Mohon tunggu...
Eddy SATRIYA
Eddy SATRIYA Mohon Tunggu... -

Kolumnis di berbagai media cetak dan elektronik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Taksi, Kemacetan, dan Otak Pemimpin

16 April 2014   14:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak jarang kita harus membayar Rp 5.000-7.000 hanya untuk sekedar mendrop seseorang ketika masuk sebuah mall tertentu yang hanya butuh waktu kurang dari lima menit. Begitu pula untuk hotel yang berada dalam area yang parkirnya di kelola oleh perusahaan lain, juga diperlakukan sama. Pengenaan tarif parkir buat taksi yang berbeda perusahaan (merk) selain taksi yang dibolehkan "mangkal" di hotel atau mall tertentu terkadang juga memicu pertengkaran antara penumpang yang tidak paham harus membayar dengan supir taksi.

Memang ada beberapa hotel atau mall yang masih memberlakukan "grace periode" atau tenggat waktu tertentu seperti kurang dari 5 menit masih menggratiskan, namun jumlahnya sekarang semakin berkurang.

Selain kedua hal tersebut, juga adanya pembatasan tambahan seperti perlakuan stikerisasi di bandara yang melarang taksi kosong masuk area bandara serta tidak bolehnya taksi berhenti di area strategis,juga menjadi penyebab utama orang tetap menggunakan kendaraan pribadi. Dari sebuah survey kecil yang saya lakukan kepada beberapa supir taksi yang punya langganan, mereka mengeluhkan jika harus menjemput pelanggan mereka ke bandara karena jika tidak berstiker mereka tidak boleh masuk. Akhirnya mereka juga harus putar otak untuk bisa menjemput pelanggannya. Mulai dari sekedar kucing-kucingan dengan petugas atau menyogok, atau membawa saudara dari pelanggan itu dari rumahnya. Terkadang dia harus melakukan pendekatan kepada orang di area tertentu untuk menjadi sekedar joki. Ironisnya, untuk Terminal 3 taksi yang sudah berjasa mengantarkan penumpang yang menjadi konsumen Angkasa Pura, ketika keluar dari lokasi parkir harus membayar sebesar Rp 4.000. Mungkin pikiran managemen Angkasa Pura, "enak aja luh dapat penumpang kakap dan harus berbagi dong sama kami!". May be yes, may be yes!

Tiga kondisi di atas, ketidakbebasan jalur taksi, pengenaan parkir atau retribusi dalam berbagai bentuk lain, dan berbagai bentuk pembatasan tambahan itu  jelas membuat memaksa orang untuk membawa mobil sendiri atau menyuruh supir untuk melakukan penjemputan yang pada ujung nya menambah kemacetan.

Selain ketiga kondisi di atas, tidak jarang kita temui kelakukan pengemudi taksi sendiri yang memilih-milih penumpang juga sering kali memaksa orang untuk membawa lagi kendaraan pribadi. Kelakuan buruk ini sudah sangat "notorius" untuk berbagai bandara, termasuk di Sukarno Hatta, Bandara Juanda, dan Stasiun KA Bandung.

Ketika akses bandara M1 masih dibuka, tidak jarang supir taksi malah berulah jika kita meminta harus lewat belakang menuju arah Serpong. Padahal kondisi atau lokasi tujuan memang memaksa harus lewat daerah Tangerang. TEntu akhirnya kita akan memaksakan diri untuk menjemput saudara atau orang tua yang datang dari daerah atau menyuruh supir untuk melakukan penjemputan. Hal ini tentu akan berimbas kepada tambahan kemacetan.

Ketika menginap di sebuah hotel berbintang 5 di Yogyakarta saya temukan dua orang supir taksi yang menggunakan argo meter menjawab, "mereka nakal pak, kami selalu dikasi yang buangan!", ketika saya betanya mengapa harus cukup lama menunggu taksi, padahal ketika jogging di sekitar pelataran parkir saya melihat banyak taksi stand bye. Rupanya conscierge atau bell boy di hotel tersebut mengupayakan agar tamu yang membutuhkan taxi sedapat mungkin menggunakan taksi hotel. Sungguh suatu keteledoran yang tidak perlu, karena hanya mengharapkan komisi.

***

Untuk kota Bandung, saya pernah berargumen kepada seorang teman bahwa dengan membereskan taksi dikota itu, saya jamin kemacetan Bandung di akhir pekan atau libur panjang akan bisa berkurang. Usulan kreatif saya ini semula dicibir oleh seorang teman yang pakar perencanaan kota. Tetapi setelah saya jelaskan ia mulai "mantuk-mantuk" mengaminkan.

Saya sampaikan kepadanya, jika pemkot bandung yang sekarang dinakhodai oleh Ridwan Kamil mampu membereskan taksi kota, maka kemacetan akan berkurang, tegas saya.

Pertama, taksi di stasiun kereta dan Bandra harus dirapikan dan diatur antrian yang baik serta harus memakai argo dengan jumlah pembayaran minimum tertentu, sehingga Sang Supir taksi tidak harus mengomel dan merasa dirugikan jika penumpang ternyata harus di antar ke lokasi yang tidak terlalu jauh (argo rendah). Jika kota-kota sedang lain bisa, Bandung mestinya bisa mengatur stasiun KA dan Bandara mereka. Jika memang sulit mengaturnya, taksi gelap yang selama ini beroperasi tetap diberikan jatah dengan aturan yang ketat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun