Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (17)

29 September 2012   10:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:30 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sang Penterjemah (16) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Aku menyilangkan tangan di dada dan menatap pemuda itu. Sulit dipercaya! Apakah mungkin ia merekayasa foto dalam waktu sesingkat itu dengan menggunakan kamera? Apa sebenarnya yang ada dalam benak pemuda ini? Haruskah aku percaya?

“Sekarang kau percaya?” Rakandi bertanya, masih dengan wajah bingung, yang mungkin sebingung wajahku.

“Untuk sementara aku percaya. Nanti kunalar lagi bagaimana keanehan ini bisa terjadi,” kataku.

“Okay….selamat pusing deh. Nah, kita kemana lagi sekarang? Ada yang bisa dituju untuk menghabiskan sore?”

“Sebentar…..kemana lagi ya?” aku berpikir. “Bagaimana kalau ke tempat seseorang yang aku kenal? Orangtua, bekas penjaga museum. Ia narasumber penelitianku”

“Ide bagus. Uh, mulai mendung. Bakal hujan,” Rakandi menatap langit yang beranjak gelap.

“Yup. Mengkuatirkan. Banjir sudah melanda Chiang Mai di Thailand utara. Air akan mengalir dari utara ke selatan, termasuk ke Ayutthaya,” kataku.

“Ya, kubaca di internet. Banjir berat di Chiang Mai. Di sini bagaimana? Maksudku, banjirnya?”

“Suka parah kalau banjir. Kota ini dikelilingi sungai. Bila air meluap, sebagian kota bisa tenggelam. Itulah sebabnya di pinggir jalan kota ini dipasang loud-speaker, salah satu fungsinya untuk mengumumkan banjir,” aku menjelaskan.

Kami bermotor ke tengah kota, dalam suasana yang makin pekat karena kota terkurung mendung. Kami mengetuk pintu rumah kayu dengan halaman penuh pepohonan.

Sawadi kaa….!” aku mengucapkan salam, menunggu dibukakan pintu.

“Perempuan narasumberku ini usianya 76 tahun, punya pengetahuan luas tentang sejarah Ayutthaya. Kau bisa bertanya apa saja padanya,” aku menjelaskan.

“Bisa bahasa Inggris?”

“Sama sekali tidak. Good, ya? Itulah gunanya aku sebagai penterjemahmu”

Pintu terbuka. “Sawadi kaa…sabaidi mai…..?” aku menyalami Pi Shrida menanyakan kabarnya. Perempuan tua itu tertatih membuka pintu lebih lebar, ditemani seorang pembantu.

Sawadi kaa….ah, Apsara……,” Pi Shrida menyapakan. “Lama kau tak kemari…”

“Ya, Pi……saya kuliah di Bangkok. Ini teman saya, Rakandi,” aku memperkenalkan Rakandi. Kubilang ia klienku.

“Rakandi…..? Khun ma cak ti nai?” tanya Pi Shrida pada Rakandi.

“Sorry, ibu ini tanya apa?” Rakandi menolehku.

“Ia tanya kamu berasal dari mana”

“Oh, from Indonesia!”

Khun puchai ma cak Indonesia!” aku menjelaskan Rakandi berasal dari Indonesia.

“Indonesia, tapi wajahnya seperti orang Thai,” guman Pi Shrida.

Pi Shrida mempersilahkan kami duduk. Sejenak kemudian aku menuturkan maksud kedatangan kami sore ini. Saat itu hujan deras mulai menghantam Ayutthaya.

Pi Shrida, pelahan bicara di tengah suara derai hujan. Kuterjemahkan kepada Rakandi bahwa Phi Shrida telah memberi aku semua catatan sejarah yang ia punya melalui sejumlah fotokopian lama.

“Kamu punya fotokopian itu?” tanya Rakandi.

“Ya! Tapi semuanya ada di rumah kosku di Bangkok! But don’t worry, itu catatan biasa. Tak ada yang khusus tentang Apsara atau Rakandi,” kataku. “Aku akan bertanya apakah ia pernah mendengar nama Apsara dan Rakandi dari tahun 1368 itu”

Aku mengenggam tangan Pi Shrida. “Pi, maaf saya tanya. Apakah Pi punya catatan tentang Ayutthaya pada masa-masa awal berdirinya?. Apakah Pi pernah membaca tentang Apsara atau Rakandi?”

“Apsara?” Pi Shrida mengerutkan kening. “Sebentar, rasanya pernah….tapi entah dari tahun berapa”

“Di mana Pi membaca itu?” tanyaku.

“Apsara……Apsara…..dan siapa satunya….?” Pi Shrida berkomat-kamit.

“Rakandi”

“Rakandi…..Apsara…..Rakandi….. siapa…..siapa nama anak muda ini, aku lupa?” Pi Shrida menunjuk Rakandi.

“Rakandi. Namanya Rakandi!”

“Astaga…..kau Apsara dan dia Rakandi?” air muka Pi Shrida berubah. Ia terdiam sesaat.

“Benar, Pi. Suatu kebetulan yang aneh, bukan?”

Pi Shrida kembali tercenung. Kumanfaatkan ini untuk menjelaskan hasil obrolanku kepada Rakandi.

“Kenapa Pi Shrida jadi heran?” tanya Rakandi.

“Entahlah!”

“Aku ingat sekarang. Aku ingat…..kalian beruntung. Ada catatan menganai Apsara dan Rakandi….tapi entah apakah mereka adalah orang yang kalian maksudkan,” kata Pi Shrida.

“Di mana kami bisa lihat catatan itu?” tanyaku.

“Di perpustakaan nasional Chao Sam Phraya. Catatan ada dalam bentuk cache yang bisa dilihat dengan kaca pembesar yang tersedia di museum. Catatan itu ditulis oleh seorang sejarahwan pada masa raja Chulalongkorn…..kau sebaiknya periksa catatan itu,” jelas Pi Shrida.

“Wah. Bagus! Kami ke museum besok….” kataku dan segera kujelaskan pada Rakandi.

“Hm…awal yang baik, nih. Kita ke museum besok?” kata Rakandi.

“Yup!”

Dan perbincangan kami dengan Pi Shrida harus diakhiri. Orangtua itu tampak lelah. Ia segera dipapah pembantu untuk menuju ke kamarnya setelah minta diri untuk istirahat.

“Hari masih hujan. Kau boleh berada di sini sampai hujan reda. Mintalah dibuatkan teh oleh pembantu,” kata Pi Shrida.

“Baik, Pi. Terimakasih,” kataku.

Sebelum bener-benar masuk ke kamarnya, Pi Shrida masih menoleh Rakandi dan bertanya padaku.

“Benar-benarkah ia bernama Rakandi….dan di Indonesia apakah ia tinggal di tanah Jawa?” bergetar mulutnya.

“Ya, Pi. Ia dari Mojokerto, kawasan yang dulunya adalah kerajaan Majapahit,” aku menjelaskan.

“Apsara dan Rakandi………..hm…kalau benar catatan di museum itu menjelaskan tentang Apsara dan Rakandi yang kau maksud….kalian….kalian harus hati-hati,” ujar Pi Shrida.

“Hati-hati? Memangnya kenapa, Pi?” aku bangkit dari duduk dan mengejar Pi Shrida.

“Karena……karena sejarah akan berulang…..sejarah akan berulang……,” Pi Shrida tertatih dalam papahan pembantu dan hilang di balik pintu kamar.

“Apa dia bilang?” tanya Rakandi.

“Ia bilang, kalau benar catatan di museum itu memuat tentang Apsara dan Rakandi yang ingin kita ketahui, kita harus hati-hati”

“Kita?”

“Ya. Rupanya Pi Shrida terkejut ada Apsara dan Rakandi di masa kini….dia bilang sejarah akan berulang…,” kataku.

“Sejarah akan berulang? Apa ya maksudnya?”

“Entahlah….” Kataku. Rakandi tak bicara beberapa saat. Akupun sibuk mencerna kata-kata Pi Shrida.

“Kita tak bisa pulang sekarang. Hujan deras sekali,” kataku.

“Okay! Kita tunggu di luar rumah. Aku mau merokok!” kata Rakandi. Ia membuka pintu, duduk di bangku kayu dan menyalakan rokok. Aku berdiri mematung tak jauh dari pintu, menatap derasnya hujan.

Aku mencari HP di tas, berharap Ped menelpon atau sms tanya kabarku di tengah hujan ini. Tapi tak ada pesan sms atau jejak telepon masuk.

“Aku perlu nomor HPmu, Apsara!” kata Rakandi. Aku mengeja nomor HPku padanya. Ia memasukkan nomor itu di HP-nya dan mengirim miscall. Ia pakai nomor Thailand.

Sampai menjelang pukul 9 hujan belum berhenti.

“Aku harus pulang sekarang, Rakandi. Takut suami kuatir.”

“Hujan begini?”

“Tidak apa-apa!”

“Udara dingin dan jaketmu tipis. Pakai jaketku. Ini anti air,” Rakandi menawari.

“Tak usah!”

“Ayolah, kalau kau sakit, siapa tang akan menerjemah buatku?”

Rakandi melepas jaketnya. Ragu aku menerima dan mengenakan jaket itu. Aku langsung meluncur pulang setelah mengantar Rakandi ke jalan besar untuk mencari tuk-tuk.

Di belokang gang menuju rumah, aku membeli makanan buat makan malam. Ketika aku sampai di rumah, Ped, suamiku belum sampai di rumah. Aku mengeringkan diri dan memeriksa tasku. Untunglah, berkat jaket Rakandi, tak ada basah yang berarti.

Lama aku menunggu Ped pulang. Aku meraih HP, memeriksa apakah Ped kirim sms. Ada sms dan kubuka.

“Apsara, sudah sampai di rumah? Syukurlah kalau sudah!” itu sms dari Rakandi.

“Sudah! Thanks jaketnya ya!” aku menjawab.

Sebelum meletakkan HP di meja, aku membuka fotoku di candi sore tadi. Kutatap lama foto itu, fotoku, memejamkan mata, mengucap doa, dalam suasana masa silam.

Benar-benarkah ini aku?

BERSAMBUNG KE SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun