Tentu belum ada sambungan listrik dikampung kami, sehingga untuk mengadakan acara besar seperti kenduri orang-orang kampung harus menggunakan lampu petromak yang berbahan bakar minyak tanah. Untuk menghidupkan televisi hitam putih, sumber listriknya berasal dari aki baterai besar yang rata-rata ukurannya 30x30 cm. Harus dicharger ulang setiap 3-4 hari sekali di tempat penyedia jasa re-charge di kampung.
Pukul 4.10 sore. Aku dan Fithar telah menancapkan kait terakhir. Kait tersebut sebagai pengikat tali tenda kami yang menggunakan kayu dan harus ditancapkan ketanah. Itu artinya kurang dari 20 menit kedepan kami segera bersiap untuk menyapa pantai indah di bagian barat pulau ini.
Angin laut terus menghantam jajaran pinus laut. Gesekan angin laut dengan daun-daun pinus menghasilkan suara menderu tiada henti. Angin laut sore itu bertiup, langsung tersaring oleh deretan pohon pinus yang membentuk seperti dinding alami. Hawa sejuk tercipta karena adanya peran daun pinus yang menyerupai jarum-jarum hijau yang sangat tebal dan lebat. Tubuh akan disergap dingin terutama saat kita berada dibawah jejeran pohon pinus yang membentuk pola seperti payung raksasa di sepanjang pantai menawan itu.
Tidak heran pulau cantik ini juga menjadi tempat singgah bidadari-bidadari dan pangeran dari kayangan karena siapapun akan merasa iri jika belum berkunjung ke sana seperti tiga tamuku ini.