Berbicara tentang korupsi, mungkin tidak akan pernah berakar. Sejak zaman orde lama hingga zaman reformasi, korupsi itu selalu ada. Padahal, kalau kita flashback salah satu hal yang menjadi pemicu tumbangnya masa orde baru adalah karena KKN yang merajalela. Namun, di era reformasi saat ini kasus korupsi tidak sebanding dan lebih menggila dari zaman-zaman sebelumnya terutama di era orde baru. Kita sepertinya kurang belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Penegakan hukum dalam konteks penanganan masalah korupsi sepertinya sangat lemah. Hukum yang semestinya sebagai panglima yang menjadi garda terdepan dalam memerangi masalah korupsi justru di desain sedemikian rupa sehingga tampak bahwa penegakan hukum masih permisif dengan masalah korupsi.
Masalah korupsi di Indonesia sudah sangat mengakar dan mustahil untuk dituntaskan secara menyeluruh. Namun, para elit-elit politik dan para penegak hukum sepertinya kurang peka terhadap persoalan korupsi. Padahal, korupsi akan menentukan masa depan bangsa. Kekurangpekaan tersebut sangat tampak dalam upaya penanganan yang dimulai dari pencegahan hingga pemidanaan "cenderung" memperhatikan pertimbangan politis dan mengesampingkan pertimbangan yuridis.
Dalam perspektif hukum, salah satu cara yang dapat mencegah terjadinya kasus korupsi adalah dengan menerbitkan Undang-Undang yang memberikan hukuman yang setimpal mungkin bagi koruptor. Namun, hukuman/sanksi yang ditegaskan dalam Undang-Undang yang diterbitkan sepertinya belum memberikan efek jera bagi koruptor. Padahal, hakekat dari dari sanksi/hukuman yang divonis merupakan upaya untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi serta menjadi preseden bagi orang lain sehingga ada perasaan takut untuk melakukan korupsi. Namun, pada kenyataannya sanksi pidana terhadap koruptor dinilai masih ringan, tidak sebanding dengan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh tindakan yang dilakukannya. Hal ini semakin diperparah dengan keputusan pengadilan yang kadang-kadang di luar bunyi Undang-Undang. Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah mereka yang melakukan korupsi berhak memperoleh remisi. Dengan demikian, penjatuhan sanksi pidana terhadap koruptor adalah sesuatu yang sia-sia karena ujung-ujungnya akan memperoleh remisi sehingga berhak bebas bersyarat.
Lemahnya penegakan hukum akan menjadi pintu masuk bagi orang untuk melakukan korupsi. Sehingga, korupsi akan dipandang seolah-olah seperti sebuah "prestasi" yang mana "segelintir orang" berlomba-lomba untuk meraihnya. Pemberian remisi untuk narapidana koruptor menyinyalirkan seolah-olah korupsi merupakan sesuatu yang jangan diperangi melainkan harus dimaklumi. Pemerintah dan aparat penegak hukum kurang serius terhadap persoalan korupsi. Banyak sekali kasus korupsi yang terjadi yang kerugian Negara mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah, namun respon dari pemerintah dan para penegak hukum sepertinya santai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H