Mohon tunggu...
Ardiba Sefrienda
Ardiba Sefrienda Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger, Researcher

istri dari Edy dan ibu dari FREE(Faris Raditya Edsel Ediba)..we are edibafree Family. Kunjungi rumah maya saya di www.ardiba.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Lesscash", Gaya Hidup Praktis dan Fleksibel Masa Kini

26 Oktober 2017   13:02 Diperbarui: 26 Oktober 2017   21:22 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah merasakan keringat dingin karena harus setor uang sebesar lebih dari 200 juta ke bank? Kalau yang kerjaannya di bagian keuangan atau perbankan sih mungkin sudah melewati masa-masa tegang itu. Tapi buatku yang bahkan nggak pernah pegang 10 juta tunai, saat harus menyetor uang costumer sebesar 240 juta rupiah ke bank terdekat, rasanya keringat dingin. Kalau nanti aku dicegat di jalan gimana? Kalau duitnya tercecer di jalan bagaimana? Lebay sih, tapi begitulah perasaanku pertama kali harus menyetor uang dengan jumlah yang besar.

Sesampainya di bank, was-wasku ternyata belum juga berakhir. Walau di bank kondisinya relatif lebih aman karena ada satpam yang berjaga, tapi aku masih merasakan was-was. Kali ini was-wasnya karena takut kalau uang yang kuhitung selip. Selip selembar yang berwarna merah sama saja memotong gajiku sehari, hihi. Untungnya teller di petugas ramah dan sigap, jadi saat aku pertama kali menyetor uang itu, tellernya mengingingatkan hal-hal kecil yang perlu kuketahui sebelum menyetor uang. Ternyata sebaiknya uang yang sudah berjumlah 100 lembar harus diikat tanpa melipat selembar uang ke ujung atas, uangnya jangan disteples, dan posisi gambar uang nggak boleh terbolak-balik. Ribet juga ya setor uang manual? Terpujilah para teller yang bisa dengan sabar memperlakukan lembaran-lembaran uang kertas yang bentuknya kadang sudah nggak jelas.

Lain lagi pengalaman teman sejawat yang harus menggaji karyawan kantor. Untukku dan beberapa teman yang gajiannya sudah model transfer, nominal gaji yang ganjil karena potongan-potongan nggak jadi masalah. Yang penting transfer sejumlah seharusnya, nggak perlu ada pembulatan-pembulatan.

Hak karyawan terpenuhi sebagaimana seharusnya. Berbeda dengan karyawan yang tidak memiliki rekening tabungan dan harus gajian secara cash. Wah, temanku ini sampai kadang harus tukar uang dulu supaya bisa menggaji karyawan tersebut dengan nominal yang tepat. Tak jarang harus dilakukan pembulatan karena jumlahnya yang ganjil. Kalau pembulatannya kebawah, kasihan karyawannya, tetapi kalau pembulatannya keatas, perusahaan akan dirugikan, walau jumlahnya nggak seberapa.

Berdasarkan beberapa pengalaman di atas, aku sangat mendukung kalau di Indonesia makin digalakkan gerakan lesscash. Beberapa keuntungan dari lesscash ini antara lain:

1. Praktis

Yang paling dirasakan setelah lesscash adalah praktis. Setelah menggunakan uang elektronik, baik lewat kartu debit, kartu kredit, atau pun e-money, jadi nggak perlu lama menunggu kembalian atau cari duit kecil. Nggak perlu repot cari ATM terdekat.

2. Aman

Karena nggak perlu bawa bergepok-gepok uang, maka lesscash tentu lebih aman. Pastikan saja kartu debit, kartu kredit, atau pun e-money disimpan di tempat yang aman. Bila perlu, ganti PIN kartu secara berkala, dan isi e-money secukupnya saja.(fyi, saldo e-money yang diizinkan maksimal 1 juta rupiah saja)

3. Fleksibel

Dengan lesscash, transaksi dengan nominal bahkan 1 rupiah pun bisa. Nggak perlu repot menyiapkan uang pas atau menukar uang kecil. Terus nggak perlu baper karena kembalian kita dibulatkan ke bawah sama kasir di swalayan, hihi.

Namun, di balik banyaknya keuntungan bertransaksi lesscash, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar keuntungan bertransaksi lesscash semakin paripurna.

Sosialisasi lesscash harus ditingkatkan
"Duh, pakai e-money biar cepet. Tapi kalau gini caranya jadinya lambat," keluh seorang teman.

Lesscash masih jadi hal baru buat penduduk Indonesia, tak terkecuali bagi sumber daya manusia yang bersinggungan langsung dengan fitur lesscash ini. Kasir misalnya. Karena lesscash masih jadi hal baru, terkadang masih ada kasir yang gagap melayani pembelian menggunakan lesscash, sehingga pembayaran menjadi lebih lama. Tapi seiring waktu, aku optimis masalah ini bisa teratasi.

Di sisi konsumen, masih banyak juga yang nggak mantap bila belum bertransaksi dengan uang tunai. Oleh karena itu, sosialisasi secara komprehensif dan menyeluruh sangat diperlukan.

Kualitas jaringan perbankan harus lebih dimaksimalkan
"Maaf Mbak, jaringannya offline."

Familiar dengan kata-kata itu? Ini salah satu kendala penerapan lesscash. Karena berupa uang elektronik, jadi transaksinya bergantung pada jaringan komunikasi. Sayangnya, jaringan komunikasi di Indonesia belum 100% stabil. Jadi, kadang jadi keki sendiri, mau bayar pakai uang elektronik tapi fasilitasnya lagi offline. Back to cash money again, hmph...

Perlu adanya promo-promo yang mendorong penggunaan uang elektronik
Animo masyarakat sebenarnya cukup tinggi dalam menggunakan uang elektronik. Sayangnya belum semua swalayan dan fasilitas umum menyediakan pembayaran menggunakan uang elektronik. Jadi daripada gambling, banyak yang kemudian urung menggunakan uang elektronik.

Seharusnya, sosialisasi mengenai pembayaran elektronik semakin ditingkatkan disertai dengan promo bagi yang bertransaksi secara lesscash. Apalagi saat ini makin banyak toko dan merchant yang memiliki fasilitas transaksi uang elektronik. Hal ini tentu akan meningkatkan animo masyarakat untuk bertransaksi secara lesscash.

Pengalamanku lesscash di ibu kota ^_^

Sabtu lalu aku harus ke Jakarta untuk sebuah urusan. Saat itu di dompet hanya ada uang tiga ratus ribu rupiah. Dalam hati, cukup nggak ya bawa uang segitu? Tapi pede aja lagi. Pokoknya cari tempat makan yang kira-kira terima pembayaran debit. Uang tunai hanya untuk bayar transportasi. Rupanya kalau aku punya e-money, bayar bus Transjakarta juga bisa langsung gesek loh. Dasar katrok akunya. Yang jelas dengan kemudahan lesscash, nggak perlu ribet cari ATM terdekat. Pembayaran juga lebih ringkas, tak perlu repot menyiapkan uang pas, atau ribet menyimpan uang recehan dari kembalian belanja. Alhasil, tiga hari di Jakarta, uang di dompet masih tersisa 150 ribu yeay!

Yang perlu diperhatikan saat bertansaksi secara lesscash:

1. Perlakukan kartu e-money, kartu debit, atau kartu kredit layaknya uang tunai. Walau hanya berwujud kartu, tetapi ini sangat "berharga". Jangan meletakkan di sembarang tempat, karena kalau kehilangan, ya sama saja kehilangan sejumlah uang, ya kan?

2. Catat transaksi yang dilakukan. Salah satu resiko lesscash adalah kurang kontrolnya kita terhadap nominal belanja yang telah dilakukan. Terutama bila menggunakan kartu kredit, umumnya limit pembelanjaannya cukup besar kan? Kalau nggak terkontrol bisa jebol tuh! Jadi, tetap diperhatikan ya jumlah pembelanjaan yang sudah dilakukan. Bisa dicatat di notes atau menggunakan aplikasi pengelola keuangan yang banyak tersedia di Play Store atau iStore.

Selamat menikmati bertransaksi secara lesscash!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun