Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penerjemah (23)

20 November 2012   06:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:01 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13533906991610628382

Sang Penerjemah (22) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

“Eh, sudah pulang, Nan?” Ped menyapaku enteng. “Rakandi, kan?” ia menunjuk Rakandi, pakai bahasa Inggris.

“Betul. Saya mengantar foto dan mengambil buku yang dijanjikan Apsara,” kata Rakandi, berusaha tidak kikuk.

“Kamu sulit dihubungi. HPmu tidak aktif,” aku mulai protes.

“Tidak bisa ngecas HP. Semua jaringan listrik mati. Air sungai Chao Phraya mulai meluap karena hujan deras di utara. Aku sudah menaikkan suku cadang barang penting di tempat kerjaku ke dataran lebih tinggi,” ujar Ped.

“Perempuan Jepang itu, siapa sih sebenarnya? Apa hubungannya dengan pekerjaanmu?” tak tahan aku untuk tidak menanyakan ini.

“Akiko! Konsultan otomotif. Dia yang ngajari aku memilah-milah suku cadang yang masih layak jual,” ujar Ped. Rakandi mulai salah tingkah. Bukan saat yang tepat bagi dia untuk berada di antara aku dan Ped.

“Oke, ini waktunya saya pulang…” kata Rakandi.

“Sebentar…..tadi kau bilang bawa foto-foto Nan. Foto-foto apa itu?” Ped mendekati Rakandi.

Aku meraih sejumlah foto dari meja dan menunjukkannya pada Ped.

“Di kereta api? Hm, kau cantik juga, Nan!” puji Ped dalam bahasa Thai. “Dan kau pintar memotret,” ia ganti menoleh Rakandi.

“Terimakasih! Baik, saya pulang sekarang!”

“Eh, tunggu dulu!” tahan Ped. Ia kemudian menolehku, “Nan, mana sopan santunmu? Tolong buatkan teh untuk aku dan Rakandi. Aku mau bicara sebentar dengan pemuda ini,” kata Ped.

Ped mau bicara dengan Rakandi? Untuk apa?

Aku berlalu ke dapur, menyalakan dispenser. Sambil menunggu air dipanaskan, aku menguping Ped bicara pada Rakandi.

“Kau fotografer?” tanya Ped.

“Amatir”

“Bagus. Biasa memotret perempuan rupanya?”

“Tebakanmu benar”

“Pernah memotert perempuan tanpa busana?” tanya Ped.

“Maaf?” Rakandi sedikit terhenyak.

“Pernah memotret perempuan tanpa pakaian, alias….you know?”

“Kalau sama sekali tanpa busana, belum pernah!”

“Okay, boleh aku minta tolong?”

Pada saat itu, air di dispenser mulai panas. Aku kembali ke dapur dan menyiapkan dua cangkir teh. Ketika aku menyuguhkan teh, Ped meminta aku duduk di antara mereka.

“Nan,” kata Ped menggenggam kedua tanganku. “Kau tahu aku kangen kamu dan aku ingin kau memenuhi permintaanku sore ini. Jangan bilang tidak”

[caption id="attachment_210391" align="aligncenter" width="300" caption="Mirip Apsara. Artis Thailand Yaya Urassaya (foto : www.thaiTV1.com)"][/caption]

“Permintaan apa itu, Ped?”

“Aku mau kau dipotret, tanpa sehelai benangpun di kamar kita,” ujar Ped.

“Ped!” aku memekik kecil.

“Sst! Tenang dulu. Tadinya aku pingin memotret sendiri, tapi kau tahu lah, aku tak bisa memotert, dan kini, saat ini, ada Rakandi, pemotret yang mengaku amatir tetapi sebenarnya jago motret. Hasilnya pasti lebih artistik,”

“Kamu jangan ngaco, ya? Bagaimana mungkin aku bisa begitu di depan pria lain,” kataku.

Please, aku mohon. Aku akan berada di kamar kita terus, menemani kalian” ujar Ped. Kulirik sebentar Rakandi. Ia duduk bengong menantikan pembicaraanku dengan Ped.

“Buat apa sih harus begitu?” aku masih protes.

“Boleh nanti kujelaskan kalau sudah ada hasilnya?”

“Aku tidak mau”

“Kau menolak permintaan suamimu?” tanya Ped, suaranya meninggi.

“Ya, tapi…..itu artinya aku telanjang di depan pria lain, Ped!”

“Aku tak keberatan, Nan! Dan Rakandi sudah menyanggupinya!”

Aku menoleh Rakandi. Ia tetap mematung, menunggu. Bikin sebel!

“Okey, Nan? Kamu tak akan mengecewakan suami sendiri, kan?” rayu Ped.

Aku diam beberapa saat, sibuk berpikir apa maunya Ped di balik rencana aneh ini.

Dan sore itu aku harus mengalah pada permintaan Ped. Ia sendiri yang mengatur suasana kamar demikian rupa, yang menurut dia dimaksudkan untuk memberi kesan artistik. Ped juga yang minta aku harus berpose bagaimana sebelum ia meredupkan lampu kamar, selebihnya ia menanti aku menanggalkan pakaian. Rakandi menanti dengan sabar, sesekali mengutak-atik setelan kamera.

Tak terjelaskan bagaimana rasa maluku harus melakukan itu di hadapan Rakandi. Aku berharap semoga Ped tahu benar apa yang ia lakukan. Dan karena sudah terlanjur tak mengenakan secuil pakaianpun, aku mencoba santai dan menikmati sesi potret itu seperti model beneran. Aku jadi ingin tahu bagaimana perasaan Rakandi saat itu membuat delapan jepretan.

Aku kembali berpakai lengkap manakala Rakandi menunjukkah hasil foto itu kepada Ped. Ped senang sekali. “Ui, istriku, cantik dan seksi. Bagaimana menurutmu?” tanya Ped kepada Rakandi. Rakandi tak menyahut. Ia menatap layar kamera dengan dahi menegang. Aku menghampiri mereka.

“Apsara, lihat ini?” kata Rakandi. Aku mendekat. Pada saat itu, Ped minta ijin untuk ke kamar mandi.

“Kau lihat apa yang kulihat?” tanya Rakandi.

Aku menatap baik-baik layar kecil itu. Itu aku dalam potret itu, tapi kamar tempat aku dipotret itu bukan kamarku dan Ped, melainkan sebuah kamar berdinding kayu warna coklat kusam dan kain-kain penutup tempat tidur dalam warna kecoklatan. Lampu di meja tak jauh dari pembaringan, adalah lampu minyak berhias penutup motof bunga-bunga, bukan lampu listrik bermotif garis-garis seperti yang ada di kamar ku saat ini.

“Kejadian di candi itu terulang lagi. Lihat, hasil potretan menunjukkan dirimu di masa silam. Apakah waktu itu Pibulwongsawat minta Rakandi untuk melukis Apsara seperti yang Ped lakukan saat ini, dengan memintaku memotretmu?” kata Rakandi.

“Ini benar-benar aneh. Apakah menurut mata Ped foto ini seperti menurut mata kita?” aku bertanya pada Rakandi.

“Sepertinya tidak. Ped tidak melihat apa yang kita lihat. Ia melihat foto yang sebenarnya, seperti aslinya,”

“Well, boleh aku minta foto itu, dan pindahkan ke laptop saya?” Ped datang kembali dengan laptopnya. Rakandi menganguk, dan segera memindahkan foto itu dari kamera ke laptop Ped.

“Terimakasih banyak atas kesediannya memotret. Foto yang hebat dari seorang perempuan hebat. Terimalah ini, 2.000 baht, tulus, dariku!” Ped menyisipkan dua lembar uang 2 ribu baht ke genggamanku.

“Tak perlulah, Ped!” kata Rakandi.

“No, no, jangan menolak. Aku menggunakan jasamu sebagai fotografer dan membeli foto ini,” kata Ped, “dan, maaf ya, karena foto ini terlalu pribadi, tolong foto itu dihapus dari kameramu sekarang juga,”

“Oh ya, tentu saja,” kata Rakandi. “Lihat ya, 8 jepretan semuanya saya hapus,” ujar Rakandi. “Silakan periksa lagi”

“Tak usah, aku percaya padamu!” kata Ped

Rakandi segera mengemasi barang-barangnya dan melambaikan tangan pada tuk-tuk yang lewat. Hujan turun menggila. Terjangan air hujan tegak lurus seperti dihunjamkan ke bawah dari langit. Masih sempat kulihat Rakandi menjadi basah kuyup ketika melintas dari teras rumah ke jalan. Ped meraih tubuhku, menggendongku ke kamar tidur. Tak pernah kulihat Ped sebergairah itu.

(BERSAMBUNG KE SINI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun