(Goresan memori perjalanan ke negeri Kiwi Selendia Baru #1)
Lebih kurang empat jam perjalanan udara dari Kingsford Smith Sydney Australia, kemudian pesawat menyentuh runaway Wellington Airport yang terletak persis di bibir pantai. Sebuah bandara mungil untuk ukuran ibukota negara bernama New Zealand.Â
Segera terlihat olehku bangunan rumah yang didominasi warna putih bersih menyeruak diantara bukit terjal yang terlihat kontras oleh pigmen hijau pekat rimbun dedaunan sekitarnya di musim panas minggu kedua Febuari 2023.
Sebelum dapat meneroka lebih jauh kota dengan bentang alam unik ini, proses keimigrasian dan biosecurity harus dilalui dengan ekstra sabar setelah koper diambil dari conveyor belt.Â
Untuk urusan keimigrasian sepertinya tidak terlalu lama karena petugas memastikan kesesuaian dokumen di paspor dan visa, terkadang petugas juga bertanya singkat terkait berapa lama dan tujuan dari kedatangan. Â
Tetapi tidak untuk urusan biosecurity. Penumpang yang berasal dari Indonesia harus melalui jalur kuning yang terlihat di karpet, dimana ujungnya kita akan bertemu dengan petugas disuatu ruangan. Disini dilakukan pemeriksaan sangat detil terkait semua barang bawaan penumpang.Â
Sebelumnya kita akan diminta untuk mensterilkan sepatu yang dipakai dengan cairan khusus di lantai. Kemudian dengan sepatu lainnya yang ada dikoper dibawa petugas diruangan khusus untuk di sterilkan kembali. Sedang untuk barang lainnya akan dibuka satu persatu tanpa kecuali. Mereka sangat fokus ke barang bawaan yang berupa cairan, makanan , buah, material yang berasal dari tumbuhan maupun hewan bumbu dan obat-obatan.Â
Pesannya disini adalah jangan membawa material yang sudah di jelaskan sebelumnya untuk tidak dibawa ke negeri Kiwi tersebut. Jika sampai melanggar ketentuan tersebut siap-siap untuk barangnya disita sekaligus membayar denda NZ $400 (bisa di cek di google berapa persis rupiahnya) dan jika dikategorikan pelanggaran berat bahkan penumpang tersebut dapat di deportasi.
Dibagian biosecurity ini, setiap orang menghadapi seorang petugas berseragam dengan meja periksa masing-masing. Mejanya seperti seperti meja operasi untuk manusia berukuran besar.Â
Disini koper dan setiap bagian isinya harus dibuka tanpa kecuali untuk diperlihatkan diselingi sesekali mereka meminta penjelasan. Sebuah proses yang melelahkan setelah penerbangan hampir 13 jam dari Jakarta dan transit lebih kurang 2 jam di Sydney sebelum melanjutkan penerbangan ke Selendia Baru.Â
Meskipun pada akhir kunjungan aku mengerti kenapa mereka sangat tegas terhadap bawaan penumpang karena berkaitan erat dengan industri besar yang menghidupi negaranya terutama di sektor peternakan dan hasil turunannya.
Udara dingin dibawah 17 derajat langsung menyergap tubuh segera setelah keluar pintu kedatangan. Langit tampak cerah membiru dan sesekali tiupan angin kencang menerpa wajah iklim tropisku yang tidak tertutup jaket tebal.Â
Meskipun dikatakan lagi musim panas tetapi udara yang terasa berada dibawah temperatu AC, tetap saja kedua telapak tangan yang tidak tertutup secara tidak langsung mencari ruang saku baju jaket yang hangat yang kupakai.
Perjalanan dari bandara ke kota menggunakan bus lebih kurang tigapuluh menit. Perjalanan ke pusat kota kita disuguhi banyak pemandangan bukit yang hijau dan pantai-pantai yang airnya berwarna kebiruan dengan langit biru dengan burung-burung lautnya yang beterbangan bebas kesana kemari.
Kia Ora Wellington atau Hallo sapaan khas New Zealanders..
Ibukota modern yang cantik dan mungil ini berada diantara laut Tasmania dan samudra Pasifik dengan kontur kota berbukit dan pohon-pohon tampak menghijau.Â
Aku akan tinggal di kota yang berpenduduk kurang dari 400 ribu jiwa ini selama 2 minggu penuh untuk mengikuti bagian pembelajaran dari English Language Training for Officials Batch-54 yang dikelola oleh Uni-Professional Victoria University Wellington bekerjasama dengan New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade.
Bersama beberapa penerima beasiswa lainnya kami diinapkan di tiga hotel berbeda. Kebetulan aku diinapkan di Quest on the Terrace sebuah hotel yang terletak di pusat bisnis utama Wellington. Tempat yang disediakan oleh Manaaki scholarship ini cukup representatif karena tersedia peralatan masak lengkap ruang tamu.Â
Disini dituntut untuk mampu memasak makanan sendiri agar uang saku cukup untuk kebutuhan harian karena mahalnya harga makanan diluar. Sedikit pekerjaan memasak menjadi ringan karena air minum bisa dikonsumsi langsung dari keran-keran air yang ada.
Untuk dihari pertama kedatangan didapur hotel telah disediakan food-pack yang berisi sedikit beras, mie instant kemasan, beberapa coklat batangan, buah apel dan minyak goreng. Tidak lupa juga mereka menyiapkan seperangkat test COVID-19.Â
Dimana ada kejadian dari seorang peserta menyangka bahwa alat tes tersebut sebelumnya adalah untuk tes kehamilan dan dengan wajah terheran-heran dia menyatakan mengapa hotel menyediakan alat tes tersebut?
Dengan kontur lahan kota yang tampak sempit dan berbukit bahkan dengan kemiringan ekstrim menjadikan akses menuju beberapa tempat terkadang harus melalui bangunan tertentu.Â
Aku yang tinggal dibangunan yang berada dijalan The Terrace untuk menuju wilayah utama lain harus masuk dan melalui sebuah lobby hotel megah bernama James Cook Grand Chancellor.Â
Dengan menggunakan lift hotel tersebut untuk turun menuju Lambton Quay, merupakan pusat aktifitas bisnis dan pemerintahan utama di Wellington.Â
Akses ini juga yang aku gunakan untuk mengakses seperti: Â kampus, museum, berbelanja keperluan harian di supermarket, cafe, stasiun bus, window-shopping atau menuju waterfront untuk menikmati kota di pagi maupun senja hari.Â
Untung saja perut yang mulai keroncongan karena minta diisi nasi dimalam hari saat hari pertama kedatangan terselamatkan karena kami dijamu makan oleh kampus di sebuah restoran Cina. Belum ada restoran Indonesia disini. Di Wellington ada satu penjual makanan Indonesia yang menggunakan mobil bok yang hanya buka di hari libur Minggu di area waterfront.Â
Disini makan dengan cara Eropa. Menu disajikan secara bertahap di meja bundar yang dilengkapi dengan peralatan makan sendok garpu dan pisau. Air putih tersedia dalam gelas bejana besar di masing-masing meja.Â
Makanan pembuka atau appetizer disajikan pertama kali seperti spring-roll yaitu makan ringan menyerupai dadar gulung berisi sayur dan daging. Kemudian hidangan utama atau maincourse, disini tentu ada nasi dengan lauk seperti sate, ayam panggang, sayur tumis, ikan goreng tepung, mie serta tahu yang digoreng.Â
Setiap jenis makanan utama ini disajikan dalam durasi waktu yang berbeda beda. Sarannya adalah jangan makan sekenyangnya di permulaan. Kemudian hidangan penutup atau dessert  seperti es krim atau coklat.
Hari pertama kedatangan yang awalnya sangat melelahkan ditutup dengan makan malam yang begitu mengenyangkan dan sangat fantastis dan sepertinya energi yang hilang sebelumnya  sekarang telah kembali lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI