Mohon tunggu...
edellice
edellice Mohon Tunggu... Wiraswasta - mahasiswa

halo! saya adalah mahasiswa semester 3 jurusan akuntansi di Universitas Kristen Duta Wacana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Apa Itu Tax Evasion bagi Wajib Pajak di Indonesia

19 Desember 2022   14:14 Diperbarui: 19 Desember 2022   14:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 memiliki definisi kontribusi wajib bagi negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya keperluan rakyat. Pungutan pajak ini nantinya akan digunakan sebagai anggaran untuk membiayai pengeluaran pemerintah, dan juga sebagai parameter untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi di Indonesia. Artinya, pajak dibayarkan oleh masyarakan dan akan kembali lagi untuk masyarakat.

Di Indonesia, terdapat 3 pembayaran pajak, yang pertama adalah Official Assessment System, dimana perhitungan pajak dilakukan oleh pemerintah, dan utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh pemerintah. Sistem kedua adalah Self Assessement System, pada sistem ini, wajib pajak sendiri bersifat aktif. 

Wajib pajak yang menentukan seberapa besar pajak terutang, mulai dari menghitung, menyetorkan, hingga melaporkan pajak yang terutang, dan tidak ada andil pemerintah dalam sistem ini. Sistem pemungutan yang terakhir adalah With Holding Assessement System, sistem melibatkan pihak ketiga selain wajib pajak dan pemerintah untuk menentukan besarnya pajak terhutang.

Seperti yang kita tahu, pajak bersifat wajib, dan akan terdapat sanksi berupa denda bagi wajib pajak yang tidak melakukan kewajibannya sebagai wajib pajak. Semakin besar pendapatan yang kita dapatkan, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Hal ini membuat banyak wajib pajak melakukan penggelapan bahkan penghindaran untuk membayar pajak. Peristiwa ini dikenal juga dengan sebutan Tax Evasion.

Tax Evasion sendiri memiliki definisi berupa pelanggaran dalam perpajakan dalam melakukan skema penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan, bahkan beberapa wajib pajak yang harus dibayarkan, bahkan beberapa wajib pajak sama sekali tidak membayar pajak terutang yang harus dibayarkan melalui cara-cara yang ilegal. Penggelapan pajak terjadi sebelum Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan. Tax Evasion termasuk kedalam pelanggaran Undang-Undang karena bertujuan untuk melepaskan diri dari pajak atau mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya.

Kasus Tax Evasion ini seringkali terjadi di Indonesia, penyebabnya karena kebijakan pemerintah yang mengatuhr tentang Tax Evasion masih dapat dikatakan lemah. Sehingga selalu ada celah bagi wajib pajak 'nakal' untuk menggelapkan pajak. Kasus nyata dari Tax Evasion ini adalah penggelapan pajak atas transaksi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp24,4 Miliar.

Kejadian ini dilakukan oleh seorang pria berinisial D di Sumatera Selatan.  D melakukan penggelapan pajak atas Bahan Bakar Minyak (BBM). Mendengar berita tersebut, Tim Penyidik Direktorat Penegakan Hukum Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen Pajak) menyita 4 truk tangki Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai barang bukti dan menetapkan D menjadi tersangka. Ditjen Pajak juga menemukan fakta baru berupa penggelapan pajak telah dilakukan oleh D sejak Januari 2017 sampai Desember 2018. Oleh karena penggelapan yang dilakukan oleh D, negara mengalami kerugian hingga Rp24,4 Miliar.

Tersangka (D) dikenakan sanksi pasal 39A Pasal 43 ayat 1 Undang Undang Nomor 6/1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dia dapat diancam pidana penjara paling sedikit 2 tahun hingga paling lama 6 tahun, dan juga sanksi berupa denda minimal 2 kali hingga 6 kali jumlah pajak dalam faktur pajak. 

Namun, sesuai dengan ketentuan Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum Pajak (UU KUP), D masih memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya agar penyidikan dapat dihentikan, yaitu dengan cara membayar kerugian pada pendapatan negara beserta sanksi. Penyidik Ditjen Pajak juga menyebut bahwa penegakan hukum pidana perpajakan bukan hanya bertujuan untuk memberikan efek jera, namun juga sebagai upaya untuk memulihkan kerugian pada pendapatan negara.

Oleh karena itu, sebagai wajib pajak kita harus membayarkan sesuai dengan kemampuan kita. Di Indonesia sendiri kita memiliki fasilitas berupa Tax Avoidance, hal ini merupakan tindakan yang legal karena apabila dirasa tidak mampu membayarkan pajak, maka kita dapat mengajukan keberatan dan meminta keringanan untuk membayarkan pajak terutang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun