"Aku tidak ingin menganggu istirahatmu" jawabku ke Fithar sambil membolak balik bakaran di atas bara api yang sudah mulai berkurang apinya karena tetesan air daging dari empat pasang belangkas yang tidak berhenti menyiram api dibawahnya.
Â
     "Belangkas betina semuanya bertelur" jawabku kepada Fithar yang seperti tidak mengerti dengan apa yang aku katakan. Sepertinya ia masih merasa kedinginan dengan udara pagi ini. Kemudian ia berusaha lebih mendekatkan dirinya dengan bara api untuk mendapatkan kehangatan di tengah hembusan angin laut itu. Fithar rupanya sangat penasaran dengan hewan aneh didepannya. Karena memang jarang sekali orang kota yang dapat melihat atau berkesempatan mengkonsumsinya langsung dialam bebas seperti saat ini.
Â
Kuseduh kopi panas. Segera kemudian langsung tercium perpaduan panggang hewan laut dan harum kopi tubruk.  Indra penciuman siapapun akan bereaksi dan sekaligus  membuat perut siapapun secara otomatis menjadi lapar. Asap-asap itu terbawa oleh angin kesana kemari. Kemudian asap-asap itulah yang juga turut membangunkan Dewi dan Kemala.
Â
"Bakaran belangkasnya matang, kopi hangat ada di atas bangku kayu, yang kita tunggu apalagi Dewa?" ujar Fithar seperti tidak sabar lagi untuk melahap sajian menggiurkan didepannya. Ekstra tenaga yang telah dikeluarkan saat perjalanan tadi malam, tentunya  otomatis membuat perut mereka menjadi bertambah keroncongan di udara pagi yang masih sejuk.
Â
"Ini sudah bisa disantap" ujarku. Dewi dan Kemala yang matanya masih terlihat sembab karena kurang cukup istirahat, tampak kembali sangat bersemangat dalam acara santap pagi karena menu hewan laut yang masih segar dari alam.
Â
      "Telurnya lemak dan gurih" ujar Fithar sambil terus berusaha membuka kulit dibagian berkumpulnya telur-telur yang bentuknya bulat kecil berwarna kuning telur. Telur-telur tersebut mengumpul terutama berada pada bagian depan kepalanya.