Untuk kesekian kalinya masyarakat Indonesia kembali  terperangah dengan penetapan Hadi Purnomo (HP) (terakhir sebagai Kepala BPK) sebagai tersangka kasus pajak pada tanggal 21 April 2014 kemaren oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Orang lain bisa saja terperangah, kaget dan seakan tak percaya, tetapi saya telah menunggu-nunggu cukup lama. Betapa tidak? Bagi yang telah lama berpengalaman di birokrasi, pengangkatan HP dari eselon 3 langsung menjadi eselon 2 dan tembus eselon 1 sebagai Dirjen Pajak dalam kurun waktu kurang 5 tahun, jelas meninggalkan tanda tanya besar. Terlebih lagi di usianya yang telah lewat usia pensiun, HP masih pula diangkat sebagai Kepala BPK hingga mencapai usia 67 tahun.
Jelas ada udang di balik batu! Belum lagi lonjakan nilai kekayaannya yang fantastis dalam beberapa tahun terakhir juga membuat curiga. Ringkasnya, pengangkatan HP menjadi Dirjen Pajak, sebagai Kepala BPK dan masalah lain seputar birokrasi yang dijalankannya memang perlu mendapat perhatian pemeriksa. Sayangnya, aparat di BPK sendiri tumpul. Rasa keadilan masyarakat tertegakkan dengan keberadaan KPK dan langkah yang telah diambil dengan penetapan HP sebagai tersangka di hari Kartini kemaren. BPK lebih garang ketika memeriksa instansi lain.
***
Dalam satu dekade terakhir ini memang birokrasi sedang menuju titik nadir. Banyak blunder yang terjadi, utamanya tidak segera memperbaik gajiaparatnya, tidak menetapkan sistem untuk berbagai masalah kunci, dan lebih banyak mengerjakan formalitas yang tidak perlu dan tidak langsung memperbaiki situasi birokrasi yang sering digaungkan dengan Reformasi Birokrasi (RB).
Masalah Gaji, tidak pernah menjadi prioritas penyelesaian selama 2 masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu. Alih-alih memperbaiki sistem dan besarnya gaji aparat, pemerintah dengan didorong kantor Menpan dan Kemkeu malah menggelontorkan Remunerasi. Â Celakanya lagi, kantor Kemenkeu dengan jumlah pegawai mencapai 65 ribu orang justru dijadikan referensi sistem remunerasi baru. Kemenkeu bisa menikmati paket remunerasi yang menjadi referensi dengan indeks 100. Sementara kantor lain hanya boleh maksimum berkisar 50-70. Â Akibatnya jelas terjadi proses dimana pejabat tidak mementingkan lagi pekerjaan mereka sehari-hari, mereka berebutan untuk mendapatkan jabatan. Struktur sebelumnya yang cukup baik sudah berhasil dijalankan - dimana tidak terdapat perbedaan mencolok antara yang punya jabatan dengan yang fungsional - Â seperti dilupakan. Tidak heran, bisa terjadi loncat eselon seperti HP, dari eselon 3 langsung ke eselon 1. Disamping itu kesenjangan antara Kemenkeu dengan kantor lain semakin lebar.
Di sisi lain, sistem, berbagai sistem birokrasi yang menjadi acuan gerak roda pemerintahan bukannya diperbaiki, malah dirusak. Berbagai capaian bagus yang telah ditorehkan pemerintah sebelumnya malah semakin buruk. Beberapa sistem yang menjadi busuk adalah dengan diresmikannya staf khusus di berbagai tingkatan sebagai jabatan struktural. Alhasil, untuk kementerian yang dipimpin oleh Menteri yang berasal dari partai politik yang kental nuansa balas jasa, maka banyak orang parpol yang kemudian menduduki staf khusus.
Kondisi ini akhirnya memicu ketidakserasian antara staf khusus yang sehari-hari mendampingi Sang Menteri dengan pejabat struktural yang biasanya berasal dari pejabat karir. Dalam berbagai kondisi dimana diperlukan proses pengambilan keputusan penting dan mendasar untuk kemashalatan publik, sering pejabat struktural mengalah untuk berargumentasi dan mempertahankan pendapat. Selain Sang Menteri biasanya lebih mendengar staf khusus, juga pejabat struktural tentu saja lebih aman dengan langkah "safety first", cari selamat, yang penting jabatan tidak lepas. Karena itu tadi, jabatan lepas, tunjangan dan jabatan lain seperti komisaris bisa lepas dan anda akhirnya "back to basic". Tidak semua Kementerian/Lembaga (K/L) apes disesaki oleh staf khusus dari parpol, ada juga K/L yang mendapat staf khusus dari kaum Profesional yang baik.
Tidak bakunya dan sangat berubah-ubahnya prosedur pemrosesan, perencanaa, hingga pencairan anggaran dari tahun ke tahun juga sangat mempengaruhi sikap seorang pejabat atau aparat. Aturan terkait pencairan anggaran untuk proyek fisik misalnya sering berubah-ubah. Nyaris setiap tahun diperbaiki. Begitu pula untuk biaya perjalanan dan akomodasi serta tata cara rapat/konsineering dan besarnya uang rapat, selalu berganti-ganti dan sangat membuat ketidaknyamanan.
Di samping itu, secara sistem tidak ada kejelasan tentang pembinaan karir. Pelatihan dan pendidikan semakin tidak terstruktur. Tidak jelas lagi apakah untuk jabatan tertentu memang dibutuhkan pelatihan atau tidak. Karena tidak jarang banyak pejabat diangkat tanpa melalui prosedur baku. Ada yang mengharuskan pelatihan tertentu, namun tidak sedikit yang kemudian bisa masuk ke dalam list Kepres lalu bisa menjadi pejabat di berbagai instansi. Jelas kondisi ini memperburuk situasi birokrasi.
Dari berbagai contoh kerusakan sistem di atas, jelas ujung-ujungnya seorang pejabat harus memikirkan masa depannya dengan cara lain. Salah satu cara itu adalah dengan melakukan penyimpangan, baik yang ia rencanakan matang-matang, atau memanfaatkan tawaran pihak lain yang berencana matang, atau hanya sekedar memanfaatkan kesempatan yang memang tersedia di depan mata. Permainanan politik yang perlahan tapi pasti masuk ke ranah birokrasi jelas memperburuk keadaan.
Selain dua masalah utama tadi, Gaji dan Sistem yang tidak pernah diperbaiki dengan serius dan konsisten, situasi juga kembali ke "square one" ketika program Reformasi Birokrasi yang diluncurkan pemerintah hanya berkutat kepada masalah formalitas. Banyak langkah diambil dengan biaya yang tidak sedikit justru malah memboroskan anggaran yang seharusnya bisa secara langsung memperbaiki tingkat gaji. Banyak program-program formalitas yang menghabiskan dana dan tenaga harus dilalui untuk sekedar memperbaiki tunjangan atau remunerasi.
***
Banyak masalah lain yang masih menjadi PR pemerintah maupun DPR untuk memperbaiki kondisi birokrasi pemerintahan agar bisa berjalan sesuai harapan yang bebas KKN dan juga kompetitif dengan kondisi dan tuntutan regional. Sayangnya berbagai usaha ini masih belum terintegrasi.
Dari ketiga pokok bahasan di atas, tingkat gaji, sistem, dan formalitas, jelas terlihat  bagaimana seorang pejabat di era sekarang harus mensiasati kondisi birokrasi yang ada. Ia harus tahu persis memainkan kartu trufnya untuk dapat mempertahankan gaya hidup. Pejabat itu harus bisa berperan multi fungsi dan terkadang berkepribadian ganda untuk menjalankan berbagai peran diatas hingga bisa tetap awet dalam posisi jabatan yang saat ini ditempati. Lengah sedikit, jabatan bisa hilang. Dalam kondisi birokrasi berjurang terjal dan berbahaya itulah seorang HP harus mempertahankan eksistensinya. Jika perlu memang melewati batas usia pensiun yang layak untuk seorang manusia yang tidak tak terbatas kekuatan dan kesehatannya.
Ketidakjelasan sistem membuat seorang HP dalam usia diatas 60 tahun masih harus berkutat dengan masalah birokrasi yang sangat memeras otak, tenaga dan konsentrasi. Di tambah semakin canggih dan kompleksnya masalah politik jelas menambah tantangan yang tidak sedikit kepada beliau yang juga menjabat salah satu lembaga tinggi negara. Banyak pelajaran bisa di ambil, namun sebenarnya dan sudah seharusnya menjadi keseharian aparat yang sudah cukup jam terbang.
JIka ada yang harus dikoreksi, mungkin langkah KPK perlu dipertanyakan. Penetapan HP sebagai tersangka persis pada hari ulanga tahunnya yang ke 67 itu memang terasa kurang etis, meski tidak salah. Sebaiknya kita tidak usah jumawa meskipun sedang berkuasa.
Sekali lagi, penetapan tersangka HP tidaklah harus mencengangkan kita, sebagian orang memang sudah menunggu-nunggu, dari dulu.
Semoga kita semua terjauhkan dari hal serupa. Semoga pula Presiden baru nanti mengerti benar akan pentingnya sistem, bukan hanya figure. Amin.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H