Mohon tunggu...
Edi Ramawijaya Putra
Edi Ramawijaya Putra Mohon Tunggu... Guru - Dosen

Pendidik, Penulis, Trainer dan Pembicara Dengan Latar Belakang Linguistik Terapan Bahasa Inggris (TESOL) Bidang Kajian Sosiolinguistics dan Language Pedagogy. Instagram: @edi_ramawijayaputra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendamaikan Orangtua vs Guru

7 Juli 2016   09:43 Diperbarui: 7 Juli 2016   10:25 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus guru cubit siswa yang berakhir dengan vonis di pengadilan telah menyita perhatian kita akhir-akhir ini. Nampaknya, dunia pendidikan di tanah air kembali menghadapi persoalan rectoverso yaitu kasus baru citarasa lama. Suguhan media dengan pemberitaan yang diskursif dan bombastis seakan-akan menggambarkan kondisi pendidikan di institusi sekolah telah sedemikan menakutkan. Tak pelak, pelbagai pendapat bermunculan terkait pro dan kontra  terhadap guru yang telah resmi menjalani proses hukum. Sebagian pihak memberikan apresiasi kepada orang tua yang melaporkan guru dengan beralasan bahwa guru juga tidak immune menjadi pelanggar hukum. Sebagian lagi menilai tindakan orang tua tersebut terlalu arogan dan berlebihan sebab ikhwal pencubitan siswa bertujuan untuk mendisiplinkan bukan menganiaya.

Pro dan Kontra Bukan Perdebatan Sesungguhnya

Gelombang tanggapan silih berganti dengan berbagai varian argumen yang jika dikelompokan argumentasi tersebut dapat menjadi dua culster besar. Kelompok pertama adalah mereka yang pro terhadap guru didominasi oleh rekan sejawat, organisasi profesi guru yang beranggapan bahwa pendisiplinan adalah bagian yang integral dalam proses pendidikan. Orang tua yang telah menyerahkan anaknya, dididik di sekolah seharusnya tidak melakukan tuntutan hukum. Kelompok yang kedua adalah orang tua yang merasa dirugikan dan elemen-elemen penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) dan perlindungan anak. Mereka kokoh pada pendirian bahwa HAM harus dilindungi dalam kondisi apapun. Anak-anak yang secara asas hukum positif dilindungi undang-undang tidak boleh diekploitasi, sekalipun dengan alasan mendidik. 

Perdebatan ini seakan tidak berujung karena masing-masing pihak memiliki alasan akademis dan otentik. Publik terseret dalam arus perbincangan dan diskursus yang bukan sesungguhnya. Faktanya, kasus ini bukan murni persoalan hukum akan tetapi menyoal perspektif pendidikan dan tata kelola institusi sekolah. Pertanyaanya adalah mengapa kasus cubit siswa oleh guru bisa sampai pada persoalan hukum dan berakhir di pengadilan? apakah tidak ada upaya komunikasi dan mediasi oleh pemangku kepentingan untuk melakukan konfrontir pihak-pihak mencari solusi?. Kedua pertanyaan ini harusnya menjadi kontemplasi bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan kita.

Siapa yang Dirugikan?

Sebenarnya tidak ada yang diuntungkan dalam rentetan kasus yang menimpa guru-guru yang dilaporkan ke pihak berwajib. Dari sisi pelapor, meski tuntutannya telah terpenuhi namun tidak sedikit netizen yang melakukan bullyingterhadap si anak. Mulai dari menggugah petisi, meme, dan komentar-komentar pada dinding-dinding diskusi sosial media yang tentu tidak baik bagi emosional dan perkembangan psikologis anak tersebut. Sebaliknya, dari sisi terlapor, kasus guru cubit siswa seolah-olah menempatkan guru pada persepsi yang vandalisme dan tidak anti-kekerasan. Guru-guru menjadi lesu mendidik, kering motivasi karena mengidap paranoia pelanggar HAM, takut dilaporkan dan dipenjara. 

Berbagai spanduk saat orasi mendukung guru-guru yang terkena kasus hukum bertuliskan “kembalikan martabat guru” atau “#saveguru” menandakan semiotika yang kuat betapa guru-guru kita mulai resah dalam bayang-bayang supremasi HAM dan perlindungan anak. Di satu sisi kita boleh bangga karena perlindungan negara terhadap HAM khususnya perlindungan anak semakin peka, tanpa pandang bulu, semua diserahkan kepada aparat penegak hukum dan proses hukum. Catatan ini semakin memperkuat legitimasi kita sebaga negara yang berasaskan hukum. Akan tetapi, pisau tajam supremasi HAM kemudian menjadi samar ketika digunakan untuk membedah konstelasi masalah pada aras pendidikan. Hal ini disebabkan pada aras pendidikan itu sendiri HAM mendapatkan tempat yang mulia yaitu hak asasi untuk mendapatkan pendidikan yang laik. Oleh karena itu semua pihak haruslah cermat dalam menilai persoalan-persoalan yang sensitif agar tidak menyebabkan polemik yang tak berkesudahan.

Pendidikan Harus Dilihat Holistik

Kasus saling lapor orangtua siswa vs guru sangat disayangkan ditengah upaya seluruh elemen bangsa untuk meningkatkan mutu dan output pendidikan nasional. Tugas berat ini tidak semata-mata menjadi beban dan tanggung jawab guru di sekolah melainkan semua pihak termasuk orangtua siswa. Selama ini sekolah termasuk guru di dalamnya hanya dilihat sebagai entitas yang parsial bukan holistik. Orang tua ibarat membeli sebuah lisensi yang kemudian diberikan kepada guru yang sewaktu-waktu dapat diklaim ketika terjadi wanprestasi atau hal-hal yang bersifat merugikan diri dan anaknya. Paradigma ini harus dirubah mengingat jaman di era digital ini membuat tantangan pendidikan kian kompleks. 

Orang tua dan guru harus menjadi co-worker dan co-team dalam mengawasi tiap perkembangan dan masalah yang dihadapi peserta didik. Hampir tidak mustahil di era gadget, guru dan orang tua serta institusi sekolah tidak dapat membuat fitur-fitur komunikasi dan interkasi untuk membangun mutual understanding demi keberhasilan pendidikan peserta didik. Sinergi yang aktual jika dikelola dengan baik membuat proses pendidikan tidak tumpang tindih kepentingan. Bak mesin penggiling padi, dimana motor di dalamnya adalah sekolah yang bertugas mengupas dan membersihkan bulir-bulir padi sementara orang tua adalah petani yang memegang tangkai padi mengatur ritme dan arah motor bergerak.   

Merevitalisasi Organ Normatif Sekolah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun