Isu kesehatan mental ramai dibicarakan belakangan ini. Di Indonesia sendiri, media sosial sampai media mainstream mulai ramai mengangkat isu ini paling tidak baru dalam beberapa tahun terakhir.Â
Memang, kesadaran tentang isu ini di Indonesia masih sangat minim dibandingkan negara-negara lain di dunia. Orang-orang menganggapnya tabu, sepele, bahkan sampai menghubung-hubungkan keimanan seseorang yang mengalami masalah ini.
Kita baru saja mulai membicarakan ini, setelah sebelumnya masyarakat, media, atau pemerintah  tidak pernah mengangkat masalah ini.Â
Layaknya anak kecil yang baru belajar berjalan, yang memiliki masalah keseimbangan saat menggerakan kakinya karena belum pernah berdiri sebelumnya, kita menghadapi masalah untuk mengerti isu ini, karena belum pernah terbiasa berdiskusi, membaca paper ilmiah, atau berkonsultasi dengan profesional.Â
Akhirnya, seperti selama ini reaksi yang muncul di masyarakat ketika mendengar sesuatu yang baru mereka dengar -- , muncul stigma, spekulasi, sampai penghakiman terhadap orang-orang yang mengalami masalah mental.
Riuh di ruang publik semakin diperkuat dengan perilisan film Joker, film produksi DC Films yang menceritakan kisah seseorang dengan keadaan mentalnya yang terganggu.Â
Belum selesai kita menghadapi masalah stigma dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang masalah mental, muncul fenomena baru lagi yang tidak lebih baik dibanding masalah tersebut.
Stigma, glorifikasi gangguan mental dan self-diagnosis adalah tiga fenomena vital yang perlu disadari keberadaannya di ruang publik, selain membicarakan isu kesehatan mental itu sendiri. Fenomena-fenomena ini penting disadari karena menghalangi kita dalam berdiskusi masalah ini dengan lebih objektif.
Stigma
Kurangnya pengetahuan tentang isu kesehatan mental dalam masyarakat adalah hal yang sangat bisa dimengerti, mengingat kurangnya sumber informasi, minimnya pembicaraan di level pengambil kebijakan publik, dan tentu saja, isu yang tergolong baru - setidaknya bagi masyarakat kita - dan unik.Â
Stigma mulai berkembang terlebih ketika sumber informasi tentang isu kesehatan mental ini hanya didapat dari gambaran-gambaran novel, film, atau sumber-sumber lain yang terlalu mendramatisir fenomena ini.Â