Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Belajar "Etika Berkomunikasi ala Barat" di Kota Egaliter Wellington

1 Juni 2023   15:29 Diperbarui: 2 Juni 2023   02:00 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pekerja kantoran saat menikmati makan siang di daerah Lambton Quay_Dokumen Pribadi

(Catatan kecil perjalanan ke negeri Kiwi Selendia Baru #2)

Sejenak pesawat mendarat di Wellington airport, tampak cuaca disekeliling tengah bermandi sinar matahari dengan sesekali angin bertiup kencang. Minggu pertama Februari 2023 dimana musim panas baru saja dimulai dinegeri dimana Kiwi sejenis binatang nokturnal  menjadi ikon negrinya. 

Setelah menyelesaikan urusan keimigrasian dan biosecurity yang sangat detil terhadap semua barang bawaan, penumpang kemudian diarahkan melewati lorong yang terlihat menyempit untuk menuju ruang tunggu kedatangan penumpang yang mungil itu.

Di ruangan dengan sabar telah menunggu kedatangan kami pengundang dari Wellington Uni-Professional Victoria University. Salah satu dari mereka sangat kukenal yang bernama Alison Hamilton-Jenkins. Ia seorang program manager akademik, seorang perempuan paruh baya yang di ruang zoom  belajar biasanya selalu tampak sangat rapi dan serius. Tetapi sore itu ia berpenampilan casual berbalut kaos putih berpadu dengan celana jean lengkap dengan sepatu kets nya.

Teringat olehku di mana tiga bulan tahun sebelumnya kami sangat intens bertemu di ruang zoom belajar. Pembelajaran intensif kulalui dari Senin sampai Jumat yang diulai pukul 08.30 pagi tepat sampai dengan pukul 13.30 dan terkadang harus diselesaikan sampai pukul 2 atau 3 sore jika ada sesi tambahan seperti diskusi kelompok.

Suasana pekerja kantoran saat menikmati makan siang di daerah Lambton Quay_Dokumen Pribadi
Suasana pekerja kantoran saat menikmati makan siang di daerah Lambton Quay_Dokumen Pribadi

Alison biasa ia kami panggil. Panggilan nama pertama adalah hal yang normal di negeri ini tanpa menyebut embel-embel gelar ataupun jabatan formal lainnya yang mereka sandang. Ia menjabat erat tanganku dengan gestur tubuh dan sorot mata yang terasa hangat. 

Ia menyapa ramah serta langsung menanyakan  pengalaman sepanjang perjalanan udara yang cukup panjang tersebut. Senyum dan perhatian yang tulus sepertinya tidak lepas darinya agar masalah yang ada bisa dibantu dan diberikan solusi segera. 

Sedang Alana Webster yang berdiri tidak jauh disampingnya adalah seorang program coordinator. Alana biasa ia disebut juga ikut sibuk menyambut kedatangan rombongan peserta shortcourse adalah seorang perempuan muda energik dengan gaya bahasa dan tubuh ekspresif dalam berkomunikasi. 

Selama pelaksanaan kursus singkat ini Alana sangat membantu dan mengarahkan kami mengikuti seluruh rangkaian aktifitas dengan menyenangkan dan penuh rasa kekeluargaan.

Situasi bangunan kedutaan Besar RI di wilayah Kelburn_Dokumen Pribadi
Situasi bangunan kedutaan Besar RI di wilayah Kelburn_Dokumen Pribadi

Di antara yang menyambut kedatanganku adalah seorang general manager program, Gary Ward bertubuh sangat jangkung dan kuperkirakan tinggi badannya lebih dari 2 meter. Ia juga tampak sangat melayani dan sekaligus tidak segan menaiki mobil carteran bandara untuk mengantar rombongan langsung ke hotel tempat kami menginap di Wellington.

Gary dan sopir carteran yang tampak berusia diatas 50 tahun tersebut terus bercerita dengan penuh semangat disepanjang perjalanan. Diantara kisah mereka adalah tentang sekilas legenda sejarah kota Wellington. 

Perjalanan selama 30 menit ke pusat kota tidak terasa karena disuguhi pemandangan lansekap kota ditepian teluk dengan bangunan fisik kota  dominan berwarna putih  berjejer rapi dilereng bukit yang tampak menghijau dan cantik itu.

Di hotel kami langsung disambut oleh petugas resepsionis yang tampak cekatan melakukan tugasnya. Sambil menunggu diberikan kunci kamar dibagikan, kami pun diajak mengobrol ringan oleh seorang anak muda petugas hotel di ruangan lobi yang tidak terlalu luas namun tetap tampak bersih dan rapi. Ia menjelaskan dengan antusias situasi hotel secara umum, serta tempat escape sekadar mencari tempat makan dan minum, kehidupan malam ataupun sekedar hang out di pusat keramaian kota Wellington.

Sampai pada suatu waktu tertentu aku menyadari bahwa sifat terbuka, kesetaraan dan bersahabat penduduk Wellington sepertinya menjadi bagian kultur keseharian mereka. 

Tidak jarang mereka mengatakan sapaan terlebih dulu dengan kata: hello, good morning atau good night yang disertai senyuman dan tatapan bersahabat yang membuat kita merasa diterima ditengah lingkungan yang baru. Hal yang sulit kita temui dikota-kota besar di negeri kita yang terkadang sudah terasa sangat individualis.

Gaya komunikasi yang tidak straight forward terkadang membuat kita harus fokus dengan inti pembicaraan yang akan disampaikan. Pembuka komunikasi yang membuat nyaman lawan bicara dan lebih memperhatikan etika dan berusaha tidak menyinggung lawan bicara. Budaya masyarakat yang egaliter yang tidak membedakan dan saling menghormati sepertinya menjadi ciri khas berkomunikasi masyarakat Wellington.

Salah satu tradisi suku asli Maori yang diambil penulis dari Museum Te Papa Tongarewa Wellington_ Dokumen Pribadi
Salah satu tradisi suku asli Maori yang diambil penulis dari Museum Te Papa Tongarewa Wellington_ Dokumen Pribadi

Kemudian aku juga merasa  lebih dekat dengan Wellington setelah melihat penduduk suku asli Maori yang perawakan tubuh dan pelafalan hurufnya persis sama dengan bahasa Indonesia. Dikelas kami diberikan pengenalan bahasa Maori yang sepertinya lebih mudah difahami dan dilafalkan. Bahkan beberapa kata bahasa Maori ditemukan ada yang sama dan mirip dengan bahasa Indonesia seperti: Taringa – Telinga; Tangi – Tangis; Rua – Dua; Rima – Lima; Rangi – Langit; Mata – Mata; Ika – Ikan; Ia – Dia; Hua – Buah dan Aha – Apa. 

Budaya suku asli penduduk Maori juga tidak lepas dari keseharian penduduk Selendia baru. Pada acara formal akan selalu dimulai dengan pembacaan doa dan menyanyikan lagu berbahasa Maori. Penghormatan tinggi kepada budaya lokal sehingga menjadi identitas dan kebanggaan sebuah bangsa yang cukup maju tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun