Mohon tunggu...
Eddy Roesdiono
Eddy Roesdiono Mohon Tunggu... Guru Bahasa Inggris, Penerjemah, Copywriter, Teacher Trainer -

'S.C'. S for sharing, C for connecting. They leave me with ampler room for more freedom for writing.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penterjemah (14)

15 September 2012   06:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

SANG PENTERJEMAH (13) bisa dibaca di sini

Kota Ayutthaya, Thailand, 2011 Masehi

Kereta api kelas 3 sudah meluncur sekitar sembilan puluh menit dari Bangkok menuju Ayutthaya. Aku melirik arloji; seharusnya sepuluh menit lagi kereta api sampai. Tapi tampaknya kereta api bakal terlambat beberapa menit.

HP-ku menderingkan nada sms. “Sori, honey, aku tidak bisa jemput kamu di stasiun. Naik tuk-tuk saja, ya?”. Itu bunyi sms suamiku. Aku membalasnya singkat, “Ok”

Bosan membaca, aku menebar pandangan berkeliling. Di hadapanku, duduk seorang pemuda yang sedari berangkat dari Bangkok tadi sibuk dengan tab Samsung Galaxy, dan saat ini sibuk menebar peta Ayutthaya dan mengamati peta dengan teliti. Meski warna kulit pemuda ini mirip-mirip warna kulit orang Thailand, kupastikan ia bukan orang Thailand. Kalau orang Thailand, mana mungkin ia sibuk mengamati peta Ayutthaya.

Pemuda itu tersenyum padaku ketika tak sengaja kami beradu pandang.

“Hi!” sapanya dalam bahasa Inggris. Aku mengangguk.

“Kali pertama ke Ayutthaya?” tiba-tiba saja meluncur kata-kataku, dalam bahasa Inggris.

“Yes! Baru pertama kali juga ke Thailand. Beautiful country,” jawabnya.

Satani Ayutthaya…..satani Ayuthhaya!” petugas kereta api mengumumkan kereta segera merapat di Ayutthaya. Aku berkemas dan turun dari kereta api.

Di pelataran depan stasiun, aku melihat pemuda yang tadi duduk di depanku, dengan peta terbentang di depan wajahnya, tampak sedikit bingung. Kuhampiri dia.

“Kemana tujuanmu?” tanyaku.

“Ke pusat keramaian kota, cari penginapan,” jawabnya.

“Oke, kamu harus seberangi jalan di depan setasiun, lalu susuri jalan menuju ke penyeberangan. Ayutthaya berada di seberang sungai,” aku menjelaskan, “Ayo ikuti aku, aku juga mau menyeberang!”

Ia tampak senang dengan bantuan itu. Ia mengangkat back-pack besar ke punggungnya, dan kami berjalan bersama menyusuri jalan sepanjang 500 meter menuju ke penyeberangan. Dengan perahu bermotor pakai peneduh bertarif 3 baht perorang, kami menyeberang. Beberapa turis asing menyeberang bersama kami, dalam penyeberangan 5 menit menuju sisi sungai satunya.

“Nah, kau sudah sampai di Ayutthaya,” kataku pada pemuda itu. Ia tersenyum.

“Terimakasih, Miss,” ia melambaikan tangan, dan aku memanggil tuk-tuk yang lewat.

Begitu sampai di rumah, aku mencari telepon dan menghubungiJuthamas, sehabat sekaligus rekan kerjaku.

“Jum, aku sedang di Ayutthaya, dan bakal liburan di sini tiga minggu. Kalau ada pekerjaan, hubungi aku ya,” kataku pada Juthamas.

“Oii, liburan tiga minggu ya? Baguslah, nanti kuhubungi kau, jangan sampai HPmu non-aktif,” teriak Juthamas yang biasa bicara meriah.

Aku mengguyur badan dengan air di kamar mandi dan membuat rencana sore ini : belanja sayuran dan ayam di pasar, terus masak khao soy buat suami. Thosappol, suamiku, biasanya sampai di rumah menjelang jam 8 malam. Ped-- begitu panggilan suamiku—suka sekali khao soy dan bagiku, khao soy buatanku kusimbolkan sebagai pertanda aku lagi kangen berat sama dia. Aku tak tahu apakah dia tahu itu.

***

Aku bangun agak kesiangan pagi ini. Semalam aku menunggu Ped sampai jam 1 malam untuk makan malam. Tapi entah jam berapa pula  Ped datang. Khao soy buatanku masih ada di meja makan, belum tersentuh. Ped sudah keluar pagi tadi dan meninggalkan sms berbunyi, “Honey , sorry, aku semalam pulang larut dan pagi ini harus berangkat pagi-pagi karena urusan kerjaan. Nanti aku pulang sebentar buat makan siang”

Aku baru saja mengenakan kaos oblong ketika HP-ku berdering. DariJuthamas.

“Nan, waduh kamu beruntung sekali, baru datang sudah dapat kerjaan. Nih ada kerjaan. Cepat ke tempatku ya, klien nanti datang ke sini jam 10,” cerocos Jum.

Aku bergegas mandi, berdandan, meraih tas, naik motor ke kantor Juthamas. Tak sampai seperempat jam aku sampai di kantor Juthamas, tak jauh dari jalan Sri Suriyothai.

Klien yang dijanjikan Jum belum muncul. Aku duduk mengobrol dengan Jum yang—tak pernah tidak—mendominasi pembicaraan. Beberapa menit kemudian, terdengar suara di luar, dalam bahasa Inggris.

Excuse me, benar ini Juthamas and Friends Translation and Interpreter Service?” tanya seorang lelaki.

“Benar, silakan masuk. Anda yang tadi menelepon ya?” sambut Jum. Aku menoleh kea rah suara itu. Itu pemuda yang duduk di depanku dan kubarengi menyeberang sungai kemarin!

“Well, selamat datang di kantor sederhana saya. Saya Jum, dan ini Nan, penerjemah bahasa Thailand yang saya tunjuk untuk membantu Anda,” Jum memperkenalkan aku. Aku menangkupkan tangan, memberi hormat.

Pemuda itu terkejut. “Hai, bukankah kamu yang….?” kata pemuda itu.

“Duduk di depanmu di kereta dan mengantar kamu menyeberang…..” lanjutku.

“Ya, benar. Wah, kebetulan sekali ya…” katanya.

“Kalian saling kenal?” tanya Jum.

“Kebetulan sekereta dari Bangkok kemarin,” aku menjelaskan.

“Oke deh, kita singkat waktu. Silakan isi formulir ini dulu,” Jum mengangsurkan selembar formulir dalam bahasa Inggris dan Thailand. Pemuda itu duduk, mengisi formulir.

“Tarif jasa penerjemah 200 baht perjam, atau 2000 baht per dua belas jam. Oke ya?” tanya Jum setelah pemuda itu usai mengisi formulir. Pemuda itu mengiyakan.

“Orang Indonesia, ya? Nama Anda adalah……” Jum memeriksa formulir.

“Rakandi!” jawab pemuda itu.

Rakandi!

Tiba-tiba dadaku berdegup mendengar nama itu. Rakandi! Nama yang asing, tapi entah kenapa aku seperti pernah mendengar nama itu sebelumnya.

“Dan nama sang penterjemah saya. Siapa namamu?” tanya pemuda itu.

“Nama panggilan saya Nan. Kau bisa panggil saya dengan nama itu…” kataku.

“Nama panggilan yang bagus, ya? Kau tahu nama-nama orang Thailand kan susah diucapkan orang asing, jadi semua orang Thailand punya nama panggilan,” Jum menjelaskan. “Nama panggilan saya Jum, nama asli Juthamas,” jelas Jum.

“Dan nama asli Nan siapa?” tanya pemuda itu, memandangku.

Aku meraih name-tag yang tergantung di leher dan menunjukkan namaku yang tercetak dalam aksara Thai dan aksara latin pada Rakandi.

“Apsara Pibulwongsawat! Apsara!” Rakandi membaca namaku di name-tag. Airmukanya kentara berubah.

“Namamu Apsara?” tanya Rakandi, seperti masih sulit percaya.

(BERSAMBUNG KE SINI)

catatan :

satani = stasiun

tuk-tuk = angkutan umum sejenis bajaj di Jakarta

khao-soy = sejenis makanan seperti kare ayam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun