Bagiku rumor dikota sebenarnya seperti membuka sebuah kotak pandora. Saat ini aku justru juga bertanya-tanya seperti penduduk Batavia lainnya, apakah seorang Arthur yang tampan dan berpenampilan selalu rapi juga mencintai seorang Mayang?. Kemudian siapakah anak haram Indo itu?. Dapat dikatakan justru akulah yang lebih dekat dan tahu kepada dua orang tersebut daripada seluruh penduduk Batavia. Selama ini terlihat mereka saling bahu membahu dalam melayani segala kebutuhanku.
Tidak ada yang sempurna didunia ini. Kejadian yang mungkin juga tidak diinginkan antara aku dan Arthur, jika harus ditakdirkan mencintai seorang perempuan pribumi yang sama. Pernah ada suatu kesempatan saat kami akhirnya tinggal duduk berdua saja pada jamuan makan di Harmonie. Ingin rasanya menanyakan sesuatu kepada Arthur secara langsung, sebuah pertanyaan tentang hubungan yang terjadi diantara mereka selama ini. Demikian juga sebaliknya, Arthur pun kulihat demikian adanya, karena rumor yang seakan telah menjadi rahasia umum seluruh warga kota. Tampak kami saling gelisah, mungkin dengan pertanyaan sama yang menggantung dikepala masing-masing. Tetapi mulut kami seperti terkunci, terdiam dan akhirnya kami membubarkan diri dengan membawa rahasianya masing-masing yang belum terungkap.
Malang tidak dapat ditolak. Sampai pada suatu ketika, disaat penyakit malaria yang sangat ditakutkan oleh setiap orang Eropa di Hindia Belanda akhirnya datang menyerangku. Â Suhu tubuh naik secara tiba-tiba, justru disaat sekujur badan menggigil kedinginan, selera makan hilang, kepala terasa mau pecah dan air ludah menjadi pahit. Daya tahan tubuhku menurun drastis sehingga aku hanya bisa terkapar diranjang tidurku. Kejadiannya tepat tiga bulan setelah kedatanganku di Batavia, penyakit yang diakibatkan oleh binatang nyamuk yang berterbangan dimerata tempat dengan ukuran sangat kecil yang terdengar sangat bising ditelinga.
Diberitahukan oleh pejabat kerajaan yang menangani kesehatan bahwa pembukaan lahan yang ekstensif untuk pembangunan tambak secara luas di daerah pantai menyebabkan kasus serangan penyakit malaria meningkat tajam dikota.
Selain malaria yang sangat ditakuti, penyakit lain yang belum teratasi dan banyak merenggut nyawa penduduk adalah penyakit diare parah dan berubahnya warna kulit dan mata menjadi kuning pucat. Penyakit malaria yang juga akhirnya melemahkan seluruh tubuh itu banyak menyebabkan nyawa-nyawa tidak tertolong lagi terutama penduduk pribumi yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Aku menduga bahwa meninggalnya adik-adiknya Mayang semasa balita adalah dikarenakan penyakit malaria dan kuning. Hal itu juga sekaligus seperti tiket kilat untuk masyarakat pribumi keluar dari kesusahan dan penderitaannya.
Kondisi penyakitku bertambah berat disebabkan juga karena aku sangat kesepian dan akhir-akhir ini sangat merindukan Pruistine, meskipun aku mendapatkan kunjungan rutin dokter Eropa yang setiap hari mengobservasi keadaan penyakitku.
Saat ini tidak ada cara lain, selain hanya Mayang orang yang paling kupercaya kuminta agar siang malam berada disisiku. Untung saja penyakit ganas tersebut dapat kulalui dengan penuh perjuangan. Hal tersebut tidak lepas dari bantuan dari tenaga medis Eropa dan tentu saja Mayang yang dengan setia membantu apapun yang kuperlukan selama proses penyembuhan. Disaat kondisi kesehatanku terpuruk, rasanya saat inilah aku mulai menyadari dan tidak ingin Mayang meninggalkanku meskipun hanya sedetik saja.
"Saatnya pakaian Tuan diganti" mata Mayang terlihat sendu dan suaranya serak lelah karena kurang istirahat. Tetapi Ia tetap berusaha tersenyum untuk menyenangkan perasaanku. Pakaian piyama tidur longgar berwarna putih bersih dibawanya mendekat kesamping tempat tidurku yang sedang terbaring tak berdaya. Aku hanya bisa mengangguk lemah untuk menyatakan persetujuanku. Penyakit malaria tidak saja membuat penderitanya panas dingin tidak menentu, bahkan beberapa kali aku sampai pada kehilangan kesadaran karena serangan panas yang sangat tinggi. Mayang tanpa rasa canggung, saat tangan-tangan lembut dan cekatan dengan tenang melucuti seluruh pakaianku tanpa terkecuali, yang sebelumnya terasa basah oleh keringat saat aku menggigil kedinginan diluar kendali dibalik selimut tebal berlapis.
"Aku akan mengelap seluruh tubuh Tuan, dengan handuk hangat basah ini!" aku hanya bisa memperhatikan tak berdaya, Mayang yang seolah tenaga medis dan siap melakukan perawatan kepada seorang bayi yang tidak berdaya ini. Ia kemudian meremas handuk didalam baskom kecil yang airnya seperti masih mengeluarkan uap panas. Benar-benar saat ini aku tidak berdaya karena seminggu terakhir aku tidak bisa mengisi lambungku dengan jenis makanan apapun, kecuali air putih yang dipaksakan. Sakit kepala yang luar biasa membuat keinginanku hanya ingin muntah saja, setelah itu menggigil kedinginan sampai ranjang tempatku tidur kayuku ikut bergoncang. Begitu seterusnya.
Aku membiarkan saja tangannya yang cekatan langsung membersihkan keringat yang terasa lengket di sekujur tubuhku. Lap yang terasa hangat dikulit melintas disetiap lapisan kulit terluarku. Tanpa terkecuali, sampai didaerah terlarangku. Pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh tenaga-tenaga medis terlatih dirumah sakit. Dalam waktu 15 menit pekerjaannya tuntas. Aku seperti merasakan kesegeran tubuhku kembali.
Itulah rutinitas yang dilakukan Mayang setiap hari saat sore menjelang malam. Sebulan penuh tanpa ada seharipun yang terlewat. Sebuah dedikasi tanpa syarat dari seorang pembantu perempuan muda pribumi.
Kamarku di Batavia yang tampak luas namun terasa dingin. Semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama Mayang dikamarku justru dalam masa-masa kritisku. Karena disaat inilah Mayang, mau tidak mau harus menginap siang dan malam dirumahku. Hal yang tidak pernah dilakukannya disaat aku sehat. Tidak jarang dia harus menungguiku sampai aku tertidur disampingnya. Ia terus menjagaku dari menggigau dan demam tinggi tanpa kendali. Lap basah selalu berada dikeningku dan tidak sempat mengering. Terkadang ia memijit badanku yang sendi-sendi badanku terasa lepas dari ikatannya. Sampai saat ini tidak ada yang kuragukan akan kesetiaan dan ketulusan Mayang dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Seorang gadis belia yang tegar. Sepanjang kegawatdaruratan yang kulalui, Mayang telah melaksankan pekerjaannya dengan sangat mengesankan dan sangat membekas dalam jiwaku yang sebelumnya terasa kosong.
Dengan kejadian ini justru memperkuat keputusanku untuk dapat memiliki Mayang seutuhnya. Perasaan yang sebelumnya sempat kulawan dan kutahan sekuatnya untuk menyukainya, saat ini seperti tidak dapat lagi kubendung. Â Memiliki hati sekaligus raga gadis pribumi yang cantik sekaligus sangat tabah. Bahkan sampai terkadang aku ingin merasakan kembali kesakitan-kesakitanku yang parah, agar beralasan Mayang tetap selalu berada disisiku.
 "Tuan telah menggigau dan berteriak Pruistine berkali-kali," Mayang tampak bertanya-tanya dan berbisik pelan kepadaku. Memang aku tidak pernah menceritakan tentang seorang Pruistine, karena tidak ada alasanku untuk menceritakan kepadanya. Saat malam hari, terutama semenjak sakit sering aku bermimpi yang Pruistine telah pergi. Tidak jarang juga aku bahkan menangis tersedu-sedu sambil berlinang air mata. Tetapi rasa rinduku dengan istriku Pruistine ternyata tidak membuatku berhenti untuk menyukai Mayang, saat ini yang lagi sedang berada dekat disampingku.
Setelah malariaku bisa dikendalikan, sesekali Arthur menjengukku untuk memastikan perubahan kondisi kesehatanku. Dokter Eropa juga masih seminggu sekali mengecekku kondisiku dan memberikan resep obat yang harus kuminum rutin, meski tetap melalui bantuan Mayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H