yang direkomendasikan dengan cakupan pembiayaan BPJS Kesehatan. Keterbatasan jaminan pembiayaan ini dapat mempengaruhi kelengkapan pemantauan tumbuh kembang bayi baru lahir, terutama pada kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Diperlukan penyesuaian antara standar pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dengan skema pembiayaan BPJS Kesehatan. WHO menekankan pentingnya keselarasan antara standar pelayanan dan sistem pembiayaan dalam mencapai target penurunan angka kematian ibu dan bayi. Beberapa rekomendasi strategis untuk mengatasi perbedaan ini antara lain diantaranya: 1) Memperbaiki regulasi BPJS Kesehatan yang dapat  mengakomodasi standar pelayanan KIA secara komprehensif; 2) Pengembangan mekanisme khusus untuk pelayanan maternal dan neonatal; 3) Penguatan koordinasi antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam harmonisasi kebijakan; 4) Implementasi sistem monitoring dan evaluasi terintegrasi. Harmonisasi regulasi tidak hanya akan meningkatkan efektivitas pelayanan tetapi juga efisiensi penggunaan sumber daya dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Untuk mengoptimalkan peran BPJS Kesehatan dalam menurunkan AKI, diperlukan upaya berkelanjutan dalam perluasan jaringan fasilitas kesehatan, peningkatan kualitas layanan, penguatan edukasi masyarakat, penyederhanaan proses administrasi, dan penguatan sistem rujukan serta harmonisasi antara kebijakan perundang-undangan dengan kebijakan BPJS. Dengan upaya ini di harapkan dapat  mempercepat penurunan AKI di Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI