Keruntuhan Orde Baru yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan perubahan di berbagai aspek ketatanegaraan Republik Indonesia, salah satunya adalah aspek kepartaian. Sistem dua partai satu golkar yang berlangsung selama 32 tahun dan pemberlakuan asas tunggal Pancasila akhirnya dapat dihancurkan oleh gelombang rakyat yang menginginkan perubahan. Berbagai macam permasalahan yang terjadi pada masa itu menjadi bahan bakar perjuangan bagi para pemuda untuk menyerukan kebebasan dan meruntuhkan rezim otoriter Soeharto.
Sumber keruntuhan Orde Baru diakibatkan karena meruncingnya pertentangan antara kutub kekuatan di pihak penguasa yang selalu menuntut hanya kepada stabilitas dan efektivitas pemerintahan di satu sisi, dan berhadapan dengan kekuatan sosial yang sedang mengalami akumulasi kekecewaan yang membawa tuntuntan perubahan di pihak yang lain.
Tuntutan reformasi politik dan ekonomi pun menjadi wacana dan gelombang aksi massa pun berkobar dimana-mana. Krisis moneter dan politik telah menjadi konteks munculnya gerakkan mahasiswa 1998. Meskipun geliat mahasiswa terus terjadi sejak peraturan represif NKK/BKK dikeluarkan pada 20 tahun sebelumnya, namun krisis multidimensi yang memuncak kematangannya terjadi di tahun 1998. Akhirnya akumulasi permasalahan tersebut menjadi sumbu ledakan bagi bangkitnya gerakan mahasiswa Indonesia. (Sidiq 2003: 121)
Akhirnya gelombang protes yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia tersebut membuahkan hasil dengan berhentinya Presiden Soeharto dari jabatan Kepresidenan. Hal ini menandakan bahwa reformasi atau bahkan revolusi berhasil dilakukan meski hal tersebut masih jauh dari kata tuntas. Selanjutnya merupakan pengawalan proses pembentukan suatu sistem tatanan baru kehidupan politik Indonesia, dan salah satu sistem yang diperbaiki adalah sistem kepartaian.
Latar Belakang Munculnya Partai Politik
Perubahan yang diperjuangkan juga terdapat dalam konteks kepartaian. Dalam konteks kepartaian ada tuntutan dari berbagai kalangan agar masyarakat mendapat kesempatan untuk mendirikan partai terlepas dari tiga partai yang sudah ada. Perubahan yang diharapkan adalah menciptakan suatu sistem yang menjadikan partai politik tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, dan juga tidak memberi peluang kepada eksekutif untuk menjadi terlalu kuat (executive heavy). (Budiardjo 2008: 450)
Atas dasar itu pemerintah yang kemudian dilanjutkan oleh B. J. Habibie dengan parlemennya mengeluarkan UU No 2/1999 tentang partai politik. Hal ini juga diharapkan akan menciptakan suatu kesetaraan (nevengeschikt) antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945. Keluarnya UU tersebut menyebabkan ada 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman. (Pamungkas 2011: 156)
Terdapat dua momentum kunci yang menentukan perubahan dan meme-ngaruhi dinamika serta struktur kepartaian pada masa ini. Momentum pertama merupakan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya yaitu UU No 2/1999 tentang Partai Politik. Kedua, adanya amandemen UUD 1945. Menurut Sigit, amandemen UUD 1945 merupakan kunci yang paling berkontribusi dalam menata dan mengarahkan konsolidasi demokrasi di Indonesia. (Pamungkas 2011: 156)
Di dalam UU No 2/1999 tentang partai politik, terdapat pernyataan bahwa untuk membentuk sebuah partai politik dibutuhkan sekurang-kurangnya 50 anggota dengan usia minimal 21 tahun. Menurut kami, pasal tersebutlah yang mengakibatkan menjamurnya partai politik pada tahun 1999. Jadi merupakan sebuah kewajaran jika negara Indonesia yang memiliki wilayah luas dan penduduk yang banyak mem-punyai banyak partai politik juga.
Partai Politik dalam Pemilu 1999
Sudah disinggung sebelumnya bahwa partai politik yang mendaftar ke Departemen Kehakiman sebanyak 141 partai. Meski begitu, 141 partai politik tersebut akan diseleksi terlebih dahulu. Setelah seleksi dilakukan, hanya ada 48 partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu. Partai politik yang muncul pada saat itu juga membawa ide-ide dengan berbagai latar belakang yang mempengaruhi. (Budiardjo 2008: 450)
Kebebasan bagi warga masyarakat untuk mendirikan partai politik juga beriringan dengan kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan bagaimana aliran partai politik yang diusung tersebut. Pembebasan politik aliran dengan sedikit pertentangan menyebabkan berbagai aliran tersebut tampil secara terang-terangan tanpa bersembunyi lagi dibalik jubah kelompok kepentingan yang seolah netral tetapi menyimpan hasrat politik aliran.
Ada pun partai-partai yang hanya memiliki sedikit anomali atau penyim-pangan sehingga tidak sepenuhnya merepresentasikan aliran tertentu. Partai-partai tersebut lebih bercorak "pseudo aliran" yang dapat kita jumpai pada Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua partai tersebut dapat dikatakan lahir dari rahim aliran Islam modernis dan tradisionalis, yaitu organisasi Muhammadiyah dan Nadhaltul Ulama. Pseudo aliran dalam konteks ini yaitu tidak sepenuhnya menggunakan simbol agama, dan tidak sepenuhnya juga meninggalkan simbol-simbol tersebut. (Pamungkas 2011: 158)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang beraliran nasionalis berhasil memenangkan konstestasi pemilihan umum tahun 1999 dengan presentasi suara 33%. Hasil pemilihan umum pada tahun 1999 menunjukkan bahwa tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan. Karena partai pemenang pemilu hanya mendapatkan suara 33% sehingga tidak mempunyai posisi mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan.
Meski PDIP menjadi pemenang pemilu pada tahun 1999 dengan presentasi 33%, namun hal tersebut tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang ke-4. Hal tersebut dikarenakan adanya poros tengah yang dibentuk oleh Amien Rais bersama partai-partai Islam, membuat posisi PDIP menjadi kalah kuat. Akibatnya yang dipilih oleh MPR menjadi presiden adalah pendiri PKB, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gusdur). (Pamungkas 2011: 162)
Partai Politik yang mengikuti pemilihan umum tahun 1999 dan berhasil memperoleh suara yang dapat dikatakan signifikan yaitu, Partai Demokrasi Indo-nesia Perjuangan (33%), Golkar (26%), Partai Persatuan Pembangunan (12%), Partai Kebangkitan Bangsa (11%), Partai Amanat Nasional (7%), dan Partai Bulan Bintang (2%). (Budiardjo 2008: 450)
Sistem PluralitasÂ
Kemunculan partai politik dalam jumlah banyak dan keikutsertaannya dalam proses pemilihan umum tentu menjadi sebuah indikator bahwa demokrasi di negara tersebut menguat. Namun, patut juga untuk mempertimbangkan perbedaan yang dimiliki partai-partai tersebut harus mampu menciptakan kesejahteraan rakyat. Konsekuensi umum dari penerapan sistem multipartai adalah tingkat pelembagaan sistem kepartaian yang rendah. Akibatknya gejala perpecahan internal partai sangat kuat. (Jurdi 2020: 162-163)
Karakteristik yang dimiliki oleh sistem pluralitas terbatas selanjutnya adalah terfragmentasinya kekuatan politik partai politik di dalam parlemen. Rendahnya tingkat pelembagaan partai akan berimplikasi terhadap persaingan antarpartai di dalam dan di luar parlemen. Partai di dalam dan luar parlemen akan mengelompok menjadi faksi dan fraksi yang bersaing satu sama lain untuk memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya karakter ini akan menyebabkan perubahan-perubahan yang strategis terhadap sistem pemerintahan presidensial.
Karakteristik terakhir yang menjadi sebuah keniscayaan dari diterapkannya sistem multipartai adalah kemunculan koalisi. Fragmentasi yang terjadi pada sistem ini menyebabkan partai politik pemenang pemilu akan sulit mencapai angka mayoritas tanpa adanya koalisi dalam pemerintahan. Untuk menciptakan stabilitas pemerintahannya, seorang presiden yang terpilih menggunakan sistem pemilihan langsung dalam sistem presidensial dan pada kondisi multipartai harus melakukan koalisi. Hal tersebut dikarenakan presiden hanya mendapat dukungan minoritas di parlemen jika tidak melakukan koalisi.
Menurut Jurdi, sistem kepartaian pluralisme biasanya muncul di negara-negara berkembang, yang masyarakatnya secara sosio-kultural terbilang majemuk. Sehingga sistem ini akan melahirkan partai-partai dalam jumlah banyak dan masing-masing memiliki ideologi yang bertentang satu dengan yang lainnya akhirnya konsensus akan sulit untuk dicapai. (Jurdi 2020: 164)
Problematika Sistem PluralitasÂ
Kerumitan dari sistem pluralitas terbatas muncul pertama kali pada parlemen hasil pemilu 1999. Pada kontestasi untuk memperebutkan jabatan presiden, terjadi pemilahan atau pengelompokkan antara kelompok yang mendukung B.J Habibie dengan disponsori oleh Partai Golkar, dan kelompok pemenang pemilu yaitu PDIP. Namun pencalonan kedua tokoh tersebut mendapatkan reaksi yang keras dari dalam parlemen itu sendiri dan dari masyarakat luas pada umumnya. (Pamungkas 2011: 162)
B. J Habibie tidak mendapat dukungan yang cukup kokoh dari internal Partai Golkar dan mendapat penolakan dari beberapa kelompok pro-reformasi. Sedangkan Megawati mendapatkan resistensi dari partai-partai Islam dan partai-partai lainnya karena dianggap terlalu mengandalkan kemampuannya sendiri, sehingga mengecilkan dukungan yang didapat dari partai lain.
Di tengah kebuntuan situasi tersebut, kemudian Amien Rais membentuk kekuatan dengan partai-partai Islam yang dikenal dengan istilah Poros Tengah. Poros Tengah tersebut berisi faksi-faksi Islam dan Partai Amanat Nasional. Politik konsolidasi yang dilakukan oleh tokoh Islam ini berusaha untuk mencari jalan keluar dari sikap saling menolak terhadap alternatif calon presiden yang telah ada.
Poros tengah akhirnya mengusulkan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa, KH Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden alternatif. Di tengah perjalanan kontestasi pemilihan presiden tersebut Habibie mundur sebagai calon presiden karena pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Kontestasi akhirnya hanya tinggal Gusdur dan Megawati. Hingga pada akhirnya kontestasi pemilihan presiden ini dimenangkan oleh Gusdur dan Megawati ditempatkan sebagai wakil presiden dengan Amien Rais sebagai ketua MPRnya. (Pamungkas 2011: 163)
Terkait dengan amandemen UUD 1945, terjadi perdebatan yang sengit mengenai masalah-masalah dasar negara dan agama. Diskursus baru bisa diakhiri setelah tiga tahun terjadi pertarungan ide dan gagasan. Fraksi PDIP, fraksi KKI, dan fraksi PDKB yang dapat dikelompokkan sebagai partai yang beraliran nasionalis-sekuler-dan reformis moderat berpandangan bahwa Pancasila perlu masuk dalam pasal-pasal UUD. Sedangkan partai-partai yang menjadikan Islam sebagai asas dan cita-citanya berpandangan sebaliknya. (Pamungkas 2011: 163)
Dalam masalah agama dengan konteks keberlangsungan pasal 29 UUD 1945, terjadi perdebatan tentang Piagam Jakarta yang ingin dimasukkan dalam amandemen. Partai-partai Islam tentu menjadi pendukung mengenai wacana dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam amandemen, sementara di pihak yang lain partai-partai nasionalis dan Kristen menolaknya.
Hingga pada akhirnya kedua fraksi yang saling bersilang pendapat mencapai kompromi. Mereka bersepakat bahwa Pancasila dan Piagam Jakarta tidak dimasukkan dalam pasal-pasal, tetapi kompensasinya adalah dimasukkannya kata-kata "Iman, Taqwa, dan Akhlaq" dalam bab pendidikan. Menurut hemat kami, hal tersebut terjadi karena karakteristik seorang Muslim yang legowo dan ikhlash dalam menggapai cita-cita yang gagal diperjuangkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H