Mohon tunggu...
Erick Erdeuny
Erick Erdeuny Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S1 Teknik Mesin dan Biosistem IPB

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Paradoks] Idealisme Kentut

25 April 2011   15:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari yang lalu, saya dan istri masuk angin. Imbasnya dalam kamar kontrakan ukuran 3x3m yang sesak di tanah Ibu Kota, kami melakukan “parade kentut”... namun yang menarik adalah bukan hanya sekedar “parade kentut” biasa, dari sana timbul berbagai macam obrolan yang menggelikan terutama memang tentang negeri Indonesiaku ini yang berkaitan dengan kentut. Dari tingkah laku pemimpinnya yang pada gede bunyinya sampai rakyatnya yang malu dan memilih untuk tidak mengakui kalo kentut dalam keramaian, bahkan malah mencari kambing hitam. Sampai larut malam kami berbincang tentang kentut, tak ada habisnya memang kalo sudah nyangkut masalah pemimpin negeri ini, dari yang tadinya saling jabat tangan sampai-sampai di ujung obrolan urat syaraf menegang dan lain halnya.

Istri saya bertanya: “Mas, kenapa kentut yang bunyi gak bau sedangkan kentut yang gak bunyi bau?”

“kalo kentut yang gak bunyi kan gak ada pertandanya di awal, jadi bau nya itu sebagai pertanda kalo ada kentu buat ngasih tau ke orang lain. Nah kalo yang bunyi, kan sudah ada pertanda di awal jadi gak usah ada baunya, hee ” jawab saya polos.

“bukan Mas! Kalo kata aku, kentut itu pada niru politikus kita”

“loh kok begitu?” saya heran atas jawaban istriku

“para politiku itu, kalo mereka yang korupsi pasti diem-diem, sembunyi-sembunyi kayak mau kentut. Tapi berhubung ada KPK (Komisi Pemberantasan Kentut) sesembunyi apapun pasti ketauan baunya. Nah terus, mereka para politikus di negeri ini cuma gede omongnya ajah! Berkoar-koar ngritik orang, tapi saat mereka salah, mereka enggan mengaku dengan lapang dada dan meminta maaf. Kayak orang kentut tapi malah cari kambing hitam”

“Ohhh...” saya tertegun menopang dagu sembari memikirkan omongan istri saya, sambil menyeruput kopi yang rasanya semakin pahit di malam yang semakin pekat.

Lalu bagaimana dengan anda, beranikah untuk mengakui kesalahan seperti mengakui kentut saat di keramaian?

Dan saya minta maaf bila saya kentut di hadapan, di belakang, atau di samping anda-anda semua. Di busway, bis kota, di mall, di pasar atau di gedung DPR saya kentut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun