Dalam perspektif kerugian negara, kerugian yang dialami oleh BUMN pada dasarnya ditanggung oleh negara atau pemerintah. Hal ini karena BUMN adalah entitas yang dimiliki seluruh atau sebagian besarnya oleh negara, sehingga semua aset, kewajiban dan ekuitas dari BUMN terhubung dengan keuangan negara.
Kerugian negara pada BUMN adalah masalah serius yang dapat memiliki dampak ekonomi, sosial, dan politik yang signifikan. Konsep bahwa kerugian negara harus dikembalikan atau dipulihkan ketika terjadi penyalahgunaan atau kerugian dana publik adalah prinsip dasar dalam hukum, etika, dan praktik manajemen keuangan pemerintah. Prinsip ini tercermin dalam berbagai dokumen hukum dan panduan keuangan.
Yang menarik adalah, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan definisi kerugian negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Kemudian ditegaskan kembali bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah dan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan hukuman pidana pelaku tindak pidana. Melihat hal itu, jelas terlihat bahwa ketika negara dirugikan, maka dapat dipastikan ada hukum pidana yang mengikutinya.
Masalahnya, kerugian yang dialami oleh BUMN tidak serta merta dikarenakan pelanggaran hukum atau kelalaian dari manajemen. Bisa jadi kerugian yang dialami oleh BUMN itu ada karena adanya mekanisme pasar, misalnya perubahan perilaku konsumen, persaingan bisnis yang ketat, kondisi perekonomian global dan lain sebagainya seperti halnya kerugian yang dialami oleh perusahaan lainnya.
Topik ini memang masih menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum. Berkaitan dengan hal ini, Prof. Erman Rajagukguk dalam tulisannya yang berjudul “Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Negara” menyatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum yang memiliki kekayaan sendiri. Dengan demikian, kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara. Erman juga berpendapat bahwa “Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam BUMN secara fisik adalah berbentuk saham atau kepemilikan yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN itu.
Dalam hal ini, maka terdapat kecenderungan bahwa kekayaan BUMN memang terpisah dari kekayaan negara karena kekayaan negara di dalam BUMN hanya sebatas pada saham. Sehingga pada saat ada kerugian yang dialami oleh BUMN, hal tersebut bukan kerugian negara secara langsung, tetapi negara dirugikan dengan adanya kerugian BUMN. Dengan kata lain, diasumsikan bahwa jika tidak ada perbuatan melawan hukum atau kecurangan baik sengaja maupun lalai, maka kerugian dari BUMN adalah kerugian usaha.
Kerugian usaha yang dialami oleh BUMN baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi nilai perusahaan yang akhirnya akan mengurangi kekayaan negara yang berbentuk penyertaan modal pemerintah secara langsung ataupun kekayaan negara dalam bentuk kepemilikan saham, sehingga timbul kerugian negara. Terlebih, jika kerugian yang dialami BUMN sampai berakibat pada keadaan yang mengganggu eksistensi BUMN, maka negara sebagai pemilik mau tidak mau harus bertanggung jawab. Namun, kerugian negara dalam hal ini bukanlah kerugian negara yang menyebabkan timbulnya hukum pidana karena tidak ada kecurangan (fraud) yang terjadi. Kerugian Usaha dalam BUMN dapat diartikan juga sebagai Kerugian Negara, namun, Kerugian Negara belum tentu disebabkan oleh Kerugian Usaha. Lain halnya jika terdapat kecurangan dalam aktivitas operasi BUMN, maka kerugian yang muncul tidak hanaya kerugian usaha saja, namun kerugian negara yang menimbulkan hukum pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H