Mohon tunggu...
Edi_akhiles
Edi_akhiles Mohon Tunggu... -

Writer, Traveler, Rektor @KampusFiksi, Kandidat Doktor Islamic Studies, at Jogjakarta - Madinah - Manchester

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MELERAI PERKELAHIAN OBYEKTIVITAS DAN SUBYEKTIVITAS DALAM STUDI AGAMA (Studi Pemikiran Ian G. Barbour dalam “Isu-isu dalam Sains dan Agama”)

1 Juni 2012   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:32 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[11] Ibid., hlm. 278-279.

[12] Kemampuan menempatkan diri sepenuhnya sebagai peneliti (observer) terutama untuk obyek-obyek penelitian yang merupakan bagian dari kehidupannya sendiri, seperti agama, hanya akan bekerja dengan baik jika mampu membangun obyektivitas dan menciptakan jarak kritis obyektif. Istilah “participant-as-observer” dan “experience-distant” merupakan kondisi yang paling banyak disorot. Lihat, John R. Hinnels, The Routledge Companion to the Study of Religion (London: Routledge, 2005), hlm. 252.

[13] Ludwig Wittgenstein dan Peter L. Berger adalah contoh ilmuwan yang gentle dan penuh komitmen melakukan revisi terhadap pemikirannya di masa lalu, berdasarkan pada temuan teorotitisnya di kemudian hari.

[14] Ibid., hlm. 248-250.

[15] Ibid., hlm. 256-270.

[16] Descartes adalah tokoh yang mengganti istilah Aristoteles bahwa manusia adalah “hewan rasional” dengan gagasan tentang benak yang tertanam dalam mesin jasmani. Gagasan ini memberikan pengaruh pada para ilmuwan kealaman utamanya bahwa mereka mampu mencapai perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang sangat mungkin terdapat pada benak pengamat tentang pengetahuan yang kita capai. Lihat, Rene Descartes, Diskursus dan Metode (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012); Stephen Palmquis, Pohon Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 80-81.

[17] Sebut misalnya Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa yang sebenarnya eksis adalah materi. Yang sebenarnya wujud adalah materi. Gagasan ini cermin dasar aliran empirisme atau realisme. Meski ini banyak ditentang, namun pengaruhnya jelas masih sangat kuat. Di hadapan Hobbes ini, patut direnungkan gagasan brilian Benedictus de Spinoza, bahwa benak (rasio) dan badan (realism) adalah dua aspek dari sebuah realitas dasar, besar. Realitas itu seperti sekeping uang logam dengan dua muka yang berlainan, tetapi keduanya sama-sama benar sebagai deskripsi tentang koin tersebut. Lihat, Stephen Palmquis, Pohon, hlm. 81-82. Dalam spektrum yang berbeda, Amin Abdullah juga menggunakan istilah yang sama (koin, mata uang) untuk menunjukkan kepaduan aspek Normativitas dan Historisitas dalam studi agama, sebagai dua hal yang berbeda, namun tidak pernah bisa dipisahkan. Lihat, Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Histositas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

[18] Karl R. Popper, Logika Penemuan Ilmiah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 31-32.

[19] Ian G. Barbour, Isu-isu, hlm. 248.

[20] Ibid., hlm. 263.

[21] Ibid., hlm., 264.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun