Mohon tunggu...
Edi Mikku Ate
Edi Mikku Ate Mohon Tunggu... Administrasi - Ed1SBD

Mahasiswa di Kampus Swasta Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Naskah Kuno Kembali ke Pangkuan Keraton Yogyakarta

6 April 2019   00:37 Diperbarui: 6 April 2019   00:50 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Pendidikan dan Kota Budaya adalah dua hal yang sangat erat dengan Yogyakarta. Kota Pendidikan disematkan pada kota ini karena terdapat sekitar 137 perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri, maupun perguruan tinggi swasta.

Tidak saja jumlahnya banyak, perguruan tinggi di Jogja juga didukung fasilitas penunjang yang berkualitas sehingga melahirkan lulusan yang berkompeten. Tidak heran jika banyak sekali orangtua hampir di seluruh pelosok negeri memilih Jogja sebagai tempat untuk melanjutkan studi anaknya.

Kota Jogja juga disebut sebagi Kota Budaya. Kok bisa? Ya, karena di Yogyakarta mempunyai beragam potensi budaya, diantaranya adalah kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya yang berupa fisik. Sedangkan potensi budaya yang non fisik adalah berupa gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.

Beruntung sekali, pada tanggal 29 Maret 2019 saya diajak oleh salah satu teman yang aktif dalam Komunitas Kompasianer Jogja (KJOG), bersama dengan teman-teman lainnya untuk menyaksikan Pameran yang digelar di Pagelaran Kraton Jogja. Pameran tersebut adalah salah satu rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Kraton dalam rangka Mangayubagyo 30 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X bertahta.

Foto Bersama #KJog
Foto Bersama #KJog

Pameran dengan tema " Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" tersebut dilangsungkan dalam rentang waktu satu bulan penuh mulai tanggal 07 Maret -- 07 April 2019. Pameran ini sekaligus sebagai tanda dikembalikannya 75 buah naskah kuno Kraton Yogyakarta yang diambil oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles ketika Inggris menguasai Yogyakarta pada tahun 1812.

Bersama rombongan Kompasiana kami diarahkan oleh prajurit untuk masuk terlebih dahulu di ruang pameran sisi Timur dikarenakan sudah ditata secara rapi masing-masing naskah berikut sejarahnya secara berurutan.

Pada bagian pintu masuk dipajang berbagai lambang penobatan raja (ampilan dalem), seperti: Galing (Burung Merak) yang melambangkan kebijaksanaan, Dalang (Kijang) sebagai simbol kepandaian, Sawung (Ayam) sebagai lambang kekuatan, Hardo Waliko (Naga) sebagai wujud  tanggung jawab seorang raja.

Naskah yang ditampilkan dalam pameran tersebut antara lain, Babad Ngayogyakarta, Babad Mataram, Babad Giyanti, serat Pawukon, Serat Kandha Ringgit Tiyang serta teks-teks bedhaya. Sebagaimana ditulis dalam aksara Jawa yang sulit dibaca, masing-masing naskah dilengkapi dengan keterangan nama, tahun dibuat dan inti yang diceritakan dalam naskah tersebut.

Beberapa naskah dan keterangannya dalam pameran ini antara lain Babad Ngayogyakarta Hamengku Buwono I dumugi Hamengku Buwono III menceritakan tentang sejarah Yogyakarta, pembagian kekuasaan Surakarta sesuai perjanjian Giyanti (1755), kilas pemerintahan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga jatuhnya Yogyakarta ke tangan Inggris (1812).

Babad Giyanti, Geger Inggrisan (Geger Sapehi) dumugi Hamengku Buwono III: menceritakan tentang peperangan Mangkubumi, gambaran pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Diceritakan juga Jumenengan Paku Alam I (1813). Akhir cerita pada babad Giyanti ini terlihat intervensi Pemerintah Inggris atas Kraton Yogyakarta pasca Perang Sapehi (Geger Sapehi).

Naskah-naskah tersebut tertata rapi dalam kotak kaca sehingga tidak bisa disentuh atau dibuka (bolak-balik) oleh pengunjung. Naskah ditulis menggunakan tinta hitam dan tinta emas dalam bentuk aksara jawa kuno sehingga tidak banyak pengunjung yang dapat membacanya. Selain naskah yang berbentuk fisik, pengunjung juga akan diperlihatkan naskah-naskah yang sudah dalam bentuk digital dimana pengunjung akan bebas membuka halaman demi halaman dari naskah tersebut.

Pada bagian dinding ruang pameran juga diperlihatkan foto-foto ilustrasi Geger Sapehi, ilustrasi sangkar Paraning Dumadi yang menghubungkan Tugu Jogja -- Alun-alun Utara -- Kraton Alun-alun Kidul -- Panggung Krapyak, dan juga foto-foto proses digitalisasi naskah-naskah koleksi Kraton Yogyakarta.

"Dari karya-karya susatra, lahirlah etika Jawa sebagai sumber acuan nila-nilai pendidikan karakter manusia Jawa, sehingga dapat bermakna bagi kehidupan nyata". -- Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Semoga dengan kembalinya naskah kuno kraton tersebut dapat melengkapi pengetahuan sejarah kita khususnya tentang sejarah Kraton Yogyakarta.

Pintu masuk ruang pameran (doc. Riana Dewi)
Pintu masuk ruang pameran (doc. Riana Dewi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun