Aku terperanjat dari kasur empuk berisi kapas. Peluit suara kereta yang melengking tadi telah membangunkanku dari mimpi. Maklum, di rumah tidak ada jam yang menggantung pada dinding kamar. Apalagi  jam weker yang dilengkapi dengan dering lonceng. Jadi, satu-satunya pengingatku untuk segera beranjak dari lelap hanya pluit  yang bersumber dari corong kereta uap yang singgah  di Stasiun Kereta Serang dekat rumah.  Itu adalah suara  penanda bahwa waktu sudah menunjukan pukul 6 pagi. Artinya, Aku mesti bersiap untuk mandi, sarapan dan segera berkemas pergi ke sekolah.
Namun, seringnya kereta datang terlambat. Semenjak aku masuk ke Sekolah Menengat Atas, bunyi pluitnya tak lagi bersahabat. Ular berkarat panjang itu datang ke stasiun  kereta semaunya sendiri. Mentang-mentang punya jalur pribadi, dia tiba dan pergi seenaknya. Jadwal pemberangkatan dan kedatangan sering dilanggar tanpa permohonan maaf. Kalau sudah seperti ini semuanya menjadi dirugikan. Bukan hanya para penumpang yang sedang duduk menunggu di kursi penantian saja yang marah. Aku juga sering kali dibuatnya kesal. Pasalnya, kalau kereta tak tepat waktu tiba, mau tak mau aku  harus tegar dimarahi guru di sekolah karena datang terlambat. Tapi itu sudah hal biasa. Siap-siap saja menerima hukuman berdiri ditengah lapangan, hormat kepada sang saka merah putih seharian atau diminta membersihkan WC yang  bau pesingnya bukan kepalang. Intinya, keterlambatan kedatangan kereta besi adalah duka buatku.
Sambil mengucek-ngucek mata, aku setengah berlari menjauhi tempat tidur. Kemudian menyingkirkan kain penutup pintu kamar dan menghela nafas panjang. Kelagapan, karena aku yakin ini bakal hari yang tak indah. Aku akan telat lagi sampai di sekolah. Baru saja keluar dari kamar, di hadapan sudah ada ibu yang sedang menyiapkan sarapan.
" Fauna, kamu kenapa? " Tanya ibuku sambil kedua tangannya memegang piring.
" Mmmm.... ," belum sempat aku menjawab ibu sudah bertanya lagi.
" Mengapa tergesa-gesa? " ibu merasa heran. Aku memang tidak nyaman kalau hari pagi ini akan meninggalkanku dalam sekejap.
" Sepertinya kereta datang telat, bu, "  curigaku. Karena memang sudah seminggu berturut-turut lokomotif  dan teman gerbong-gerbongnya itu memberi kabar tak pernah tepat waktu. Mereka seolah kompak mengerjaiku agar terlambat terus. Atau mungkin mereka sedang  memperingatkanku supaya tak pernah memiliki ketergantungan waktu dengannya. Bahwa bangun tidur itu mesti displin dan terjadwal tanpa harus diperingatkan.
"Oh...., bukannya kamu libur?"  wanita  tujuh anak itu mengingatkan. Aku berusaha membayangkan tanggalan kalender. Rasa-rasanya benar kata ibu. Bukankah mulai hari ini sekolah tutup untuk sementara waktu.
"Arggghh...!! Â Iya ya bu, aku hampir lupa, " Â kedua telapak tanganku meremas wajah yang bentuknya belum sempurna. Masih muka kasur. Meringis campur senang.
 Ya, minggu ini ternyata memang sudah masuk liburan sebelum menghadapi ujian kelulusan. Tentu rasa gembira itu tiba, keriaan  mendadak singgah tak terbendung.  Aku peluk Ibu yang sedang masih memegang piring. Genggamnya cukup erat. Sampai-sampai dia kesal karena makanan buat sarapan keluarga yang baru saja dimasaknya  hampir terbalik.