Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (18)

2 Oktober 2012   08:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:22 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (17) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Lagi-lagi Ped pulang larut. Aku tak tahu jam berapa dia datang semalam. Ia pun tidak menyentuh makanan yang kubeli dan kuletakkan di atas meja. Boleh jadi ini karena Ped sudah terbiasa makan di luar selama aku harus berada di Bangkok untuk menempuh kuliah mastersku. Soal selalu pulang malam itulah yang aku belum tahu benar. Bisnis Ped memang berbeda dengan bisnis umumnya. Ia pengelola junkyard—terletak di kawasan Ang Thong, sebelah utara Ayutthaya. Junkyard adalah penampungan rongsokan mobil yang dijual kiloan. Ia dan anak buahnya memilah-milah bagian-bagian yang masih digunakan dan menjualnya kepada konsumen yang membutuhkan. Penghasilan Ped dari bisnis ini tergolong besar.

Di luar, hujan masih turun dan tampak genangan-genangan setinggi mata kaki. Ped masih tidur ketika aku baru saja mengeluarkan jaket Rakandi dari pengering dan menyeterikanya.

“Beli jaket baru?” sapa Ped, baru saja bangun, mencari air putih di kulkas, dan melihatku melipat rapi jaket itu.

“Bukan jaketku. Ini jaket klien penterjemahan. Aku pulang kehujanan semalam. Ia meminjamkan jaketnya,” kataku.

“Laki-laki?” tanya Ped.

“Ya, orang Indonesia. Ia sedang membuat penelitian sejarah di Ayutthaya”

“Klop dengan bidangmu, dong?” kata Ped.

“Iya!”

Ped menjauh dariku dengan gelas air minum di tangannya.

“Ped?” aku memanggil.

“Ya?”

“Peluk aku dong. Kamu nggak kangen aku?” aku menghampirinya.

“Oh ya, oke. Sini kupeluk,” Ped memberiku satu pelukan. Terasa biasa, tak hangat, tidak rapat, hanya sebentar. Tak bisakah ia membalas pelukanku yang hangat, dari tubuhku yang hanya berbalut kaos tipis tanpa pelapis dada? Aku hendak protes. Tapi ia telah melepaskanku dan mencari koran pagi.

“Hari ini masih kerja menerjemah?” tanya Ped.

“Masih. Mungkin sampai seminggu,” jawabku. “Kamu bakal pulang malam lagi?”

“Kayaknya begitu. Lihat, hujan tidak juga berhenti dan banjir bakal melanda junkyard. Banyak yang harus dipindahkan ke tempat lebih tinggi. Nih, di koran ada berita pelataran produksi pabrik Honda mulai diserbu air banjir,” Ped mengacungkan koran.

“Ya…aku sudah baca….”

“Hujan kayaknya akan berlangsung seharian. Kau bawa Avanza saja biar tidak kehujanan, biar aku dijemput anah buahku,” kata Ped. Ia kemudian masuk kamar mandi.

“Okay!”

Ped berangkat tanpa sarapan ketika aku masih berada di dalam kamar mandi.

“Ap, aku berangkat dulu, sudah dijemput tuh!” kudengar ia berteriak.

“Ped! Tunggu!” aku berteriak balik dari kamar mandi. Aku perlu mengejarnya untuk memberinya ciuman di pipi. Tapi Ped tak menyahut. Hanya kudengar suara pintu ditutup dari luar. Aku keluar dari kamar mandi, hanya dengan handuk melilit dada. Kulihat Ped berjalan ke luar pelataran rumah. Kuintip dari balik korden jendela. Sebuah mobil Honda Jazz keluaran terbaru menjemputnya. Dari kaca jendela yang diturunkan, bisa kulihat siapa yang menjemputnya. Seorang perempuan cantik berkacamata hitam dan rambut tebal. Itu anak buah Ped?

Aku segera ganti pakaian, mengemas tas dan meraih jaket Rakandi. Barusan Rakandi kirim sms menanyakan dia bisa ketemu aku di mana pagi ini. Kuminta ia menungguku di kantor Jum seperti kemarin.

***

“Terimakasih jaketnya. Sudah kucuci, kukeringkan dan kuseterika,” aku menyerahkan jaket itu pada Rakandi. Ia menerima jaket itu dan menciumnya.

“Hm, harum. Tak pernah jaketku seharum ini. Terimakasih sudah mencucinya. Pasti semalam kau tak tahan baunya….” kata Rakandi.

Sesuai rencana, pagi itu, aku menyupiri Rakandi ke Chao Sam Phraya museum. Setelah membayar tiket 30 baht per orang, kami mulai menjelajah museum yang penuh dengan artefak, lukisan, dan banyak informasi sejarah Ayutthaya.

“Maaf, ruang informasi cache tidak bisa digunakan saat ini. Sistem listrik di bagian bawah mesin cache tergenang air dan kortsleting,” petugas menjelaskan ketika aku menanyakan mesin cache.

“Kapan bisa berfungsi seperti semula?” tanyaku.

“Mudah-mudahan besok. Kami mengundang teknisi yang akan datang sore nanti,” kata petugas.

“Well, ke mana kita sekarang?” tanya Rakandi setelah kujelaskan masalah dengan mesin cache itu.

“Mau keliling kota Ayutthaya atau naik perahu mengelilingi kota?” aku menawarkan.

“Boleh. Hitung-hitung menghirup aroma Ayutthaya,” ujar Rakandi.

Aku mengantar Rakandi ke beberapa tempat bersejarah di Ayutthaya sebelum kami memutuskan untuk mencari perahu sewa siang hari itu, dalam suasana Ayutthaya yang masih diguyur hujan. Karena sepi penyewa, tukang perahu setuju biaya sewa 400 baht selama dua jam, yang biasanya 600 baht.

Sebagai orang yang baru pertama kali datang ke Thailand, Rakandi tampak menikmati wisata kota dan perjalanan berperahu di sungai Chao Phraya.

“Sungai ini mengalir ke selatan terus ke Bangkok,” aku menjelaskan.

“Ya, aku tahu. Melalui sungai inilah Rakandi tiba di Ayutthaya dari Tumasek pada tahun 1368,” tutur Rakandi, melayangkan pandangan berkeliling.

“Tahu tidak, entah kenapa aku merasa seperti Rakandi yang melintas sungai ini pada tahun 1368 itu. Aku merasakan aroma mistis, terpesona dengan pernik-pernik pemandangan yang berbeda dengan yang ada di Jawa, dan mungkin juga kekuatiran apa yang akan terjadi padanya di negeri yang belum pernah ia injak…”

“Kamu terlalu terpengaruh oleh objek penelitianmu,” kataku.

“Mungkin juga begitu….tapi suasana mistis itu memang sudah menyergapku sejak pertama kali aku menyeberang sungai bersamamu kemarin pagi…ditambah dengan perasaanku ketika mendapati sosoknya seperti sosok Apsara di tahun 1368…”

Aku tidak menimpali kata-kata Rakandi kali ini, dan melayangkan pandangan ke arah permukaan air sungai yang dihempas ribuan rinai hujan.

“Maaf aku bertanya. Berapa umurmu?” Rakandi tiba-tiba menatapku.

“27. Kamu?”

“22. Kamu 27 ya…..beruntunglah kamu. Aku tadi mengira kamu seumuran denganku. Berarti harusnya aku panggil kamu ‘Pi’. Pi Apsara!”

“Haha….tak perlu begitu……sudah terlanjur pakai nama asli masing-masing sejak awal…”

Rakandi tersenyum, dan memotreku sekali tanpa minta ijin terlebih dahulu. Ia memeriksa hasil jepretan dan tersenyum.

“Kenapa? Apakah hasil jepretanmu menampakkan aku seperti Apsara di tahun 1368, pakai kemben dan pakaian kebesaran bangsawan?” tanyaku.

“Nggak! Sama seperti aslinya….dan….sorry…..suay mak!”

Suay mak! Kau sudah belajar berapa banyak kata bahasa Thailand,” kataku, meski setengah sebal karena pemuda ini ternyata suka curi-curi kesempatan memotret dan melontarkan memuji.

C’mon, seseorang yang tertarik kepada sejarah suatu tempat tertarik juga pada bahasanya. Lagian, kalau senggang, aku belajar bahasa Thailand!”

Perahu akhirnya merapat di dermaga tak jauh dari Jalan U Thong selepas tengah hari. Hujan berhenti. Tetapi genangan di jalan makin banyak. Kami bergerak ke tengah kota untuk mencari makan siang, dan kami memilih sebuah restoran Cina.

Ketika aku dan Rakandi baru duduk dan memesan makanan, mataku terpaku pada sepasang lelaki dan perempuan tak jauh dari meja kami. Itu Ped, bersama perempuan yang menjemputnya tadi pagi. Mereka duduk berdua dekat sekali, yang seharusnya duduk berhadap-hadapan.

“Kenapa?” Rakandi menanyaiku.

“Itu Ped, suamiku!” kataku masih mengawasi Ped.

“Kita ajak gabung saja,” usul Rakandi.

“Dengan perempuan itu sekalian?” balasku sinis.

“Memangnya perempuan itu siapa?”

“Aku nggak tahu. Tapi perempuan itu menjemput Ped tadi pagi!”

Aku berdiri dan menghampiri Ped.

“Ped!” sapaku.

“Apsara! Kamu di sini. Sedang apa kamu di sini?” Ped terkejut. Perempuan cantik di sebelah Ped spontan menjauhkan diri dari duduknya yang tadi teramat dekat dengan Ped.

“Makan siang. Kamu juga, kan?” kataku.

“Ya, ini partner kerjaku, Akiko, orang Jepang!” Ped memperkenalkan perempuan itu.

“Hai, Akiko. Aku Apsara, istri Ped!” aku menjulurkan tangan. Perempuan cantik itu membalas sapaku dan menjulurkan tangannya.

“Wow. Apsara….kirei….” ujar perempuan itu.

“Mau duduk di sini?” Ped menawariku bergabung dengan nada datar.

“Rasanya tidak. Aku bersama klien, itu dia duduk di situ,” aku menunjuk Rakandi. Rakandi, bangkit dari duduk dan menghampiri kami. Ia memperkenalkan diri pada Ped dan Akiko. Ped menatap Rakandi sesaat.

“Kenalkan, aku Thossapol Pibulwongsawat, suami Apsara. Kamu orang Indonesia?” tanya Ped.

“Pibulwongsawat…? Benar, aku dari Indonesia”

“Wajahmu mirip orang Thailand”

“Itu juga benar. Banyak yang bilang begitu!”

“Kalian mau gabung Ped dan Akiko di sini?” tanyaku pada Rakandi.

“Eh, ah, nggak. Nanti mengganggu. Selain itu, aku harus menanyakan beberapa hal berkenaan dengan penelitian ini padamu. Obrolan kita pasti bakal tak menarik bagi Ped dan Akiko,” kata Rakandi.

“Oh, begitu. Nggak apa-apa ya, Ped, kalau aku duduk di sana dengan klienku?” tanyaku.

“Oh, nggak apa-apa. Harusnya begitu, kalian sedang bekerja, dan akupun sedang membahas bisnis dengan Akiko,” kata Ped.

Aku dan Rakandi kembali ke tempat duduk kami. Sebentar kemudian Ped dan Akiko beranjak. Ped menghampiriku dan bilang ia harus segera balik ke junkyard bersama Akiko. Aku mengiyakan. Ketika Ped berjalan ke luar restaurant, aku tak tahan untuk terus menatapnya berjalan dengan perempuan Jepang itu. Panas hatiku!

“Ada gurat cemburu di wajahmu…..” tiba-tiba Rakandi berkata.

“Iya……nggak biasanya Ped begitu…..” jawabku. Mau bicara apa lagi kalau memang nyatanya begitu.

Susai makan siang, kami sama-sama tak tahu harus kemana.

“Fotokopian yang kau dapatkan dari Pi Shrida itu, ada di rumah kosmu di Bangkok?” tanya Rakandi.

“Ya!”

“Sebenarnya aku ingin lihat dan ingin kau terjemahkan untukku. Barangkali ada petunjuk!”

“Ya, sih. Tapi, ya itu dia, semuanya ada di Bangkok….atau…..kau mau….”

“Kita ke Bangkok dan ambil catatan itu?”

“Ya, itu yang tadi mau aku tawarkan,” entah kenapa meluncur saja kata-kata itu.

“Is it okay? Maksudku, no problem dengan Ped?” tanya Rakandi.

“Kayaknya okay. Bangkok cuma 90 menit ditempuh dengan bis dari sini. Kita bisa langsung balik ke Ayutthaya setelah mengambil fotokopian catatan itu. Mau pergi sekarang?”

“Kalau kau tak keberatan!”

Kami melaju ke stasiun bis dan memarkir mobil di pelataran setasiun bis Ayutthaya, dan segera ambil bis ber-Ac yang siap berangkat ke Bangkok. Hatiku sebenarnya masih gundah seusai dari restoran tadi, setelah melihat Ped berduaan dengan Akiko. Tapi, tak apalah, ini demi pekerjaan. Dan lagian, rasanya malas aku kalau harus menyudahi pekerjaan hari ini dan menunggu museum buka besok. Daripada gundah dan mendongkol di rumah karena dihantam cemburu, lebih baik bekerja, menerjemah buat Rakandi yang diam-diam kuakui sebagai teman bicara dan teman jalan yang tak buruk, kecuali mungkin kegemaran memotretku dan memujiku itu.

catatan :

suay mak = cantik sekali

Pi = sebutan untuk pria/wanita yang lebih tua

kirei (bahasa Jepang) = cantik

(BERSAMBUNG KE SINI)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun