Berbagai nama muncul untuk menjadi Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Silih berganti, bahkan jauh hari sebelum pemilu legislatif. Nyaris setiap partai besar dan yang merasa masih besar dengan besar hati serta penuh percaya diri telah pula mengusung nama Ketua Umum (Ketum) mereka sebagai Capres, bukan Cawapres. Kita merasakan eforia politik partai yang sangat kental dalam satu tahun ini.
Namun seiring berjalannya waktu, dan setelah hasil pemilu legislatif memperlihatkan hasil sementara, pelan-pelan namun pasti, ekspektasi dari elite partai juga disesuaikan. Kita mengetahui hasil pemilu legislatif tidak memunculkan partai dominan, semua nyaris membagi porsi yang hampir sama. Kita mengetahui tidak satupun partai menuai hasil di atas 20 persen. PDIP akhirnya menjadi pemuncak (19%) disusul Golkar (15%) Â dan Gerindra (12%). Partai Demokrat (PD) ternyata dengan cukup meyakinkan masih dapat meraup suara hampir mencapati 11%.
Hingga saat ini tinggal dua nama yang masih percaya diri dan dipercaya  untuk tetap dijadikan Capres oleh partainya, yaitu Jokowi (PDIP) dan Prabowo (Gerindra). Yang lain seperti Abu Rizal Bakrie (ARB) dan Hatta Rajasa (HR) sudah mulai menurunkan target menjadi Cawapres saja. Beberapa nama itupun masih belum tentu mendapatkan tempat untuk berduet dengan Capres yang diharapkan. Sementara konvensi PD yang sempat hilang gaungnya bisa saja menimbulkan kejutan baru dalam beberapa hari mendatang, atau melempem sama sekali.
Memang menjadi sedikit mudah bagi Capres untuk memilih wakilnya, sebaliknya tidaklah demikian untuk Cawapres yang harus berjuang keras mencari pasangan Capresnya. Di tengah kegalauan ARB dan HR mencari pasangannya, kemudian muncullah nama Ginanjar Kartasasmita (GK) untuk mengisi salah satu kandidat Cawapres. Dari sisi Golkar, ini mungkin salah satu cara yang terbaik untuk menyelamatkan muka mereka. Bukankan jauh lebih bagus ARB bermain sebagai KEtum saja di belakang layar, namun dominasi Golkar di eksekutif dan legislatif tetap berkiprah seperti selama ini terjadi. Sementara itu, HR bisa saja menjadi was was dan gelisah jika Prabowo akhirnya melirik sosok lain untuk menjadi Cawapres mereka.
Mengapa GK?
Ginanjar adalah sosok senior yang punya pengalaman sebagai birokrat andal. Meski berasal dari Angkatan Udara, GK lebih dipahami sebagai birokrat yang mampu bertindak dengan lugas dan cekatan ketika beliau memimpin berbagai institusi pemerintahan. Ia telah menjalani berbagai tugas birokrasi dengan baik di berbagai lembaga atau unit penting. Terakhir beliau melaksanakan tugas sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas yang sekaligus merangkap sebagai Menko Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sebelum Suharto lengser dari tampuk kekuasaan pada awal era reformasi 1997-98.
Mencuatnya nama GK diantara nama cawapres, tentu saja menimbulkan harapan perbaikan baru bagi birokrasi yang saat ini sangatlah amburadul. Memang sejak satu dasawarsa terakhir ini, meski digembar-gemborkan Reformasi Birokrasi (RB), kondisi birokrasi semakin memperhatikan. Hal ini dipicu dengan dilegalkannya staf khusus mulai dari lembaga kepresidenan hingga kementrian yang akhirnya "meminggirkan" birokrat karir yang ada. Kondisi birokrasi ini diperparah pula oleh diterapkannya diskriminasi remunerasi yang ketika itu di putuskan dibawah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri PAN EE Mangindaan. Kondisi birokrasi semakin memprihatinkan sehubungan berbagai kebijakan yang diterbitkan di era KIB 1 dan KIB 2 yang akhirnya mendorong banyak pejabat untuk "mencari aman" saja, dari pada berkarya dan berjuang keras mencari terobosan namun beresiko atas dicopotnya yang bersangkutan dari jabatan.
Sosok seperti GK sangat dibutuhkan bangsa saat ini guna mendayung roda pemerintahan yang selalu nyaris dalam kondisi transisi. Tidaklah mudah jika orang baru sama sekali harus membenahinya. Di samping itu GK sudah terkenal kepiawaiannya dalam memimpin dan mengkoordinasikan kementerian dibawahnya dulu ketika masih menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas. Sebagai staf beliau ketika menyususn Repelita dan berbagai kebijakan strategis lainnya, penulis menyaksikan sendiri betapa GK mampu membuat para Deputi dan Kepala Biro (Direktur) tidak lagi "Asbun", tetapi benar-benar harus menguasai permasalahan. GK mampu memeriksa dan mengedit berbagai konsep pembangunan dalam waktu singkat dengan secara langsung melakukan koreksi pada naskah, bukan lagi memerintahkan deputi atau staf/sekretarisnya, tetapi langsung ditulis tangan sendiri dengan sangat jelas. GK mampu mendorong staf untuk bekerja giat dan sekaligus berani memarahi baik lisan maupun dalam tulisan. Singkat kata, jika GK memang bisa dimajukan sebagai salah seorang Cawapres saat ini, ia akan memainkan kartu yang cukup penting.
***
Selain sebagai birokrat dan politikus ulung, GK yang lulusan Denki Daigaku, TOkyo, pada tahun 1960-an ini juga menjadi tokoh nasional dengan berbagai idenya untuk menaikan taraf hidup petani dan sekaligus mendongkrak peran Sektor Pertanian di Indonesia. Seingat saya GK pernah mendorong agar umbi-umbian yang tumbuh subur di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Barat, agar bisa menjadi sumber pangan pokok alternatif pengganti nasi yang sangat rentan akan perubahan iklim, subsisdi, dan kebijakan impor.
Sosok GK yang berwajah ganteng pada zamannya dulu pernah menjadi sorotan media untuk sisi lain. Namun penilaian atas kecakapan beliau ataupun kekurangan jika ada biarlah kita serahkan saja kepada masyarakat. Satu yang pasti, dengan jam terbang yang tinggi di bidang pemerintahan dan birokrasi, saya merasa sosok GK memang dibutuhkan bangsa saat ini. Tajamnya persaingan, saling tuding, ataupun kampanye hitam yang dilancarkan dimedia antar sesama kubu Capres, mungkin akan mengalami perubahan dan dinamika yang semakin menarik jika GK memang pada akhirnya mendapat tempat sebagai salah satu Cawapres.
Let's see. Only time will tell.
_______
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H