Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penerjemah (25)

10 Desember 2012   06:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:55 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SANG PENERJEMAH (24) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Aku tak bisa menimpali. Tiba-tiba saja keringat dingin membasahi leher dan kepalaku mulai berdenyut-denyut. Aku melihat kawasan sekelilingku berubah menjadi kawasan sepi dengan puluhan pohon besar berjajar lengkap dengan semilir angin khas hutan lebat. Leherku mendadap lunglai, terlalu berat menyangga kepala.

“Apsara, kamu kenapa?” terdengar teriakan Rakandi. Ia menghampiriku, meraih kepalaku agar tak terjatuh dari sandaran kursi.

“Aku perlu rebahan. Kepalaku pusing dan aku kedinginan…..” aku berucap lirih.

“Pastilah kedinginan…..kamu basah kuyup sedari tadi kena air banjir,” kata Rakandi, membopongku menuju ke resepsionis hotel.

“Tolong buka satu kamar. Teman saya perlu rebahan,” kudengar Rakandi bicara pada petugas resepsionis, seorang perempuan. Sebentar kemudian petugas mengantar kami ke kamar kosong terdekat.

Nong, tolong lepasi semua pakaiannya dan pakaikan selimut hangat,” Rakandi minta tolong perempuan resepsionis ini.

Aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Pening yang memuncak membuatku kehilangan kesadaran. Tapi di dalam ketidaksadaran itu aku seperti menemukan dunia baru. Pohon-pohon besar dan kesejukan hutan seperti yang kulihat dan kurasakan beberapa saat sebelumnya, kini menjadi tampak makin nyata. Desir angin yang lembut, seperti baru menyadarkanku aku tengah berada di sebuah rumah kayu yang bertengger tinggi di atas pepohonan dan kecipak air sungai Chao Phraya yang terdengar lamat-lamat. Sinar matahari cerah menerobos melalui pintu satu-satunya di bagian depan rumah pohon, sedikit terhalang oleh sosok pemuda gagah bertelanjang dada yang tengah sibuk melukis kokohnya pepohonan di sekeliling. Aku tahu pemuda itu adalah Rakandi, tawanan tak resmi kerajaan Ayutthaya yang sekarang diperbantukan menjadi perawat gajah dan anggota pasukan keamanan kerajaan di bawah kendali suamiku, Tuanku Pibulwongsawat, dan aku adalah juru bahasa bagi Rakandi karena ia tak bisa berbahasa Siam dan aku pandai berbahasa Jawa. Aku tahu tugasku adalah mengorek keterangan—secara perlahan-lahan –tentang kehadirannya di Ayutthaya karena paduka Raja Ramathibodhi menduga kedatangannya ke Ayutthaya ada kaitannya dengan upaya mata-mata kerajaan Majapahit di Jawa yang sedang gencar menaklukkan kerajaan tetangga.

Diam-diam kupandangi pemuda itu dari dalam rumah kayu. Harus kuakui beberapa hari belakangan ini pandangan matanya telah menggetarkan relung-relung dadaku. Ia kadang terkesan amat sopan, tapi sekaligus berani nakal dengan tatapan matanya dan mulutnya yang suka melontar pujian. Meski harusnya pujian-pujian itu tergilong kurang ajar, namun tak urung juga aku menikmati pujian-pujian itu. Aku suka ia bilang aku cantik dan menarik. Tuluskah pujian-pujiannya itu? Secantik dan semenarik itukah aku di matanya?

Aku ingat beberapa malam lalu aku tak dapat menahan malu ketika harus membuka busana manakala Tuanku Pibulwongsawat meminta Rakandi melukisku tanpa sehelai benangpun di tubuhku di kamar kami. Aku tak tahu apa yang berkecamuk dalam dadanya ketika menatapku dalam keadaan seperti itu. Apakah hatinya tergetar mendapatiku seperti itu? Apakah ia mendapatkan suka cita? Apakah ia menginginkan aku sama seperti Pibulwongsawat menginginkan aku sore itu?

Aku membuka mata dan mendapati diriku dalam balutan selimut tebal di kamar Krung Si Inn. Rakandi duduk menunggu tak jauh dariku dengan dua teh hangat mengepul.

“Apsara. Kau sudah bangun? Masih pening?” tanya Rakandi.

Aku mencoba bangkit. “Sudah tidak! Aku merasa segar. Tadi aku kenapa?”

“Kamu tiba-tiba lemas, mengeluh pusing dan kedinginan. Jangan sembarangan bergerak. Kamu tak berbusana apapun di bawah selimut itu. Semua pakaianmu dibantu lepas oleh nong resepsionis, sekarang pakaianmu sedang dikeringkan. Sebentar lagi pasti kering,” kata Rakandi.

“Sudah berapa lama aku di sini?” tanyaku.

“Hampir dua jam”

“Dan kau menungguiku terus?”

“Benar. Mau kuhubungi suamimu?” tanya Rakandi.

“Nggak perlu. Aku baik-baik saja. Nggak tahu kenapa tadi begitu”

“Oke, kamu tunggu sebentar. Aku akan tanya petugas hotel apakah pakaianmu sudah kering”

“Nggak perlu, nanti saja. Aku suka di sini dan begini, nyaman dan tenang….” kataku. Rakandi urung beranjak.

“Tahu tidak, selama dua jam ini aku seperti berada di dua dunia: dunia sekarang dan dunia di masa Apsara di tahun 1368 itu. Aku berada di rumah pohon dan kau sibuk melukis pepohonan….dan….dan timbullah keinginan itu….aku ingin sekali lagi kau melukisku, tanpa sehelai benangpun di tubuhku kecuali selendang sutra jambon ini,” kataku.

Rakandi duduk mematung menatapku menyingkap selimut. Aku membiarkan diriku apa adanya kecuali sehelai selendang sutra membentang di bawah perut.

“Apsara!” ujar Rakandi.

“Tunggu apa lagi. Lukislah aku dengan kameramu. Kali ini bukan atas permintaan Ped atau Pibulwongsawat, tapi atas kehendakku sendiri. Jangan tolak permintaanku, please!”

Dengan seribu ragu, Rakandi mengangkat kamera dan mulai memotretku beberapa kali. Aku menyutradaraiku diriku sendiri untuk memberikan pose yang indah bagi asil potret Rakandi sampai Rakandi bilang itu sudah cukup.

“20 shots! Astaga! Inikah rumah pohon yang dimaksud dalam transkrip itu?” Rakandi mengamati hasil jepretannya yang menurut dia sama sekali tidak menggambarkan suasana kamar penginapan itu, melainkan sebuah rumah berdinding kayu kasar dan Apsara di tahun 1368.

“Aku tahu hasilnya akan seperti itu…..ini misteri sejarah. Dan misteri itu harus dilengkapi,” kataku.

Entah kenapa aku tiba-tiba melemparkan selendang itu ke arah Rakandi. Selendang itu terbang dan Rakandi menangkapnya dengan pandangan disertai gerakan dada yang naik turun ke arahku.

“Aku mau lihat hasil foto itu. Kemarilah. Tunjukkan foto-foto itu padaku! Mendekatlah!”

“Apsara!”

“Kemari, kataku! Lengkapi sejarah itu. Kita indahkan siang ini dalam selimutku. Jangan biarkan aku menunggu terlalu lama!”

“Tidak, Apsara! Aku tidak bisa! Ini tidak benar!”

“Ini bagian sejarah itu, Rakandi. Aku bisa merasakan hasrat Apsara saat itu!”

“Tidak, Apsara! Ini bukan kamu. Kamu adalah Apsara di tahun silam itu. Maafkan saya!”

“Rakandi! Kembali ke sini!” aku meneriakinya, mencoba menyusulnya. Tapi ia keburu hilang di balik pintu tertutup, dan meninggalkanku sendiri.

Sebentar kemudian pintu diketuk dari luar. Perempuan petugas hotel membawakan pakaianku yang telah dikeringkan.

Aku menemui Rakandi yang tengah menunggi du meja café, duduk menatap lurus ke arah sungai Chao Phraya.

“Chan khor tot kha…..” kataku dalam bahasa Thailand yang pasti ia pahami. Rakandi menatapku sesaat.

It’s okay, Apsara. Sesaat di dalam kamar itu, aku seperti mendapatkan kehomatan besar darimu, kehormatan yang teramat besar. Hatiku bergetar dan hasratku mungkin sangat bergelora, but you know….”

“Aku tahu, Rakandi……maaf…my bad!”

“Lupakan itu. Sekarang baiknya aku antar kamu pulang. Kamu perlu beristirahat!” kata Rakandi.

“Aku bisa pulang sendiri!”

“Baik, aku carikan kau tuk-tuk. Saat ini, tampaknya hanya tuk-tuk yang bisa melaju di tengah banjir!”

***

Di sisa penggalan hari itu aku tak bisa memejamkan mata dan beristirahat seperti yang mungkin kuperlukan. Perasaanku campur baur : rasa malu, rasa aneh, rasa marah, resah, gelisah, galau. Apa yang terjadi pada diriku. Di mana Ped? Sedang apa dia? Ah, persetan dengan Ped. Ia pasti asyik masyuk dengan Akiko, gadis Jepang itu.

Dan Rakandi? Oh, pemuda itu. Pemuda Jawa yang baik dan manis itu. Kenapa tak bisa kulupakan dia?

Setelah 3 jam tersiksa dengan kegalauanku, aku pencet tombol HP dan kukirim sms buat Rakandi : “Rakandi, I miss you….I don’t know why, but I miss you….”

Aku menunggu jawaban Rakandi. HPku menderingkan sms. Itu dari Namwan, rekan kerjaku. “Nan, ada pesan email nyasar ke alamat email kantor. Banyak lampiran gambar di dalamnya. Aku forward ke alamat email kamu ya?”

Aku menyalakan komputerku dan membuka email yang dimaksud. Pesan itu dikirim oleh orang tak dikenal. Aku membuka attachment gambar satu persatu. Astaga. Merinding aku dibuatnya. Why? Tega sekali!

(BERSAMBUNG KE EPISODE TERAKHIR DI SINI)

Catatan :

Nong = mbak

Chan khor tot kha = saya minta maaf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun