Mohon tunggu...
Edi Ramawijaya Putra
Edi Ramawijaya Putra Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Pendidik, Penulis, Trainer dan Pembicara Dengan Latar Belakang Linguistik Terapan Bahasa Inggris (TESOL) Bidang Kajian Sosiolinguistics dan Language Pedagogy. Instagram: @edi_ramawijayaputra

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Segara Anak Lake: "Branding" Jangan Latah!

12 Juli 2016   22:08 Diperbarui: 13 Juli 2016   17:40 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik khususnya warga Lombok yang tinggal di bagian utara (KLU) dihebohkan oleh pemasangan plang besi di tepi Danau Segara Anak yang bertuliskan “SEGARA ANAK LAKE”. Tulisan yang tertancap dengan media besi tanam dan lempengan logam dipasang permanen oleh Pengelola Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR). 

Tulisan ini bertujuan untuk promosi lokasi pariwisata (branding). Plang besi, yang disebut-sebut berfungsi sebagai photo-booth oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani ini pun menuai pro dan kontra. Sebagian kalangan masyarakat menganggap ikon plang besi semakin mempercantik Danau Segara Anak dan akan mendongkrak kunjungan wisatawan, baik domestik maupun asing. Namun, sebagian kalangan memprotes keras program ini dan mengancam akan mencabut paksa jika tidak segera dibongkar. 

Bagi pengelola BTNGR tentu hal ini menjadi dilema. Di sisi lain tekanan masyarakat yang kontra sedemikian besar namun plang besi yang menjadi output program pemerintah dibiayai melalui anggaran resmi tidak boleh dirusak begitu saja karena telah menjadi aset negara. Apa pun konsekuensinya upaya branding ini jelas telah menjadi blunder bagi pengelola. Tak pelak ribuan netizen mengecam dan mem-bully progam ini sebagai branding yang katrok dan norak. Di samping menuai kecaman yang masif, program ini juga melahirkan petisi yang langsung ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. 

Beberapa elemen masyarakat juga menyerukan agar program ini diusut tuntas karena dinilai tidak memiliki asas kebermanfaatan. Polemik ini tentu sangat disayangkan di tengah-tengah maraknya pemberitaan positif nominasi Gunung Rinjani yang sebentar lagi akan dinobatkan sebagai Taman Geopark Dunia oleh UNESCO.

Branding dan Semiotika Pariwisata

Raymond W.K. Lau (2011) menulis sebuah artikel yang berjudul Tourist Sights as Semiotic Signs. Raymond membuat tipologi jenis komoditas semiotika pariwisata dalam tinjauan perspektif wisatawan. Pertama signs, adalah bentuk sightcommodity yang menjadi alasan mereka datang untuk melihat dari dekat, mengabadikan keberadaan mereka di sana. Contoh dari signs bisa berupa taman monumental, museum dan artefak bersejarah. Kedua inherent signs, adalah tanda semiotis yang tidak berupa tanda artifisial atau temporal namun sudah terkandung sendiri di dalamnya. 

Contoh dari tipologi kedua ini adalah wisata alam, budaya, adat, dan religius. Dalam promosi pariwisata kontemporer, kedua tipologi baik signs dan inherent signs mendapatkan sentuhan berbagai modifikasi dan inovasi. Belajar dari kedua jenis semiotika pariwisata tersebut keberadaan jenis objek wisata telah memiliki sifat semiotis masing-masing. Faktanya ada tempat wisata yang membutuhkan penanda ada pula yang tidak memerlukannya sama sekali. Fenomena berburu foto dengan latar belakang Danau Toba di Sumatera Utara atau Ranu Kumbolo di bukit Semeru menjadi contoh strategis bahwa inherent signs tidak dapat tergantikan oleh teks-teks tematik. 

Diperlukan Kajian Sosiokultural

Prinsip menilai kelaikan, keindahan, dan kesederhanaan bisa saja sangat subjektif, namun penciri dan kekhasan adalah sesuatu yang sangat objektif. Meskipun Pengelola BTNGR berargumen bahwa pemasangan plang besi telah melalui kajian dan penelitian hingga sampai pada kesimpulan bahwa photo booth tersebut tidak akan mengganggu atau merusak Segara Anak, namun riset dan kajian tidak cukup hanya dalam domain ramah lingkungan dan keseimbangan ekosistem, harus juga pada pada domain sosiokultural. 

Kajian sosiokultural akan memberikan gambaran komprehensif apakah rencana branding tidak bertentangan dengan budaya lokal setempat, nilai hostoris, norma yang berlaku serta respon stakeholder wisata lokal. Jika dibutuhkan uji pulik dapat dilakukan sebelum eksekusi sebuah program yang berbasis anggaran negara untuk menyerap dan mendengar aspirasi. 

Bukankah sinergi antara pemerintah, stakeholder, dan masyarakat adalah kunci promosi wisata? Langkah ini meski memakan waktu, perlu direvitalisasi agar tidak terjadi miskomunikasi dan misinterpretasi antar pemerintah dan masyarakat yang sama-sama berkepentingan untuk mengembangkan industri pariwisata lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun