Pukul 05:15, saya sudah duduk manis di kursi nomor 28A, penerbangan Citilink QG-800, 28 Desember 2016, rute Surabaya-Sukarno-Hatta, sudah mengencangkan sabuk pengaman; seluruh 154 penumpang juga demikian.
Lalu terdengar suara pilot dari interkom, memperkenalkan diri sebagai Captain Pilot Tekad Purna dan first officer Bayu Segara. Cara pilot bicara membuat sebagian penumpang saling pandang. Pilot membuka mik dengan “Oah…..eh….selamat pagi….nama saya….,” Suaranya terdengar aneh, tidak seperti orang sehat, terhenti-henti, tidak artikulatif, seperti orang mabuk. Pilot lanjut bicara dengan bahasa Inggris, “……Surabaya is good, Cengkareng is good, everything is good…..we will ready…..in five minutes, oh yes, we already….” (kata ‘be’ yang seharusnya ada di belakang ‘will’ tidak diucapkan).
Selanjutnya pilot memperkenalkan para pramugari. Sampai pada nama yang terdengar ‘Rike’, pilot mengulang nama ini tiga kali, “Rike…..Rike….Rike”. Suara pilot makin terdengar kacau, banyak eh…eh…. Ini membuat sejumlah penumpang laki-laki bereaksi.
“Mabuk nih, pilot!”, demikian kira-kira kata beberapa orang. Sontak mereka berdiri, berjalan ke arah cockpit. Mereka menghampiri pramugari yang berdiri di depan pintu cockpit dan meminta agar pesawat tidak berangkat sebelum pilot diganti. Suasana dalam kabin pesawat menghangat. Semua penumpang berdiri dalam kecemasan. Pramugari mengumumkan agar penumpang kembali duduk tenang lima menit. Tak semua penumpang menuruti perintah pramugari. Sebagian penumpang menuntut pilot segera keluar dari cockpit.
Pramugari kemudian minta semua penumpang turun. Sebagian penumpang diangkut bis kembali ke ruang keberangkatan. Saya di bis kedua yang menunggu di apron, bersama sejumlah penumpang laki-laki yang minta agar bis tidak meninggalkan apron sebelum kami melihat pilot turun dari pesawat.
Sesaat kemudian sebuah mobil van putih merapat ke tangga pesawat. Sang pilot, berperawakan agak gendut, dikawal turun dari pesawat; langsung masuk mobil penjemput. Datang pula pilot pengganti yang menyapa sejumlah penumpang yang masih berdiri di apron. Pilot pengganti memperkenalkan diri dengan nama Captain Wahana Agus. Captain Wahana bilang ia yang akan menerbangkan QG-800 pagi itu, sempat tegang sedikit karena penumpang masih kurang yakin.
Para penumpang diminta masuk kembali ke dalam pesawat. Saya masuk lewat pintu belakang dan sempat menerima sapa pramugari yang mengatakan, “Mohon maaf ya, pilotnya tadi baru keluar dari rumah sakit”.
QG-800 bertolak ke Cengkareng pukul 6.20, dimulai dengan sapa “Assalamualaikum, saya Captain Wahana Agus, yang akan menerbangkan Anda ke bandara internasional Soekarno-Hatta. Perjalanan akan ditempuh dalam waktu satu jam dan 25 menit…..” suaranya normal, kalem. Penumpang lega. QG-800 mendarat di bandara Soekarno-Hatta dengan selamat pada pukul 7.50.
Saya langsung berbagi kabar via WA dengan sejumlah rekan, salah satunya rekan wartawan senior. Setengah jam kemudian HP saya tak berhenti berdering, dari sejumlah wartawan, minta wawancara. Saya juga diminta kasih kesaksian secara live melalui telepon di salah satu televisi swasta pada pukul 13.00.
Soal dugaan pilot mabuk itu segera merebak di media sosial. Menurut berbagai sumber berita, sang pilot langsung jalani pemeriksaan kesehatan di klinik bandara Juanda, dan hasilnya negatif konsumsi alkohol. Para pihak berwenang, termasuk vice president Citilink, Albert Burhan, di sejumlah media, menyatakan pilot tidak mabuk, hanya gugup karena datang terlambat. Sementara itu, beberapa pihak lain menyatakan kondisi pilot tidak fit.
Belakangan, mulai tanggal 29 Desember 2016 siang, beredar video rekaman CCTV bandara yang merekam gambar pilot masuk security check dalam keadaan sempoyongan, barang-barang bawaannya berjatuhan berkali-kali, dan tampak sekali ia tidak mampu mengontrol tindakan-tindakannya sendiri kecil sekalipun.
Pilot berperawakan gempal, mirip dengan perawakan pilot yang diturunkan dari QG-800 tanggal 28 Desember 2016. Cuplikan gambar pilot ‘oleng’ itu pagi ini menghiasi halaman headline koran Jawa Pos hari ini 30 Desember 2016. Berita Jawa Pos mengutip konfirmasi otoritas PT Angkasa Pura I Bndara Juanda bahwa rekaman itu memang benar berlokasi di Terminal 1 Juanda.
Jawa Pos juga melengkapi halaman berita dengan kopian surat Dirjen Perhubungan Udara, Kementrian Perhubungan, yang menegur pihak Citilink karena kelalaian maskapai dalam memeriksa kesehatan awak pesawat sebelum terbang sebagaimana disyaratkan dalam CASR (Civil Aviation Safety Regulation) 121.535, dan kelalaian karena tidak membrifing kapten yang berperan sebagai PIC (person in charge) dalam sebuah penerbangan sesuai dengan aturan CASR 121.601. Selain itu, teguran diberikan karena pilot tidak menjalankan passenger announcement dengan benar.
Mungkin ini kasus sepele, tapi simak dan bacalah keresahan penumpang. Seorang bapak di sebelah saya tak mampu menahan amarah. “Kok bisa pihak bandara dan pihak maskapai meloloskan pilot yang tidak sehat? Pilot bertanggungjawab atas keselamatan semua penumpang. Apa jadinya kalau kita tadi tidak sadar pilot tidak fit menerbangkan pesawat? Saya sungguh kecewa!” Bapak tua itu hendak menengok cucu di Jakarta. Ia sudah kirim sms pada cucu ia bakal tiba sepagi mungkin di Jakarta.
Kegusaran penumpang lain juga masuk akal; karena mereka bisa dengan jelas menangkap kesan bahwa maskapai dan otoritas bandara kurang bersungguh-sungguh menjalankan prosedur keamanan penerbangan. Entah apa pula reaksi penumpang QG-800 28 Desember 2016 dan calon penumpang pesawat lain saat ini ketika menyimak video yang sudah beredar yang menayangkan gambar pilot yang melewati pintu security check dalam keadaan sempoyongan dan hilang kendali diri, sementara media ramai memberitakan sangkalan pihak berwenang mengenai pilot mabuk.
Soal keamanan isu dunia penerbangan sipil Indonesia, seperti kasus QG-800 ini, harusnya pihak berwenang tak hanya berhenti pada tindakan membebastugaskan pilot bermasalah, atau sekadar memberi sanksi dan hukuman-hukuman minor seperti itu. Yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan adalah prosedur keamanan secara keseluruhan, terutama, dalam hal ini unsur kebugaran, kelaikan, dan kesehatan pilot. Kementrian Perhubungan harus menempuh audit total keamanan, mengupayakan prosedur pengamanan yang terbaik dan mengumumkannya kepada khalayak ramai untuk memberikan jaminan terbang aman.
Saat ini, manakala saya membaca berbagai pemberitaan insiden QG-800 28 Desember 2016, saya tercenung. Sungguh elegan cara Tuhan menyelamatkan kami para penumpang QG-800 28 Desember 2016. Andai saja Tuhan tidak menggerakkan tangan Captain Tekad Purna untuk pasang mik dan bicara lewat interkom pesawat, kami pasti sudah diterbangkan oleh pilot yang terduga mabuk. Suara kapten pilot itulah satu-satunya (bukan yang lain) yang membuat penumpang sadar adanya potensi celaka.
"Nasi rendang Dayeuhkolot rasanya selangit, sebelum terbang pastikan pilot fit"
Ayolah dunia penerbangan Indonesia, kerja yang baik!
Foto-foto : Eddy Roesdiono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H