Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merdeka Itu Harus Memerdekakan!

20 Agustus 2012   15:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

... bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan satu jembatan emas ...  di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita ... (Ir. Soekarno)

--------------------------------

Memang perayaan HUT kemerdekaan RI telah lewat, namun perenungan HUT Kemerdekaan itu masih menyisakan suatu tanda tanya, terutama pada waktu kemudian banyak juga orang menggugat “apakah betul kita ini sudah merdeka ?” Tentu sekali-sekali pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk mempertanyakan legitimasi dari proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Konteks mempertanyaan “apakah kita sudah menjadi bangsa merdeka” itu lebih memperhatikan -- atau tepatnya memprihatinkan --- kondisi kita sebagai bangsa hari ini yang walaupun telah 67 tahun merdeka, walaupun pertumbuhan ekonomi tanpaknya baik-baik saja, namun masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, seperti misalnya kita belum merdeka karena secara ekonomi masih banyak rakyat kita belum dapat merdeka dari belenggu kemiskinan, atau barangkali kita memprihatinkan secara politik walaupun kita telah mempraktekkan demokrasi, toh masih terbelenggu kepentingan sempit dari kelompok (yang direpresentasikan oleh partai), sehingga belum banyak orang yang dengan tulus mengurus negara ini. Atau mungkin kita prihatin, dari zaman orde lama, orde baru hingga orde reformasi ini, kita tidak juga lepas dari belenggu korupsi. Belum lagi masalah wujud dominasi asing yang masih terjadi, walaupun bukan dalam wujud penjajahan, namun berbentuk investasi langsung termasuk kepemilikan saham terhadap unit usaha penting, ketergantungan pada impor termasuk barang kebutuhan pokok.

Namun itulah kenyataan yang terjadi. Pidato di hari lahirnya Pancasila oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 menegaskan bahwa political independence (dari penjajahan Jepang) adalah satu jembatan emas, menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kemerdekaan tidak bisa menunggu segala sesuatunya siap, tapi dalam kemerdekaan itu kita mau memerdekakan rakyat Indonesia. Semangat seperti inilah yang barangkali perlu menjadi semangat kita bersama hari ini, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Soekarno – Hatta dan para pendiri republik ini adalah peletak dasar kemandirian politik, menegakkan kepala bangsa Indonesia setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun kemerdekaan itu bukankah bukan tujuan akhir ? Kemerdekaan itu adalah pekerjaan besar untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari kondisi terjajah menjadi merdeka yang sebernarnya, yaitu cita-cita yang diletakkan di seberang jembatan emas, sebagaimana tertulis di keseluruhan Pembukaan UUD ’45.

Merdeka yang sebenarnya adalah saat kemerdekaan itu bisa memerdekakan, bisa membawa bangsa ini menuju cita-cita kemakmuran. Masih banyak belenggu-belenggu yang harus dipatahkan, dan itu bukan untuk dibicarakan, diperdebatkan namun dikerjakan. Karena itu, menilai kemerdekaan itu seharusnya berangkat dari diri kita sendiri, apakah saya sudah merdeka dan apakah kemerdekaan saya dapat memerdekakan orang lain. Kita membutuhkan banyak pelopor di berbagai bidang untuk membawa Indonesia meraih cita-citanya. Merdeka itu haruslah memerdekakan. Kalau hati kita merdeka namun kita maknai sebagai kenikmatan diri saja, maka sesungguhnya kita pun belum merdeka. Karena merdeka itu adalah jembatan emas, merdeka itu sarana, bukan tujuan.

Kita patut bersedih, saat melihat Indonesia yang telah demikian maju, semakin banyak orang pintar, semakin banyak orang berkesadaran politik, semakin banyak orang yang ber hati merdeka, bukan lagi berjiwa inlander, namun tidak menggunakan kemerdekaannya itu untuk memerdekakan orang lain. Alih-alih bekerja sama membangun bangsa, yang terjadi justru saling mencari kesalahan, dan berebut kekuasaan. Bukankah kata pendahulu kita, negara ini dibangun atas dasar akar budaya “gotong royong” ? Tapi yang terjadi kegotongroyongan itu kini digantikan oleh kepentingan sempit kelompok dalam bungkus demokrasi yang semakin hari kian liberal saja.

Kemerdekaan yang memerdekakan itu haruslah dikibarkan laksana sang saka merah putih di angkasa. Mengapa kita mengibarkan bendera merah putih? Karena membangun bangsa ini harus didasarkan oleh merahnya keberanian dan putihnya kesucian secara bersama-sama. Siapa yang hanya menaikkan bendera merah saja akan menjadi orang yang tangguh, kuat namun keblinger kekuasaan dan mementingkan diri sendiri. Tapi orang yang hanya mengibarkan bendera putih saja, barangkali tinggal “mandeg padito”, hanya sanggup prihatin tanpa keberanian mempelopori perubahan, terpinggir tanpa daya di tengah arus kekuatan-kekuatan yang ada.

Sekali lagi, kita memang telah merdeka. Jembatan emas telah dibangun, menantikan para ksatria yang mau bersama-sama membawa bangsa ini menuju masyarakat adil dan makmur di seberang sana. Kita tidak perlu menunggu siapa “satria piningit” itu, barangkali kita ini satu diantaranya. Jadi ingat kutipan pidato John F Kennedy iniask not what your country can do for you - ask what you can do for your country.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun