Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Perlu Interpreter Saat Menyimak Pidato Raja Salman?

4 Maret 2017   12:44 Diperbarui: 5 Maret 2017   18:00 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : www.dubaitranslationservice.com

Pertemuan raja Arab Saudi, Salman, dengan 35 ulama dan tokoh Islam Indonesia di Istana Negara pada tanggal 2 Maret 2017 menjadi berita menarik. Menarik karena di media masa beredar foto sejumlah ulama menggunakan perangkat audio kepala (headset) yang berfungsi sebagai piranti untuk menyimak pidato raja Salman dalam bahasa Arab yang sudah dialihbahasakan oleh seorang interpreter ke dalam bahasa Indonesia.

Foto itu diviralkan tidak saja sebagai suatu sajian berita, tapi juga sebagai alat mengritik. Fokus kritiknya adalah : ulama yang harusnya fasih berbicara dan mendengar tuturan bahasa Arab kok masih perlu alat bantu penerjemahan? Intinya, para pengritik meragukan proficiency (kemahiran) bahasa Arab sejumlah ulama.

Saya tidak bermaksud membela para ulama atas kritik itu. Saya ingin sumbang sedikit pemahaman mengenai kendala-kendala bahasa dan kendala-kendala kerja interpreting berdasarkan pengalaman pribadi sebagai translator dan interpreter Indonesia-Inggris pada berbagai acara internasional.

Sumber : Biro Pers, Media dan Informasi, Sekretariat Kepresidenan
Sumber : Biro Pers, Media dan Informasi, Sekretariat Kepresidenan
Mula-mula mari kita pahami dulu kerja alihbahasa, terkhusus interpreting service seperti yang disediakan pada sesi-sesi pertemuan raja Salman dengan tokoh-tokoh Indonesia, atau dengan kata lain :  antara dua pihak yang saling tidak atau kurang memahami bahasa satu sama lain.

Interpreting adalah proses alihbahasa dari bahasa sumber (source language), misalnya bahasa Arab ke bahasa sasaran (target language) misalnya bahasa Indonesia secara lisan. Dalam dunia interpreting, dikenal dua cara, yakni consecutive interpretation dan simultaneous interpretation.

CONSECUTIVE INTERPRETING

Pada consecutive interpretation (alihbahasa berurutan)  penutur bahasa sumber akan berbicara satu atau dua kalimat, dan kemudian akan berhenti berbicara untuk memberi kesempatan kepada interpreter untuk menyampaikan tuturan dalam bahasa target, demikian seterusnya. Ini ilustrasinya :

Penutur bahasa sumber : “Ladies and gentlemen, it is an honor for me to be standing here in front of the great people who have worked hard to help save our precious environment

Interpreter : “Bapak dan ibu sekalian, merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini, di hadapan orang-orang hebat yang telah bekerja keras membantu menyelamatkan lingkungan kita yang amat berharga ini”

Penutur bahasa sumber : “Please allow me to use this opportunity to say that during the year or 2016 the people attending the meeting managed to cut down the level of marine pollution by 72%, which is a truly great effort for preserving our marine life for the sake of our future generation”

Interpreter : “Izinkan saya untuk menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan bahwa selama tahun 2016 orang-orang yang menghadiri pertemuan ini berhasil menurunkan tingkat polusi laut sebesar 72%, yang merupakan upaya hebat untuk melestarikan kehidupan laut demi generasi mendatang”

Dan seterusnya.

Consecutive interpretation bisa digunakan untuk dua pihak individual (masing-masing satu penutur bahasa sumber dan satu penutur bahasa sasaran), misalnya antara raja Salman dan presiden Joko Widodo ketika terlibat dalam pembicaraan pribadi; dan bisa juga digunakan oleh satu penutur bahasa sumber dengan puluhan atau ratusan penutur bahasa sasaran ketika seorang penutur bahasa sumber berbicara pada audiens besar. Pada pembicaraan dua individu,  interpreter akan memposisikan dirinya agak ke belakang di antara dua pihak dan akan berperan bergantian sebagai sebagai ‘mulut’ dan ‘telinga’ masing-masing pihak. Pada pidato di hadapan audiens, interpreter bisa pula berdiri jauh dari penutur sumber.

Panjang pendeknya tuturan bisa dilakukan berdasarkan kesepakatan antara penutur bahasa sumber dengan pihak interpreter. Tuturan biasanya pendek-pendek bila pidato dilakukan mendadak dan tanpa persiapan. Penggalan tuturan bisa lebih panjang bila pidato sudah dipersiapkan dan dengan demikian interpreter sudah punya salinan isi pidato, yang penerjemahannya sudah pula dipersiapkan oleh interpreter sebelum tampil di depan audiens.

SIMULTANEOUS INTERPRETING

Simultaneous interpretation (alihbahasa langsung) adalah cara alihbahasa yang dilakukan langsung ke dalam bahasa sasaran ketika penutur bahasa sumber berbicara, tanpa jeda untuk penyampaian hasil penerjemahan. Dalam pembicaraan antara dua pihak individual, posisi interpreter sama dengan posisinya dalam consecutive interpretation, yakni di antara kedua belah pihak. Bedanya : kedua belah pembicara bisa mengobrol tanpa terputus dan benar-benar mengandalkan interpreter sebagai ‘mulut’ dan ‘telinga’ secara bersamaan.

Seperti consecutive interpretation, simultaneous interpretation juga biasa digunakan untuk komunikasi antara (a) satu penutur bahasa sumber untuk audiens besar penutur bahasa sasaran (misalnya satu pembicara di hadapan audiens besar, (b) beberapa penutur bahasa sumber untuk audiens besar bahasa sasaran (misalnya satu panel pembicara di hadapan audiens besar).

Karena masing-masing penutur dan interpreter harus berbicara bersama-sama, sangat tidak mungkin bagi audiens untuk mendengar dua suara secara bersamaan. Itulah sebabnya perangkat audio khusus digunakan. Baik pembicara dan audiens memiliki satu set audio yang sama, terdiri dari satu mikrofon dan satu headset. Perangkat audio juga dilengkapi panel tombol pilihan bahasa. Jadi, bila dalam suatu pertemuan dua bahasa digunakan (misalnya Arab dan Indonesia) akan nada dua tombol yang masing-masing diberi tempelen tulisan: tombol 1 bahasa Arab, tombol 2 bahasa Indonesia. Bila pertemuan melibatkan lebih dari dua bahasa, maka akan tersedia sejumlah tombol sesuai dengan bahasa yang disediakan.

Seorang, atau beberapa interpreter yang menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran dalam hal ini akan bekerja di sebuah bilik (console room atauinterpreter’s booth) yang, berdinding kanan kiri kedap, kaca tembus padang untuk melihat ke depan, dan hanya diterangi lampu baca. Bilik biasanya berlokasi di bagian belakang ruang seminar, jauh di seberang  meja pembicara. Bila dalam pertemuan digunakan lebih dari dua bahasa, maka jumlah console room sama dengan jumlah bahasa yan gditawwarkan, masing-masing dipisah sekat agar suara mereka ketika berbicara tidak saling timpa.

Interpreter's Booth (www.saokhueconsult.com.vn)
Interpreter's Booth (www.saokhueconsult.com.vn)
Inilah ilustrasi proses alihbahasa simultaneous. Kita misalkan, dalam pertemuan itu, tiga bahasa digunakan, yakni Arab, Inggris, Indonesia. Sudah pula ditetapkan bahwa bahasa Arab tombol 1, bahasa Inggris tombol 2 dan bahasa Indonesia tombol 3.

Di meja depan seorang pembicara berbahasa Arab berpidato lewat mikrofon. Interpreter di console roommenekan tombol 1. Interpreter mendengar suara berbahasa Arab melalui headset. Ia kemudian langsung mengalihbahasakan pidato bahasa Arab ini ke dalam bahasa Indonesia melalui mikrofon.  Rekan interpreter yang berbahasa Inggris akan melakukan hal yang sama, tapi ia akan mengalihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Audiens yang ingin mendengarkan terjemahan pidato bahasa Arab dalam bahasa Indonesia tinggal tekan tombol 3, dan audiens yang ingin dengar terjemahan Arab dalam bahasa Inggris tinggal pencet tombol 2. Audiens mendengar lewat headset.

Audiens juga punya fasilitas yang sama. Peserta pertemuan bisa mengaktifkan mikrofon, pakai bahasa Indonesia, dan bertanya pada pembicara berbahasa Arab, misalnya. Sang pembicara tinggal tekan tombol no 1 dan mendengarkan versi bahasa Arab dari sang penanya lewat headseat. Kalau nanti pembicara menjawab pertanyaan,giliran penanya pencet tombol nomor 3 dan mendengarkan jawaban versi bahasa Indonesia.

Kalau pembicara berbahasa Indonesia berpidato, interpreter akan mendengar isi pidato setelah memencet tombol 3 di perangkatnya, dan ia langsung alih bahasa ke bahasa Arab. Audiens yang ingin simak isi pidato dalam bahasa Arab, tinggal pencet tombol 1 yang ingin dengar versi Inggris tekan tombol 2.  Rekan interpreter Inggris punya dua pilihan : kalau ia jago bahasa Indonesia, ia bisa langsung terjemahkan ke bahasa Inggris. Kalau ia kebetulan hanya bisa Inggris dan Arab, maka ia memencet tombol 1 (bahasa Arab, yang merupakan hasil terjemahan interpreter Indonesia ke dalam bahasa Arab), dan baru alihbahasa ke dalam bahasa Inggris. Bila peralihan bahasa dari bahasa Indonesia ke Arab sudah salah, maka peralihan dari Arab ke Inggris juga pasti ikut salah.

Apakah ada jeda antara bahasa sumber dan bahasa sasaran? Sebenarnya ada, dan ini tergantung dari kepiawaian dan kecepatan kerja interpreter; makin ahli sang interpreter, makin kecil jedanya. Jeda juga akan lebih panjang bila misalnya pidato bahasa Arab harus melalui bahasa Inggris dulu sebelum ke Indonesia. Ini terutama bila tidak tersedia interpreter yang mahir tiga bahasa sekaligus.

KENDALA-KENDALA ALIHBAHASA

Masing-masing consecutive interpretation dan simultaneous interpretation punya kendala, meski kendala di bidang simultaneous interpretation lebih banyak dan beragam. Consecutive interpretation memerlukan waktu dua kali lipat dari durasi pidato yang seharusnya karena harus bicara gantian antara pembicara dan interpreter.

Secara umum, dalam dua jenis pengalihbahasaan itu, kendala akan muncul pada pidato-pidato mendadak, karena biasanya tidak tersedia teks persiapan, dan tuturan lisan pembicara akan cenerung terpengaruh oleh gaya bahasa lisan dan kurang terstruktur yang membuat interpreter harus bekerja keras untuk mendengar tuturan bahasa sumber dan menerjemahkan secara benar dalam bahasa sasaran, dan jenis-jenis kendala non-teknis lain. Dari pengalaman sebagai interpreter Indonesia-Inggris, inilah di antara kendalanya : (1) dialek penutur bahasa sumber (misalnya American English, British English, Australian English, African English), (2) kecepatan bicara, (3) aksen, intonasi, pelafalan-- bayangkan pembicara India yang berbicara Inggris, bilang ‘double’ jadi ‘dobol’, (3) penggunakan idiom dan peribahasa penutur bahasa sumber, dan (4) penggunaan angka-angka, misalnya ‘14.567.813 di tahun 2015 yang meningkat menjadi 16.897.001 di tahun 2016’ yang berpotensi salah sebut.

Kendala tersebut akan makin sulit diatasi pada model simultaneous interpretation. Saya pernah mati kutu dan mati gaya ketika harus mengalihbahasakan secara simultaneoustanpa teks dari seorang pembicara bahasa Indonesia yang menjelaskan nomor-nomor undang-undang dan sekian puluh perubahannya melalui layar LCD di depan yang tidak bisa jelas saya lihat dari belakang karena saya lupa bawa teropong yang harusnya membantu saya melihat angka yang dipaparkan di layar LCD.

Selain itu, kerja interpreting simultan juga bisa bikin otak cepat lelah, karena harus mendengar dan bicara sekaligus, dan sementara berbicara kita harus mendengar pembicaraan berikutnya. Itulah sebabnya, selalu tersedia paling tidak dua interpreter untuk Inggris-Indonesia, misalnya. Biasanya kualitas alihbahasa akan kedodoran dalam waktu sepuluh menit, dan itulah saatnya bagi seorang interpreter untuk kasih kode ke rekannya untuk melanjutkan, sementara ia istirahatkan otak dan tunggu sang rekan minta kita ambil alih.

Adakah kendala yang dihadapi audiens dalam memahami pidato penutur sumber sekalipun audiens tersebut memahami bahasa penutur sumber? Tentu ada, bayangkan bila seorang interpreter professional saja memiliki kendala-kendala pemahaman seperti yang disebutkan di atas, bagaimana dengan audiens awam?

Itulah yang menjelaskan kenapa sejumlah ulama kita—yang harusnya mahir berbahasa Arab-- masih harus mengandalkan interpreter yang menyajikan terjemahan dalam bahasa Indonesia lewat headset. Mungkin ada dialek, varian, gaya bahasa, pelafalan, intonasi, idiolek yang belum biasa bagi telinga kita. Semahir apapun kita atas satu bahasa asing, tetap saja penutur bahasa asing (native speaker) itu punya kelebihan alamiah yang kita (non-native speaker) tak paham atau tangkap. Isi pidato raja Salman sangat penting untuk disimak secara baik, benar, akurat dan utuh, dan itulah sebabnya jasa interpreter profesional lebih diandalkan katimbang kemampuan bahasa kita sendiri. Jadi, menurut hemat saya, itu bukan karena para ulama itu tak paham bahasa Arab. Para ulama ber-headset mengapresiasi kerja interpreter.

Mendengar raja Salman berpidato, saya jadi ingin belajar bahasa Arab, bahasa agama saya yang saya cintai,  karena dari sekian kata-kata baginda raja, saya hanya paham ‘assalamualaikum warrahmatullah wabarrakatuh’ saja.   

Salam bahasa!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun