"we uleq kah wah senekala-nya ene" (pulanglang hari sudah mulai gelap)teriak seorang ibu paruh memanggil anaknya yang sedang asik bermain di depan pagar halaman rumah. Sang anakpun dengan nada lebut menjawab "aok" (Iya) seraya bangit dari kerumunan mainan menuju halaman rumah dan kembali pulang tanpa penolakan apapun. Rini, seorang remaja putri nampak mengemasi cucian baju ke dalam ember dan berjalan meninggalkan pinggiran sungai tempat ia biasanya mencuci pakaian. Segerombolan hewan ternak diiring menunju kandang karena hari telah berlalu dan bersiap berganti malam.Â
Bagi sebagian besar orang pulau Lombok hanya dikenal sebagai tujuan wisata dengan keindahan pantai tropis dan kuliner khas. Namun, masyarakat suku sasak terutama yang tinggal di bagian utara (KLU) pulau ini sangat kental dengan kearifan lokal yang hidup harmonis dengan titi, tutur dan tata kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah "senekala" atau "sandikala" dalam terminologi bahasa Bali.Â
Senekala adalah sebuah penanda waktu yang secara konsensus menjadi derajat ukur bahwa setiap warga disarankan  untuk kembali pulang kerumah dan berhenti beraktifitas sejenak. Rentan waktu dalam senekala ini tidak terbatas pada dentingan jam dan aktifitas rutin, seperti ketika Adzan Maghrib yang selama ini diidentikan dengan senekala. Senekala lebih pada nilai (value)bahwa setiap manusia, terlebih lagi anak-anak harus berhenti sejenak dari segala aktifitasnya untuk beberapa saat kemudian dapat melanjutkannya kembali.Â
Pada waktu yang temporal ini biasanya anak-anak diingatkan untuk sholat berjama'ah bagi yang muslim, me-bakti bagi yang hindu dan membaca parita bagi yang beragama buddha. Tidak hanya terbatas pada rutinitas agama, senekala juga diidentikan dengan waktu untuk melayani orangtua karena anak-anak yang remaja gadis biasanya menyiapkan hidangan makan malam untuk orangtua yang seharian berpeluh dengan pekerjaan masing-masing di sawah, ladang dan kebun.
Senekala ini juga merupakan saluran budaya lisan untuk transmisi hal-hal positif dari orang tua dan dari anak. Atmosfir pedesaan yang senyap dari bising hiruk pikuk kendaraan dan lalu-lalang manusia membuat ekosistem edukatif terbentuk secara alamiah.Â
Pada fase ini biasanya gelombang otak (brain waves) akan lebih stabil dan kondisi psikologis dalam fase "trans" yang memungkinkan untuk menyerap hal-hal baik dan bermanfaat untuk tumbuh kembang dan pertumbuhan. Tubuh dan cara kerja otak manusia akan sulit untuk mendaur informasi dan sumber pengetahuan jika fisologisnya tidak mendukung, lingkungan sekitarnya tidak "chemistry" dan suasana batinnya tidak stabil. Ibarat memasukan makanan kepada bayi yang sedang lapar rongga mulutnya selalu terbuka dengan sendirinya, namun sebaliknya susah bahkan tidak mau membuka mulutnya ketika memang si bayi tidak sedang lapar.Â
Bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta  dan kota-kota lain dengan penciri urban akan sangat susah untuk memberikan pemaknaan terhadap "senekala" karena hampir sepanjang hari bergumul dengan kemacetan dan menapaki moda transportasi dari dan ke tempat kerja. Belum lagi kecanduan gadget yang membuat kohesi sosial dalam keluarga menjadi sangat minim dan bahkan tidak ada sama sekali.Â
Suatu tantangan bagi masyarakat urban untuk menciptakan kohesi keluarga dan hubungan emosional yang terjahit dalam pola asuh anak dan keluarga (parenting). Keunggulan masyarakt desa di daerah adalah nilai-nilai local wisdom sangat kental dan masih releven hingga saat ini. Ancama era digitalisasi interaksi melalui media sosial akan mengancam keberadaan sistem peradaban kemasyarakatan ini di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H