Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (20. Badai Tropis yang Mencekam)

27 Januari 2022   10:19 Diperbarui: 27 Januari 2022   10:24 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat pribadi dari canva app

Sebagian besar awak kapal mulai dihantam mabuk laut yang tidak tertahankan. Beberapa diantara mereka hanya mampu bertahan dengan memegang benda apa saja untuk tidak terbanting-banting oleh ombak-ombak setinggi gunung itu. Sepertinya mantra paling ampuh saat ini adalah berdoa kepada Tuhan. Karena saat inilah justru kita merasa merasa sangat dekat dengan sang pencipta.

 Badai laut tropis yang baru kulihat ini. Kapal layar akan seperti noktah hitam kecil ditengah samudra luas yang tak berarti, mungkin hanya tampak seperti mainan yang airnya sedang diaduk-aduk kencang dengan gembira oleh anak balita didalam bak air.

 Arah haluan kapal menjadi tidak terkontrol. Hampir semua awak kapal mulai telah mengeluarkan isi perutnya. Muntah mereka berceceran disemua dek lantai. Air laut juga seperti tidak sabar ingin segera masuk kedalam dek-dek kapal saat terombang ambing kekiri dan kanan. Tidak ada yang bisa mengendalikan kapal ini lagi kecuali yang maha kuasa. Aku hanya bisa berdoa agar angin ribut ini segera berlalu.

 Ternyata tidak cukup hanya gelombang yang semaunya memainkan kapal ini, hujan juga menjadi kendala lainnya disaat badai seperti ini. Siang itu seperti malam kelam yang gelap gulita dengan hujan yang sangat deras. Arah kapal mengikuti saja kemana angin ribut ingin membawa  kami. Saat ini hanya satu saja permintaanku, yaitu agar kapal tidak terbalik oleh hempasan ombak yang sangat besar dan tinggi jauh melebihi tinggi kapal kami.

Arthur kulihat berlutut dianjungan seperti orang yang sedang berdoa dan menghadap ke ruang kemudi. Sepertinya dia mencoba untuk memastikan kain-kain layar tidak ada yang rusak sekaligus melihat beberapa barang atau bahkan awak kapal yang kemungkinan terlempar keluar kapal.  Jika manusia yang terlempar, sepertinya itulah akhir hidupnya karena situasinya tidak mungkin untuk diselamatkan.

Kuraih pintu dimana Bennet di rawat sementara. Sepertinya ia tidak lagi berada diposisinya dan berguling-guling kemana saja dilantai mengikuti hempasan gelombang tanpa kontrol. Hanya dinding-dinding kapal yang bisa menahannya  untuk tidak terlempar kelaut tanpa kendali.

Aku hanya bisa bertahan di kemudi yang sepertinya tidak berfungsi apa-apa lagi karena arah sepertinya bukan menjadi tujuan kami saat ini, kecuali keselamatan kapal layar ini.  Sebenarnya, kejadian terombang-ambing dilaut ini adalah hal biasa dialami oleh semua pelaut, tetapi tidak untuk kejadian badai saat ini.

Aku terus berdoa agar kami bisa melewati badai yang hempasan gelombangnya dapat membenturkan kapal kami ke karang laut, salah satu penyebab untuk penenggelaman kapal paling ampuh. Sudah beberapa kali aku berlutut memohon kepada Tuhan untuk menyelesaikan semua ini. Hampir  tiga jam terombang-ambing tanpa tujuan dan nyawa-nyawa kami seperti sedang berada  diujung tanduk.  Tetapi sepertinya tanda-tanda badai belum mereda.   Belum ada sama sekali secercah terang diujung kapal kami.

Sekali lagi mataku tertuju melihat Bennet yang dibalut kain selimut seolah telah selesai dengan kehidupannya. Aku berusaha meraihnya untuk memastikan kembali bahwa dia masih hidup. Semuanya basah di ruangan tanpa terkecuali. Hujan dan air laut sepertinya ingin menjamah sampai area terdalam kapal. Bennet mukanya terlihat sangat pucat sekaligus tersenyum tenang.

Setelah kembali memeriksa Bennet, aku merasa terpukul, tiada tanda kehidupan yang dimilikinya lagi. Tidak ada  nafas  lagi yang keluar dari hidungnya. Dadanya seperti tidak lagi seperti pompa sebagaimana manusia hidup. Kucoba raih nadi lengannya dan memastikan kembali apakah dia telah meninggalkan misi ini terlebih dahulu. Ternyata ia telah selesai dengan urusannya. Aku tetap berusaha menahan badannya, dengan mengikat tubuhnya memakai tali apa saja dikaki tempat tidur permanen yang menempel kokoh di badan kapal.

Sepertinya alam pun memahami bahwa telah ada satu korban jiwa yang dipersembahkan kepada alam semesta. Tanda-tanda angin ribut seperti mulai mereda karena seperti tiba-tiba saja matahari menyelinap diantara awan-awan tebal yang hitam pekat. Kemudian secara perlahan angin dan hujan seperti mereda. Meski hujan tetap turun ditengah sinar matahari yang juga memancar dengan cerah.

Aku berusaha melihat kearah kompas yang berada diruang tengah kemudi untuk memastikan  kembali arah sesuai tujuan. Sesuai dugaanku sebelumnya bahwa arah kapal layar ini telah berbalik arah 180 derajat. Artinya kapal layar sedang  mengarah kembali ke Batavia.

Aku berusaha berkomunikasi dengan bagian tali temali layar agar kembali mengarahkan arah kapal menuju pulau Borneo. Mengarah ke bagian utara. Petugas lainnya sedang  dipandu oleh Letnan Arthur .Aba-aba terus diberikan kepada petugas layar agar segera mengarahkan layar agar kembali ke tujuan awal.

Situasi kondisi kapal berantakan dan barang-barang, terutama yang tidak melekat kuat dibadan kapal. Beberapa ternak babi, kambing dan ayam yang dibawa sebagai bahan pangan hewan segar sepertinya berkeliaran lepas dari kandang karena penguncinya terlepas dan sebagian hanyut ditelan gelombang badai.

Setelah angin dan hujan reda. Semua kembali membereskan lingkungan terdekatnya masing-masing. Artinya harus bisa membuat situasi kondisi kapal seperti sebelum porak poranda. Fokusku sekarang adalah bagimana agar mayat Bennet dapat dilarung sesegera mungkin. Beberapa orang kupanggil untuk segera membungkus mayat tersebut dengan beberapa kain yang sebagiannya adalah persediaan tambahan kain layar. Beberapa batu pemberat juga segera diikatkan di 3 bagian tubuhnya agar tubuh tersebut segera meluncur mengisi dasar laut Jawa.

Kemudian persiapan untuk segera membuang mayat dilaut dilakukan. Seorang ahli ibadah  diminta untuk mendoakannya sebelum disemayamkan abadi di laut. Upacara penguburan dilaut secara singkat biasa dilakukan sebagai penghormatan terakhir kepada rekan seperjuangan yang telah mendahului. Telah ada pengkhotbah disana. Aku adalah orang yang terakhir mengizinkan agar mayat Bennet didorong ke laut . Pemberat  yang telah diikatkan dibadannya memang ditujukan untuk menarik secara cepat tubuh Bennet ke dasar laut demi menghindari ganasnya ikan-ikan hiu pemangsa.

Tak terasa air mataku tiba-tiba menetes jatuh. Segera kuseka agar tidak terlihat oleh awak kapal lainnya. Perasaanku terasa sangat tertekan. Belum lagi sampai ditujuan, aku tidak bisa menyelamatkan nyawa seorang yang sebenarnya nanti akan berjuang bersamaku. Penyakit malaria telah mempercepat Bennet kembali kerumah keabadian manusia.  Semua awak kapal saat ini yang berada diatas dek kapal paling atas terdiam tanpa kata-kata. Beberapa teman karib Bennet seperti juga aku, tidak kuasa membendung air matanya. Air mata kehilangan teman seperjuangan. Tidak ada kata lain aku harus mempercepat proses meluncurnya mayat Bennet di dasar samudra.

"Lepaskan!" itu kata-kata terakhirku untuk melepaskan ujung kesedihan diatas kapal Commando, agar berganti kepada optimisme kembali dalam menghadapi misi pelayaran yang kedepannya juga tidaklah mudah.

Hampir semua wajah yang terlihat tampak bersedih.

"Kembali ketugasnya masing-masing!" teriakku dan harus kusampaikan kepada mereka dengan tegas. Terlihat beberapa orang masih berkerumun. Mereka terus memperhatikan titik khusus dimana mayat Bennet dilempar ke samudra yang sangat dalam. Selamat tinggal Bennet, bisikku dalam hati.

Mengakhiri hari kedua ini kuminta makan malam dibuat istimewa untuk memulihkan energi pelaut-pelaut yang tersisa. Kambing dan babi dimasak dalam porsi lebih banyak untuk 119 orang. Tidak mudah mengembalikan kegembiraan dan semangat pelaut serta menghadapi kematian teman seperjuangan. Tetapi hidup harus terus diperjuangkan dan dilanjutkan.

                Badai berlalu. Telah terjadi kerusakan berat terjadi dibeberapa titik badan kapal. Banyak kerusakan  terjadi secara merata di antara dek-dek kapal karena benturan antar benda keras saat badai hebat menghantam.  Beruntung tidak ada kerusakan di lambung bawah kapal yang bisa menyebabkan air laut masuk tanpa kendali dan akan membahayakan semua penumpang yang ada diatasnya. Tiang kemudi tampak tidak lagi simetris karena terdorong  keras oleh bangku kayu pengemudi. Diperlukan perbaikan dibeberapa sisi sehingga pergerakan kemudi bergerak tanpa ada kemacetan dan dapat bermanuver untuk memutar secara penuh saat diperlukan nantinya.

Pekerjaan tukang kayu menjadi bertambah saat tiang kapal layar ada yang rusak. Dalam perlayaran justru tiang dan layar adalah nyawa kapal itu sendiri. Ada beberapa tiang  horizontal layar utama yang harus segera diperbaiki agar layar dapat berkembang secara sempurna. Dibeberapa  bagian layar tampak lepas dari ikatan tali temalinya.   

Pekerja yang memperbaiki kayu-kayu dan pekerja yang memasang kembali layar-layar yang terlepas dari tali pengikatnya sudah dimulai sejak badai pergi. Terlihat mereka bahu membahu menyelesaikan pekerjaannya. Semuanya dipersiapkan untuk menghadapi badai yang mungkin akan dihadapi berikutnya.

Semua pekerjaan tersebut diatas memerlukan waktu. Paling tidak diperlukan waktu 24 jam untuk mengembalikan kapal kembali dalam situasi awal dan kapal layar dapat berjalan dalam  kecepatan normal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun