Mohon tunggu...
Edi Ramawijaya Putra
Edi Ramawijaya Putra Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Pendidik, Penulis, Trainer dan Pembicara Dengan Latar Belakang Linguistik Terapan Bahasa Inggris (TESOL) Bidang Kajian Sosiolinguistics dan Language Pedagogy. Instagram: @edi_ramawijayaputra

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggu Komitmen Paslon Pilkada NTB terhadap Keragaman

28 Februari 2018   15:07 Diperbarui: 28 Februari 2018   15:13 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.suarantb.com

Oleh: Edi Ramawijaya Putra

Perhelatan pesta demokrasi pemilihan langsung Gubernur dan Wakil Gubernur NTB pada Pilkada serentak 2018 telah dimulai. Masing-masing pasangan calon telah resmi terdaftar dan hanya menunggu penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah NTB. Kristalisasi paslon yang menjadi kontestan Pilkada NTB telah melalui serangkaian proses politik yang panjang. Saling klaim dukungan parpol pengusung, bongkar pasang paslon, perang landskap visual, perebutan basis elektoral, survey internal, wacana koalisi serta unjuk gigi kekuatan jumlah konstituen mewarnai perjalanan panjang pendaftaran peserta Pilkada NTB.

Empat paslon yang telah resmi mendaftar adalah pasangan Ali-Sakti, Suhaili-Amin, Zul-Rohmi dan Ahyar-Mori. Polarisasi dukungan calon pemilih keempat paslon ini memiliki perbedaan sangat tipis mengingat tingkat populisme dari keempat pasangan ini sudah tidak diragukan lagi karena masing-masing Cagub dan Cawagub bukanlah wajah baru dalam kancah perpolitikan di provinsi dengan jargon "pulau seribu masjid" ini.

Pasangan Ali-Sakti yang mencalonkan diri melalui jalur independen telah terlebih dahulu membuktikan modal politiknya dengan prasyarat KTP dukungan. Berbeda dengan Suhaili-Amin yang keduanya telah terlebih dahulu dikenal sebagai Wakil Gubernur dan Bupati Lombok Tengah. Pasangan Zul-Rohmi yang menjadikan "duo-doktor" sebagai tagline mereka lebih dahulu meraup simpati kalangan calon pemilih muda lengkap dengan TGB Effect di dalamnya. Tidak ketinggalan pasangan Ahyar-Mori yang telah mengklaim diri sebagai dwi-tunggal sebuah pengejawantahan wakil dari Pulau Lombok dan Sumbawa.

Di NTB, selain persoalan interpretasi ideologi parpol yang secara top-down akan berdampak pada perhelatan di daerah terdapat juga persoalan keberagaman etnis, agama, gender dan ideologi ormas. Dari sekian banyak keberagaman empat hal ini paling banyak dihembuskan oleh netizen dalam interkasi maya. Hal ini sudah cukup merepresentasikan asumsi bahwa indentitas masih menjadi faktor penting dalam merekayasa implikasi politis baik tone positif maupun tone negatif dalam tiap mekanisme pemenangan paslon.

Pasangan Zul-Rohmi adalah paslon yang paling pertama terkena isu identitas karena satu-satunya pasol dengan Cawagub perempuan. Zulkieflimansyah yang lebih dikenal Dr. Zul tidak luput dari perguncingan menyoal etnis karena secara adminstratif adalah warga Provinsi Banten dan menjadi anggota parlemen aktif melalui Dapil Banten. 

Paslon Ahyar-Mori, meski warna dua pulau ada ditangan mereka namun persoalan dukungan PDIP kepada mereka ternyata mendatangkan resistensi dari pendukung Prabowo yang memang sudah terlebih dahulu terpolarisasi. Selain itu, posisi Partai Gerindra sebagai oposisi pemerintahan Jokowi di tingkat pusat ternyata mempengaruhi dampak dukungan terhadap calon-calon yang diusung PDIP di daerah. 

Berbeda dengan pasangan Ali-Sakti, paslon ini tidak lagi menggubris perihal dukungan kepartaian karena maju secara independen. Namun perlu diingat, dualisme ormas NW (Nahdlatul Wathan) masih menjadi faktor sosiopolitik yang menentukan bagi mereka. Pasalnya Wakil Ali BD, HL. TGH. Muh. Ali Wirasakti Amir Murni adalah Ro'is 'Am Dewan Mustasyar NW kubu Anjani. 

Di sisi lain, NW kubu Pancor yang dinahkodai oleh TGB secara tegas memberikan mandatnya kepada Siti Rohmi yang merupakan kakak kandung TGB dan sekaligus cucu Alm. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pendiri Nahdlatul Wathan. Praktis, Lombok Timur akan menjadi zona pertempuran kedua trah ini untuk memperebutkan simpati calon pemilih dengan rasio yang paling banyak se-NTB. Di kubu Suhaili-Amin meski relatif kecil isu identitas menyeruak kepada mereka namun bayang-bayang mesin politik Partai Golkar tetap tidak bisa diprediksi secara utuh. Hal ini disebabkan meski DPP Partai Golkar akhirnya merestui Suhaili yang merupakan Ketua DPD partai Golkar NTB namun pesona Ahyar Abduh masih terlalu terang untuk diredupkan sebagai kader Golkar yang masih aktif dan cukup dikenal sebagian elit dan simpatisan partai berlambang beringin.  

Paling tidak terdapat dua rujukan regulasi yang telah dikeluarkan oleh KPU untuk mengatur dan mengantisipasi merebaknya SARA yaitu PKPU Nomor 4 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 8 tahun 2017. Meskipun KPU telah tegas mengatur dalam bentuk peraturan lengkap dengan sanksi hukum yang mengancam namun isu-isu SARA dan identitas sering menjadi bahan dagangan yang paling laku untuk dimobiliasi dan diekspolitasi menjadi peluru-peluru tajam untuk menjatuhkan lawan politik. Alhasil, Pilkada yang seyogianya menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas dan visioner harus kandas oleh ulah segelintir orang yang hanya ingin memperjuangkan kepentingannya sendiri. 

Di sisi lain, era digital dan gadget makin memberikan ruang penetrasi dan distribusi untuk manajemen hoax serta pemelintiran informasi dalam ruang dan kecepatan yang sangat cukup. Maraknya suguhan informasi yang sudah dimodifikasi seperti ini akan memercikan partikel-partikel topik perbincangan mulai dari warung nasi balap hingga hotel berbintang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun